scholarly journals Fungsi Tuor Bagi Orang Mandailing

2021 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 85-96
Author(s):  
Yulia Risa ◽  
Emizal Amri

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fungsi pemberian Tuor dalam adat Mandailing di Jorong Ranto Panjang Nagari Rabi Jonggor Kecamatan Gunung Tuleh Kabupaten Pasaman Barat. Fokus dari artikel ini yaitu pemberian Tuor (maskawin) dari pihak laki-laki kepada perempuan dalam adat perkawinan orang Mandailing di Ranto Panjang. Mengingat masyarakat yang berda di Pasaman Barat memiliki suku bangsa yang beragam seperti Minang, Melayu, Mandailing dan Jawa yang memiliki kebudayaan berbeda-beda disetiap daerahnya. Akan tetapi pemeberian Tuor tetap dipertahankan dan selalu ada sebelum upacara perkawinan orang Mandailing baik yang menikah dengan sesama suku mandailing maupun tidak dengan orang Mandailing. Acara penetapan Tuor dilaksanakan pada acara Marsapa (meminang). Teori yang digunakan dalam artikel ini adalah teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski. Penelitian dilakukan dengan menerapkan pendekatan kualitatif dengan tipe Etnografi. Informan dipilih secara pusposive sampling. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam (indepth interview), observasi, studi dokumen. Teknik analisis data mengacu pada teknik analisis etnografi yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman melipiti: data reduction (reduksi data), data displey (penyajian data), verification analysis (menarik kesimpulan). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan fungsi pemberian Tuor pada masyarakat Mandailing di Ranto Panjang adalah: (1) penguatan ikatan dua keluarga; (2) menjunjung tinggi tradisi yang diwarisi dari generasi terdahulu; (3) menghormati orang tua si gadis; (4) penghargaan terhadap status pendidikan perempuan; dan (5) mendapatkan legalitas perkawinan secara adat.

Author(s):  
Didier Fassin

In his 1926 essay, “Primitive Crime and Its Punishment,” often considered the foundational text of legal anthropology, Bronislaw Malinowski recounts an episode that occurred during his fieldwork in the Trobriand Islands and profoundly influenced his views on law and order in “savage society,” as he calls it....


Author(s):  
Anthony Kwame Harrison

This introductory chapter introduces ethnography as a distinct research and writing tradition. The author begins by historically contextualizing ethnography’s professionalization within the fields of anthropology and sociology. While highlighting the formidable influences of, for example, Bronislaw Malinowski and the Chicago school, the author complicates existing understandings by bringing significant, but less-recognized, influences and contributions to light. The chapter next outlines three principal research methods that most ethnographers utilize—namely, participant-observation, fieldnote writing, and ethnographic interviewing. The discussion then shifts from method to methodology to explain the primary qualities that separate ethnography from other forms of participant-observation-oriented research. This includes introducing a research disposition called ethnographic comportment, which serves as a standard for gauging ethnography throughout the remainder of the book. The author presents ethnographic comportment as reflecting both ethnographers’ awarenesses of and their accountabilities to the research tradition in which they participate.


2014 ◽  
Vol 41 (1) ◽  
pp. 79-108 ◽  
Author(s):  
Béatrice Godart-Wendling

Résumé Le but de cet article est d’évaluer l’hypothèse de John Rupert Firth (1890–1960) énonçant que l’article de l’anthropologue Bronislaw Malinowski (1884–1942), “The Problem of Meaning in Primitive Languages” (1923), constituerait une des sources d’inspiration ayant conduit Ludwig Wittgenstein (1889–1951) à élaborer une nouvelle conception de la signification en termes d’‘usage’. S’appuyant sur certains passages des Philosophical Investigations (1953), Firth établit ainsi une filiation entre les deux grandes idées phares de Malinowski, à savoir l’importance de la notion de ‘contexte de situation’ et l’idée que le langage serait un ‘mode d’action’ et les principales thèses (la signification comme usage, l’acquisition du langage, le langage comme un ensemble de jeux) que développera Wittgenstein. L’examen du bien fondé de cette hypothèse conduira à préciser la synergie des idées qui eut lieu en matière de pragmatique dans l’Angleterre de la première moitié du XXe siècle.


Man ◽  
1986 ◽  
Vol 21 (4) ◽  
pp. 786
Author(s):  
B. A. L. Cranstone ◽  
William A. Shack

Vidya Karya ◽  
2017 ◽  
Vol 31 (2) ◽  
Author(s):  
Bambang Subiyakto ◽  
Syaharuddin Syaharuddin ◽  
Gazali Rahman

Abstract:  The purpose of this research is to describe the values of gotong royong in Banjarese society in Andhika village that has “a bahaul” tradition. Thus, the values of gotong royong have significance to social studies education as the learning source. This research used the qualitative approach, which the data collection were through interview, observation, and document study. The data was analized by using data reduction, display the data and verification or conclusions. The data verification is through these following steps, namely, extended observation, triangulation, and discussion with the colleagues. The results of the study show the values of Gotong royong in bahaul tradition are seen in these activities; taturukan, pangayuan, pangawahan, and lalawatan. The activities have a significant impact in Social Studies Education. The significant impact could be seen on the values in “bahaul” such as solidarity, tolerance and caring to a society. Thus, this study is able to enrich the source of Social Studies Education in the school. Keywords:      Gotong royong, bahaul tradition, banjarese society, social studies education. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai gotong royong dalam masyarakat Banjar di desa Andhika pada acara bahaul dan signifikansinya dalam pembelajaran IPS di sekolah sebagai sumber belajar. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan studi dokumen. Data dianalisis melalui reduksi data, penyajian data dan  verifikasi/kesimpulan. Keabsahan data melalui perpanjangan waktu pengamatan,  triangulasi, dan cek-cek anggota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gotong royong dalam bahaul tampak pada aktivitas taturukan, pangayuan, pangawahan dan lalawatan. Aktivitas tersebut memiliki signifikansi dalam pendidikan IPS karena aktivitas bahaul memiliki nilai solidaritas, toleransi, dan peduli sosial sehingga memperkaya sumber belajar IPS di sekolah. Kata-kata Kunci: gotong royong, bahaul, masyarakat Banjar dan Pendidikan IPS


Author(s):  
Jørgen Leth

Om Malinowski -- fra Jørgen Leth, Mine Helte. Det uperfekte menneske / 4 (2015, 27-34). Optrykt med venlig tilladelse fra forfatter Jørgen Leth og forlagsredaktør ved Gyldendal Johannes Riis


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document