ALHURRIYAH Jurnal Hukum Islam (ALHURRIYAH JOURNAL OF ISLAMIC LAW)
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

55
(FIVE YEARS 40)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Iain Bukittinggi

2549-4198, 2549-3809

Author(s):  
Riska Fauziah Hayati ◽  
Busyro Busyro ◽  
Bustamar Bustamar

<p dir="ltr"><span>The main problem in this paper is how the effectiveness of mediation in sharia economic dispute resolution based on PERMA No. 1 of 2016 at the Bukittinggi Religious Court, and what are the inhibiting factors success of mediation. To answer this question, the author uses an inductive and deductive analysis framework regarding the law effectiveness theory of Lawrence M. Friedman. This paper finds that mediation in sharia economic dispute resolution at the Bukittinggi Religious Court from 2016 to 2019 has not been effective. The ineffectiveness is caused by several factors that influence it: First, in terms of legal substance, PERMA No.1 of 2016 concerning Mediation Procedures in Courts still lacks in addressing the problems of the growing community. Second, in terms of legal structure, there are no judges who have mediator certificates. Third, the legal facilities and infrastructure at the Bukittinggi Religious Court have supported mediation. Fourth, in terms of legal culture, there are still many people who are not aware of the law and do not understand mediation well, so they consider mediation to be unimportant.</span> </p><p><em>Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan Agama Bukittinggi dan apa saja yang menjadi faktor penghambat keberhasilan mediasi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan kerangka analisa induktif dan deduktif dengan mengacu pada teori efektivitas hukum Lawrence M. Friedman. </em><em>Tulisan ini menemukan bahwa m</em><em>ediasi dalam p</em><em>enyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama Bukittinggi </em><em>dari tahun 2016 sampai 2019 </em><em>belum efektif</em><em>. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. </em><em> </em><em>Pertama, dari segi substansi hukum, yaitu PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan masih memiliki kekurangan dalam menjawab persoalan masyarakat yang terus berkembang. Kedua, dari segi struktur hukum, belum adanya hakim yang memiliki sertifikat mediator. Ketiga, sarana dan prasarana hukum di Pengadilan Agama Bukittinggi sudah mendukung mediasi. Keempat, dari segi budaya hukum, masih banyaknya masyarakat yang tidak sadar hukum dan tidak mengerti persoalan mediasi dengan baik, sehingga menganggap mediasi tidak penting.</em><em></em></p>


Author(s):  
Nuraisyah Nuraisyah

<p dir="ltr"><span>This study discusses the philosophical dimensions of punishment in terms of Islamic criminal law. Islamic criminal law has a goal that everyone does not want to commit a crime. So that Islamic criminal law is both preventive (prevention) and curative (their crimes deter the perpetrators of crimes). The formulation of the problem in this study is why people who commit crimes must be punished according to Islamic criminal law? The method used is a type of normative legal research; normative legal research is research conducted to collect and analyze secondary data. This study concludes that the provisions of the punishment contained in the Qur'an and al-Sunnah are Shari'ah that must be carried out. With this punishment, it aims to make people aware of the wickedness of evil so that it is embedded in their souls that all misdeed must be avoided whether seen by others or not, because Allah is always watching him wherever he is. When this thought is embedded in everyone, it will repress the misdeed in daily life or reduce crime in society.</span></p><p><em>Penelitian ini membahas tentang dimensi filosofis pemidanaan dilihat dari segi hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam memiliki tujuan agar setiap orang tidak mau melakukan tindakan kejahatan. Sehingga hukum pidana Islam ini bersifat preventif (pencegahan) maupun bersifat kuratif (agar berpelaku kejahatan merasa jera dengan Tindakan kejahatannya). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah kenapa orang yang melakukan Tindakan kejahatan harus mendapatkan hukuman dilihat dari hukum pidana Islam? Metode yang digunakan adalah </em><em>jenis penelitian hukum normatif</em><em>. </em><em>Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder. </em><em>Kesimpulan dari penelitian ini adalah </em><em>k</em><em>etentuan hukuman yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan Syari’at yang harus dijalankan</em><em>. Dengan h</em><em>ukuman itu bertujuan untuk menyadarkan masyarakat dari keburukan-keburukan kejahatan, sehingga tertanam di dalam jiwa bahwa semua kejahatan harus dihindari</em><em>,</em><em> baik dilihat oleh orang lain ataupun tidak, sebab Allah selalu mengawasinya di manapun dia berada. Apabila hal ini telah tertanam dalam diri semua orang, secara otomatis kejahatan tidak akan ada dipermukaan bumi, atau paling tidak bisa mengurangi kejahatan di tengah-tengah masyarakat</em><em>.</em></p><p> </p>


Author(s):  
Moh. Alfin Sulihkhodin

<p dir="ltr"><span>The primary purpose of this research is to investigate and understand the importance of the concept of Kafā’ah in the practice of marriage in Muslim communities in Jordan, Marocco, and Pakistan. Kafā’ah in text or context is understood by the concept of harmony between the two brides to be, both in terms of wealth, nasab, beauty/good looks, especially in religious matters. This research uses a qualitative research approach (library research) to facilitate extracting and analyzing data. The results showed that the concept of Kafā’ah in the Muslim countries of Jordan, Marocco, and Pakistan, in general, is still guided by the view of imam madhhab, especially in Jordan and Pakistan, which is more inclined to the provisions of imam madhhab Hanafi which as the main criteria of Kafā’ah is concerning five basic things, including: religion, descent, hurriyah, the wealth of both brides, as well as the field of work. In contrast, Kafā’ah in the country of Marocco is more inclined to the provisions of the Imam Madzhab Maliki, which emphasizes religious and health aspects, be it a physical or psychic condition of a person. However, in some ways, it has shifted to the standard of Kafā’ah, which includes not only material, nasab, or religion, but on love or affection between the brides and grooms. Thus, the material of family law renewal is expected to be adopted or implemented in legislation, especially related to marriage in Indonesia. </span> </p><p><em>Tujuan utama diadakannya penelitian ini adalah untuk menelisik serta memahami arti penting konsep Kafā’ah dalam praktek perkawinan masyarakat muslim di negara Yordania, Maroko, serta Pakistan. Kafā’ah secara teks ataupun konteks dapat dipahami dengan konsep kesepadanan antara kedua calon mempelai, baik dari segi harta kekayaan, nasab, kecantikan/ketampanan, utamanya dalam permasalahan keagamaan. Penelitian terkait ini penulis lakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian yang bersifat kualitatif (library research) guna memudahkan proses penggalian dan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep Kafā’ah di negara muslim Yordania, Maroko, serta Pakistan secara umum masih berpedoman pada pandangan imam madzhab, utamanya </em><em>di negara Yordania serta Pakistan yang lebih cenderung pada ketentuan Imam madzhab Hanafi </em><em>yang mana </em><em>sebagai kriteria utama Kafā’ah adalah menyangkut 5 hal dasar, meliputi: keagamaan, keturunan, hurriyah, harta kekayaan kedua calon mempelai, serta bidang pekerjaan. </em><em>Secara kontras di negara Maroko lebih condong pada ketentuan Imam madzhab Maliki</em><em> yang menekankan pada aspek </em><em>keagamaan serta kesehatan, baik itu secara fisik atau kondisi psikis seseorang. </em><em>Akan tetapi, dalam beberapa hal telah bergeser pada standar Kafā’ah yang tidak hanya meliputi materi, nasab, ataupun agama saja, melainkan pada rasa cinta atau kasih sayang di antara kedua calon mempelai. Dengan demikian materi pembaruan hukum keluarga yang ada, diharapkan dapat diadopsi atau diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan khususnya terkait perkawinan di Indonesia.</em><em></em></p>


Author(s):  
Muhazir Muhazir

<p>This paper will discuss the politics of Islamic law until now, which still leaves debates between pros and cons parties, this debate is based on differences in views between secular Islamic groups and traditionalists, plus global political conditions increasingly influence the direction of Indonesian government legal policies. Library research is the method used in this paper, the legal policy approach and statute approach are used to analyze data found in various literature. The results of this study indicate that the struggle for the positivists of Islamic law in Indonesia is still reaping polemics, these polemics are based on three things; first, differences in understanding of the relationship between religion and state; second, the contemporary Indonesian political system is influenced by western politics; third, liberalism and communism have helped to hinder the positivists process of Islamic law in Indonesia</p><p><br />Tulisan ini akan mendiskusikan tentang politik hukum Islam hingga saat ini yang masih menyisakan perdebatan antara pihak pro dan kontra, perdebatan ini didasari oleh perbedaan pandangan antara kelompok Islam sekuler dan Islam tradisionalis, ditambahkan lagi dengan kondisi politik global semakin mempengaruhi arah kebijakan hukum pemerintah Indonesia. Library research merupakan metode yang digunakan dalam tulisan ini, pendekatan legal policy dan statute approach digunakan untuk menganalisis data yang ditemukan dalam berbagai literatur. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pergulatan positivisasi hukum Islam di Indonesia masih menuai polemik, polemik tersebut didasari oleh tiga hal; pertama, perbedaan pemahaman tentang hubungan antara agama dan negara; kedua, sistem politik indonesia masa kontemporer dipengaruhi oleh politik barat; ketiga, paham liberalisme dan komunisme turut menghambat proses positivisasi hukum Islam di Indonesia <br />Kata Kunci: Politik, Hukum Islam, Positivisasi</p><div><span><br /></span></div>


Author(s):  
Wardatun Nabilah ◽  
Deri Rizal ◽  
Arifki Budia Warman

<p dir="ltr"><span id="docs-internal-guid-41f11696-7fff-db33-7f42-a6fcf5441a61"><span>A Compilation of islamic law “Kompilasi Hukum Islam”, which was ratified through Presidential Instruction (or now decree) No. 1 of 1991, is a modern codification of Islamic individual and family law that becomes the standard of judges' reference in resolving cases in religious courts. One of the critical parts of KHI is inheritance, which is the main focus of this paper. The article on inheritance in KHI is interesting for further review because it has a different legal provision to fiqh or qanun. Through the study of libraries with a philosophical approach, this paper intends to analyze the provisions that become a barrier to inheritance from the perspective of Maqāṣid al-Sharia. This study shows that the obstacles to obtaining inheritance for reasons of persecution and slander, as mentioned in article 173 KHI, are some barriers to one obtaining inheritance that are not discussed as a barrier to inheritance in the classic fiqh book of severe persecution and slander. Through literature research, it is understood that the decree of persecution and slander is a barrier to inheritance in line with the Maqāṣid al-Sharia, namely to protect the soul (hifz al-nafsi), then guard the property (hifz al-māl) and further maintain self-respect (hifz al-'Ird) Thus. However, severe persecution and slander are not listed in classical Islamic jurisprudence as a barrier to inheritance. With the study of Maqāṣid al-Sharia, these two things are very appropriate to be applied in the rule of inheritance law, especially in Indonesia, so that these two acts cause very much harm to the victim (heir).</span></span></p><div><span><br /></span></div><br /> <br />“Kompilasi Hukum Islam”, yang disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, merupakan kodifikasi modern hukum perseorangan dan keluarga Islam yang menjadi standar rujukan para hakim dalam menyelesaikan perkara di pengadilan agama. Salah satu bagian penting KHI adalah kewarisan, yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini. Pasal tentang waris dalam KHI menarik dikaji lebih lanjut karena memiliki ketentuan hukum yang berbeda dengan fiqh atau qanun. Melalui studi pustaka dengan pendekatan filosofis, tulisan ini bermaksud menganalisis ketentuan yang menjadi penghalang warisan dari perspektif Maqāṣid al-Syarī’ah. Hasil studi ini menunjukkan bahwa halangan mendapatkan warisan karena alasan penganiayaan dan fitnah, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 173 KHI terdapat beberapa penghalang seseorang mendapatkan hak waris yang tidak dibahas sebagai penghalang kewarisan dalam kitab fiqh klasik yaitu penganiayaan berat dan fitnah. Melalui penelitian kepustakaan, dipahami bahwa ketetapan penganiayaan dan memfitnah sebagai penghalang kewarisan sejalan dengan Maqāṣid al-Syarī’ah yakni yakni untuk menjaga jiwa (hifẓal-nafsi), kemudian  menjaga harta (hifẓal-māl) dan selanjutnya menjaga kehormatan diri (hifẓ al-‘Irḍ) Maka, sekalipun penganiayaan berat dan fitnah tidak tercantum dalam fiqh klasik sebagai penghalang kewarisan, namun dengan kajian Maqāṣid Syarī’ah, kedua hal ini sangat pantas diterapkan dalam aturan hukum waris, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dua perbuatan ini menyebabkan sangat banyak mudarat kepada korban (pewaris).


Author(s):  
Yenni Batubara

<em><br /></em><span id="docs-internal-guid-60b7b5ca-7fff-b45f-1673-026129bfb235"><span>Nowadays, agricultural commodities are experiencing rapid growth and development with new agricultural innovations such as grafted plants and cross-breeding plants to more modern agriculture, namely hydroponics. This condition causes the agricultural products able to increase the income of farmers significantly. Agricultural products in Islamic law are one type of property that is obligatory for zakat. However, the arguments governing agricultural zakat only mention some agricultural products that are obligatory on zakat, including Jawawud, Wheat, Dates, and Raisins, so some agricultural commodities are out of the reach in these arguments, so there are no legal provisions. This research aims to see how to determine the legal provisions of zakat on agricultural or plantation commodities. This research is using literature studies method. The results of this study indicate that the product of agricultural commodities that have high economic value are qiyās on the types of fruits and grains that are obligatory for zakat, mentioned in the arguments of the Al-Qur' ān and Sunnah with various characteristics, and the functions it has, so that the provisions of agricultural zakat can be applied in issuing zakat on agricultural commodities. Then in terms of maslahah and maqasid shari'ah, the obligation of zakat on agricultural commodities can help fulfill the needs of the poor in particular, and mustahik zakat in general.</span></span><div><br /><em>Komoditas pertanian dewasa ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dengan inovasi pertanian yang baru seperti tanaman cangkok, tanaman hasil perkawinan silang hingga pertanian yang lebih modern yaitu hidroponik. Di mana hasil pertanian tersebut mampu meningkatkan penghasilan para petani secara signifikan.</em><em> Hasil pertanian dalam hukum Islam adalah salah satu jenis harta yang wajib zakat. Tetapi, dali-dalil yang mengatur tentang zakat pertanian hanya menyebutkan beberapa hasil pertanian yang wajib zakat diantaranya, Jawawud, Gandum, Kusrma dan Kismis, maka secara tidak langsung hasil komoditas pertanian tidak tersentuh sama sekali di dalam dalil tersebut sehingga tidak ada ketetapan hukumnya. Tujuan dari penlitian ini adalah untuk melihat bagaimana </em><em>penentuan ketentuan hukum dari zakat hasil komoditas pertanian atau perkebunan. </em><em>P</em><em>enelitian </em><em>ini </em><em>dilakukan dengan menggunakan </em><em>studi</em><em> </em><em>literatur. Berdasarkan analisis yang dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa </em><em>h</em><em>asil komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi di-qiyās-kan pada jenis buah-buahan dan biji-bijian wajib zakat yang disebutkan dalam dalil-dalil </em><em>al-</em><em>Qur’ān dan Sunnah dengan berbagai sifat dan fungsi yang dimilikinya</em><em>, sehingga k</em><em>etentuan-ketentuan zakat pertanian dapat diberlakukan dalam mengeluarkan zakat hasil komoditas per</em><em>t</em><em>ani</em><em>an.</em> <em>Kemudian dilihat dari segi maslahah dan maqā</em><em>ṣ</em><em>id syarī’ah, kewajiban zakat komoditas pertanian dapat membantu terpenuhinya kebutuhan fakir miskin khususnya, dan mustahik zakat pada umunya.</em><p> </p></div>


Author(s):  
M. Yanis Saputra ◽  
Edi Rosman

<p><span id="docs-internal-guid-b4328e83-7fff-2a27-2390-ae4a80a4acce"><span>Determination of iddah and mut'ah living is a manifestation of one of the cases that must be resolved by a judge who comes to him by bringing justice to the parties. Of course, this cannot be separated from how a judge deeply examines the existing problems with his considerations. The purpose of this study is to find out how the judge's considerations in determining the nominal iddah and mut'ah income for the wife whom her husband divorces in a case, then how is the judge's consideration in determining the nominal iddah and mut'ah income when viewed epistemologically. The research method that the author does is to use empirical normative research methods with a qualitative approach. Based on the research results that the author did, there are at least 7 (seven) things that the judge can consider in determining the nominal iddah and mut'ah living. However, what if, in a case, all the things considered are in one case? Of course, a judge must choose his considerations, which should come first, the interests of the wife or husband. Therefore, it takes wisdom and wisdom from a judge in deciding while still realizing a sense of justice for the parties.</span></span> </p><p>Penentuan nafkah <em>iddah</em> dan <em>mut’ah</em> merupakan wujud dari salah satu perkara yang harus diselesaikan seorang hakim yang datang padanya dengan mewujudkan keadilan kepada para pihak. Hal ini, tentu, tidak terlepas dari bagaimana seorang hakim mengkaji lebih dalam terkait permasalahan yang ada dengan pertimbangan-pertimbangannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan nominal nafkah <em>iddah</em> dan <em>mut’ah</em> bagi istri yang diceraikan suaminya pada suatu kasus. Kemudian bagaimana tinjauan epistemologi terkait dengan pertimbangan hakim dalam menentukan nominal nafkah <em>iddah</em> dan <em>mut’ah</em>. Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah dengan menggunakan metode penelitian normatif empiris dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, setidaknya ada 7 (tujuh) hal yang dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam menentukan nominal nafkah <em>iddah </em>dan <em>mut’ah.</em> Namun bagaimana bila semua hal yang dipertimbangkan tersebut ada dalam satu kasus, tentu seorang hakim harus mampu memilih pertimbangannya, mana yang harus didahulukan, kepentingan istri atau suami. Oleh karena itu, memang dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan dari seorang hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tetap mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak.</p>


Author(s):  
Hendri Hermawan Adinugraha ◽  
Elsa Vani Mawaddah ◽  
Ali Muhtarom

<p dir="ltr"><span>This study aims to describe the “gaduh sapi” collaboration in terms of practice and review of mu’āmalah fiqh in Tanjung Kulon Village, Kajen Country, Pekalongan District. This research is using descriptive qualitative research. The sources used in this study are data from interviews, observations, documentation, and literature data. The subjects of this study were cattle managers and owners of capital. Data collection techniques used non-participant observation methods, structured interviews, and documentation. The data analysis used is qualitative by using the deductive method. The study results show that the practice of “gaduh sapi” in Tanjung Kulon Village follows the habits of the village community both in terms of how to manage, provide capital, and share profits. The model of rowdy practice is carried out with two events, namely fattening and breeding. The “gaduh sapi” collaboration carried out by the community as a means of helping. The practice of “gaduh sapi” cooperation carried out by the community is in accordance with the rules of fiqh mu’āmalah, namely using a muḍārabah contract. Because the capital owner gives the business manager the freedom to manage his business, develop it without limiting the type, time, and place. The capital used in this rowdy cooperation practice is goods, namely cows. This follows one of the conditions for muḍārabah capital: it can be in the form of money or goods that are valued (cows are included). So that at the end of time the distribution of results can be distinguished from profits. Where cattle capital remains the right of the owner of the capital, then the fattening and breeding results are shared. The provisions of the benefits carried out by the people of Tanjung Kulon Village are by the rules of al-ghunmu bi al- ghurmi (risks are balanced with benefits). This study also confirms that there are no contracts containing gharar in the “gaduh sapi” practice.</span></p><p><em>Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan “gaduh sapi” dari segi praktik dan tinjauan fiqh mu’āmalah di Desa Tanjung Kulon, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data hasil wawancara</em><em>, observasi, dokumentasi,</em><em> dan data literatur. Subjek penelitian ini adalah pengelola sapi dan pemilik modal. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi non-partisipan, wawancara terstruktur</em><em>, dan dokumentasi. </em><em>Analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.</em><em> </em><em>Hasil penelitian menunjukan bahwa</em><em> </em><em>p</em><em>ra</em><em>ktik “gaduh sapi” di Desa Tanjung Kulon mengikuti  kebiasaan  masyarakat  desa baik  dari  segi  cara  pengelolaan,  penyediaan modal, dan pembagian keuntungan. Model praktik gaduh yang dilakukan dengan dua acara yaitu penggemukan dan pengembangbiakan. Kerjasama “gaduh sapi” yang dilakukan oleh masyarakat sebagai sarana tolong menolong. Praktik kerjasama “gaduh sapi” yang dilakukan masyarakat sudah sesuai dengan aturan fiqh mu’āmalah, yaitu menggunakan akad mu</em><em>ḍ</em><em>ārabah. Pengelola usaha diberi kebebasan oleh pemilik  modal  untuk  mengelola  usahanya,  mengembangkan  tanpa  memberi batasan  jenis,  waktu  serta  tempat. Modal yang digunakan dalam praktik kerjasama gaduh ini adalah barang yaitu sapi. Hal ini sudah sesuai dengan </em><em>salah satu syarat modal mu</em><em>ḍ</em><em>ārabah </em><em>yaitu</em><em> dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai</em><em> (sapi termasuk di dalamnya)</em><em>. Pada waktu akhir pembagian hasil dapat dibedakan dari keuntungan. Dimana modal sapi tetap menjadi hak pemilik modal, selanjutnya hasil penggemukan dan pengembangbiakan yang dibagihasilkan. Ketentuan keuntungan yang dilakukan masyarakat Desa Tanjung Kulon telah sesuai dengan kaidah al-ghunmu bi al-ghurmi. </em><em>Hasil</em><em> penelitian ini juga menegaskan bahwa </em><em>tidak ditemukan</em><em> </em><em>akad yang mengandung gharār</em><em> dalam </em><em>praktik</em><em> </em><em>“gaduh sapi”</em><em> disana.</em><em></em></p><p><em><br /></em></p>


Author(s):  
Rahmiati Rahmiati ◽  
Elfiani Elfiani

<p><em>This research is motivated by the decree in article 70 of Law act. 7 of 1989 regarding of the Religious Courts which regulates a grace period of 6 (six) months for witnessing a divorce pledge trial at the Religious Court. of setting this rule. The purpose of this study is to determine the implementation of the talak pledge trial at the Bukittinggi Religious Court as well as to know the wisdom of determining the 6 (six) month grace period for pronouncing the divorce vows by the husband against the wife in front of the Religious Court. This paper uses descriptive field research methods within the framework of qualitative analysis from data sources of observation, interviews and literature. The results of research and analysis found that the implementation of the pledge trial at the Bukittinggi Religious Court was carried out after the decision on the divorce divorce case had permanent legal force (inkracht), that is, if there was no ordinary legal remedy against the verdict. The time limit given to carry out the divorce pledge at the trial after the verdict with incraht is six months after the date of the divorce pledge trial is determined. The wisdom from determining a grace period of 6 (six) months for the husband to pledge his divorce is; First, to give the husband the opportunity to think about reviewing the decision to divorce his wife. Second, protection of the rights of women (wives). In this case, the husband is given the opportunity within this grace period to fulfill the rights of the wife who is demanded in court and decided by the panel of judges.</em></p><p><em><br /></em></p><p><em>Penelitian ini dilatarbelakangi oleh</em><em> </em><em>ketentuan dalam Pasal 70 UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tenggang waktu 6 (enam) bulan untuk penyaksian sidang ikrar talak di Pengadilan Agama</em><em>. Aturan ini sejatinya tidak ditemukan di dalam kajian fiqh, namun secara fungsi belum terungkap kegunaan dari penetapan aturan ini</em><em>. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan sidang ikrar talak di Pengadilan Agama Bukittinggi</em><em> sekaligus </em><em>mengetahui hikmah dari penetapan tenggang waktu 6 (enam) bulan untuk pengucapan ikrar talak oleh suami terhadap isteri dihadapan sidang Pengadilan Agama. </em><em>Tulisan ini menggunakan metode penelitian lapangan yang bersifat deskriptif dalam kerangka analisis kualitatif dari sumber data observasi, wawancara dan literatur. Hasil penelitian dan analisa ditemukan bahwa pelaksanaan sidang ikrar talak di Pengadilan Agama Bukittinggi dilakukan setelah keputusan perkara cerai talak mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu apabila terhadap putusan tersebut tidak adalagi upaya hukum biasa. </em><em>Tenggang waktu yang diberikan untuk melaksanakan ikrar talak di Persidangan setelah putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) adalah enam bulan sejak penetapan hari sidang ikrar talak.</em><em> Hikmah dari penetapan tenggang waktu 6 (enam) bulan bagi suami untuk mengikrarkan talaknya adalah; Pertama, untuk memberikan kesempatan berpikir kepada suami guna mengkaji ulang keputusan menceraikan isterinya. Kedua, Perlindungan terhadap hak-hak perempuan (isteri). Dalam hal ini, suami diberi kesempatan dalam tenggang waktu tersebut, untuk memenuhi hak-hak isteri yang dituntut di persidangan dan diputuskan oleh majelis hakim. Tujuan utama dari ketentuan tenggang waktu untuk ikrar talak adalah untuk mempersulit terjadinya perceraian dan kemaslahatan terhadap suami (pemohon) dan isteri (termohon).</em></p><p><em><br /></em></p>


Author(s):  
Laila Afni Rambe

<p><em>The factors underlying the writer in discussing this title see the Sibargot Village community doing Martuppak Martahi practices in the Walimah program. Then there is a repayment of money that has been given in Walimah, furthermore it is not known included in the payment of accounts payable or only limited to giving. Whereas in Islam, the loan receivables contract must be clear, both in terms of payment time and in terms of the amount of money that must be paid. The purpose of this research is to find out the practice of Martuppak Martahi in the Walimah event in Sibargot Village in terms of Debt Debt Perspectives. The method used is field research using interview techniques. Then the data is analyzed using qualitative descriptive analysis methods. From the results of the analysis conducted by the author on these data it can be concluded that according to the perspective of accounts receivable debt, Martuppak Martahi practices are not accounts receivable debt, but are included in the giving off and this is permissible.</em></p><p><em><br /></em></p><p><em>Faktor yang melatarbelakangi penulis dalam membahas judul ini melihat masyarakat Desa Sibargot melakukan praktik</em><em> </em><em>Martuppak Martahi</em><em> </em><em>dalam acara walimah</em><em>. Kemudian adanya pembayaran kembali uang yang telah diberikan di walimah, selanjutnya hal itu tidak diketahui termasuk dalam pembayaran utang piutang atau hanya sebatas pemberian semata. Sedangkan dalam Islam, akad utang piutang yang dilakukan harus jelas, baik dari segi waktu pembayaran maupun dari segi jumlah uang yang harus dibayarakan. Adapun tujuan dalam penelitian </em><em>untuk mengetahui praktik Martuppak Martahi  dalam acara walimah di Desa Sibargot ditinjau dari </em><em>p</em><em>erspektif </em><em>u</em><em>tang </em><em>p</em><em>iutang. </em><em>Metode yang digunakan yaitu penelitian lapangan dengan menggunakan teknik wawancara. Kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dari hasil analisis yang penulis lakukan terhadap data tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif utang piutang praktik Martuppak Martahi bukanlah merupakan utang piutang tapi termasuk kepada pemberian lepas dan praktik tersebut boleh dilakukan.</em><em></em></p><p><em><br /></em></p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document