Al - Tadabbur Jurnal Ilmu Al-Qur an dan Tafsir
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

23
(FIVE YEARS 6)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Al Hidayah Press

2581-2564, 2406-9582

2019 ◽  
Vol 4 (01) ◽  
pp. 45
Author(s):  
Dindin Moh Saepudin

para ahli Usul baik dalam Fiqih maupun tafsir terdapat perbedaan paham mengenai al-Nahyu  yang bermakna hakiki yaitu al-Tahrim(التحريم) atau bermakna Majazi, yang mempunyai beberapa makna seperti Doa (الدعاء), Iltimas(التمس) , Irshad (ارشاد), Dawam (دواما), Bayan al-’Aqibah (بيان العقبه) , al-yais(اليأس)  , Tamanni (التمني), Tahdiid, (تهديد), Kara<hah  (الْكَرَاهَةُ), Tahqir (تحقير) , I’tinas الإئتناس)) dan Taubikh  (توبخ). Penggunaan Nahyu  lebih ditekankan pada syariat-syariat Islam dan operasional hukum, sedangkan pemaknaan Nahyu  pada masalah akidah, keimanan dan moral masih jarang dilakukan, oleh karena itu penulis berupaya menganalisis La Nahyu   dengan pendekatan kaidah Muhammad Khalid al-Sabith dalam karya Qawaid al-Tafsir pada Juz 30 yang merupakan surat Makiyyah, yang terulang 29 kali pada  Surat al-Naba: 24(2),35(2),37,38, al-infitar :19, al-Inshiqaq:20, 21, al-‘Ala: 6, 13(2), al-Ghashiyyah :7(2),11, 17, al-Fajr:17, 18, 25,26, al-Balad:11, al-Shams:15, al-Lail:15, al-Duha:9,10, al-‘Alaq:19, al-‘Adiyat:9, al-Maun:3, al-Kafirun:2, Selain itu kelebihan  Hasil penelitian menujukkan bahwa penggunaan kaidah Nahyu  Usman Bin sabit yaitu kaidah satu digunakan pada 6 ayat, kaidah empat pada 17 ayat, dan kaidah lima pada 5 ayat, sedangkan makna La Nahyu  yang bermakna hakiki terulang 4 kali  yang bermakna al-Tahrim, sedangkan makna majazi terulang 25 kali dengan makna  taubikh 4 kali, bayan al-‘aqibah 15 kali, al-yais(اليأس) 1 kali, Dawam (دواما) 2 kali, Tahqir (تحقير)  1 kali, dan Irshad (ارشاد) 2 kali. Hal terebut menunjukkan bahwa ayat-ayat Makiyyah tidak menyinggung masalah hukum syariat tetapi menekankan kepada keimanan, akidah dan moral universal,


2019 ◽  
Vol 4 (01) ◽  
pp. 65
Author(s):  
Shidqy Munjin

Abstract : The Quran is not a book that goes down in a vacuum culture. The Qur'an always comes down to answer all the problems. So every verse that descends, must be understood as the context or challenges it faces. In 'ulûm al-qurân this problem is called asbâb al-nuzûl.This paper attempts to explain various scholars' views on the science of asbâb al-nuzûl and some information about the technical application of ayat. This paper provides enough evidence that the ‘ilm of asbâb al-nuzûl that has been compiled by the scholars from generation to generation can be called established and comprehensive.Key Word : al-Quran, ‘ulûm al-Qurân, asbâb al-nuzûl. Abstrak : Al-Quran bukanlah kitab yang turun dalam keadaan vakum budaya. Al-Quran selalu turun untuk menjawab semua problem yang ada. Maka setiap ayat yang turun, harus difahami sebagaimana konteks atau tantangan yang sedang dihadapinya. Dalam ‘ulûm al-qurân permasalahan ini disebut dengan asbâb al-nuzûl.Tulisan ini mencoba menerangkan berbagai pandangan ulama mengenai ilmu asbâb al-nuzûl serta beberapa keterangan mengenai teknis penerapannya terhadap ayat. Tulisan ini cukup memberikan bukti bahwa ilmu asbâb al-nuzûl yang telah disusun oleh para ulama dari generasi ke generasi sudah bisa disebut mapan dan komprehensif.Kata Kunci : al-Quran, ‘ulûm al-Qurân, asbâb al-nuzûl.


2019 ◽  
Vol 4 (01) ◽  
pp. 85
Author(s):  
Asnawati Asnawati ◽  
Ibrahim Bafadhol ◽  
Ade Wahidin

2018 ◽  
Vol 3 (02) ◽  
pp. 117
Author(s):  
Ahmad Fauzan

Secara teologis-normatif, kebenaran al-Qur’an adalah mutlak, sebab ia berasal dari Dzat Yang Maha Benar dan Mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu dipahami, dan dimasukkan dalam disket pemikiran manusia (mufassir), ia berubah menjadi relatif kebenarannya, karena tidak mungkin yang relatif itu (yaitu pemikiran manusia) akan mampu menangkap seratus persen dari yang Maha Mutlak tersebut. Oleh sebab itu, meskipun teks al-Qur’an itu tunggal, namun pada kenyataannya hasil dari pemahaman dan penafsiran terhadap teks itu akan mengalami keragaman, bahkan kadang tampak ada kontradiksi antara satu dengan lainnya. Seperti dalam kitab tafsir al-Mi>za>n karya T{aba>t}a>ba’i yang penafsirannya dengan cara menjelaskan ayat dengan ayat, riwayat. Kemudian beliau juga menjelaskan ayat dengan berbagai pendekatan, seperti filsafat (falsafy), sosiologis (ijtima’i), historis (ta>rikhy), ilmiah (‘ilmy), ilmiah dan etika (‘ilmy wa akhlaqy), ilmiah dan filosofis (‘ilmy wa falsafy), dan rassional dan qur’ani (‘aqly wa qur’any).


2018 ◽  
Vol 3 (02) ◽  
pp. 211
Author(s):  
Arief Rahman ◽  
Rahendra Maya ◽  
Sholahudin Sholahudin

Tulisan ini mendiskusikan tentang salah satu term dalam al-Qur’an yaitu kata  Al-Ṣirāṭ Al-Mustaqīm yang diungkapan Allah dalam banyak surat.  Untuk menggali makna tersebut penulis menelusuri dan mengkajinya berdasarkan pandangan mufassir dan sarjana muslim terhadapnya. Secara ringkas penulis simpulakan bahwa Al-Ṣirāṭ Al-Mustaqīm adalah satu-satunya jalan kebenaran yang dapat menghantarkan seseorang menuju Allah dan surga-Nya. Jika ditelusuri melalui lembaran sejarah, akan didapati bahwa penyimpangan dari  Al-Ṣirāṭ Al-Mustaqīm disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya syubhat/kebodohan, shahwat/hawa nafsu, dan juga dikarenakan peranan setan dalam menjerumuskan manusia sangat dominan. Adapun pendekatan dalam penulisan artikel ini adalah melalui pendekatan kepustakaan dengan mengkaji  dan menelaah sumber data yang berkaitan dengan kata Al-Ṣirāṭ Al-Mustaqīm dalam al-Qur’an. Dalam artikel ini penulis mendapatkan adanya perbedaan pemaknaan antar mufassir terhadap kata al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa Al-Ṣirāt al-Mustaqīm adalah Islam, ada yang menyatakan Al-Ṣirāt al-Mustaqīm adalah al-ḥaqq (kebenaran), lainnya lagi berkata bahwa al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, adalah Nabi Muhammad  dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar rodhiallahu an’hu.


2018 ◽  
Vol 3 (02) ◽  
pp. 157
Author(s):  
Rahendra Maya ◽  
Muhammad Sarbini

Artikel ini ditujukan untuk mengetahui interpretasi dan penafsiran Wahbah Al-Zuhailî sebagai salah seorang mufassir kontemporer terhadap atensi perhatian yang sangat mendalam dan komprehensif dari ayat-ayat Al-Qur’an kepada anak yatim dengan berbagai bentuk perbuatan baik (ihsân) kepadanya. Yaitu perbuatan baik yang bersifat umum-general dan perbuatan baik dalam wujud khusus lagi terdefinisikan bentuknya; berupa perintah dan larangan terhadap suatu perbuatan baik tertentu kepada yatim tersebut. Penafsiran dan paradigma pemikiran Wahbah Al-Zuhailî sebagai mufassir otoritatif secara spesifik antara lain terdeskripsikan dalam tiga karya tafsir ilmiah populernya, antara lain adalah kitab Al-Tafsîr Al-Wasîth sebagai objek utama studi dalam artikel ini.


2018 ◽  
Vol 3 (02) ◽  
pp. 137
Author(s):  
Ipah Hatipah ◽  
Rumba Triana ◽  
Syaeful Rokim

Keluarga merupakan pilar dalam bermasyarakat. Kebaikan bangsa terukur dari keluarga yang ada pada negara tersebut, keluarga kuat maka sebuah negara akan kuat, sebaliknya jika dalam sebuah negara keluarga-keluarga di dalamnya lemah maka akan lemah pula negara tersebut. Penguatan unsur keluarga harus dilakukan seluruh anggota keluar, baik bapak, ibu dan anak. Dalam tema tulisan ini penguatan keluar yang akan ditekankan adalah anak. Anak merupakan salah satu sumber kebahagian dalam keluarga, sehingga sekuat tenaga setiap keluarga mengharapakan anaknya dapat menjadi Qurratu ‘Ayun bagi mereka. Maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang hakikat dari Qurratu ‘Ayun berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, serta penjelasan para ulama mengenai hakikat dari Qurratu ‘Ayun.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document