Majalah Hukum Nasional
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

50
(FIVE YEARS 36)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI

2722-0664, 0126-0227

2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 73-94
Author(s):  
Indah Fitriani Sukri

Proses legitimasi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dengan prinsip satu pintu untuk memudahkan pelaku usaha menerbitkan sertifikat halal.  Sehingga dalam rangka pembentukan BPJPH juga perlu dikaji terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan dari kementerian dan lembaga terkait dengan penyelenggaraan jaminan produk halal. Tidak kurang dari USD 650 juta transaksi produk halal terjadi setiap tahunnya, dan dapat dikatakan bahwa trend halal telah terjadi dimasa kini, tujuan dari penelitian ini menganalisis implikasi UU Cipta Kerja terhadap penyelenggaraan sertifikasi halal dan produk halal. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah keefektifan Undang-Undang Cipta Kerja terhadap penyelenggaraan sertifikasi halal dan produk halal sebagai penguatan kewenangan lembaga BPJPH yang tercantum dalam Undang Undang Cipta Kerja. Dalam penelitian ini metode penelitian menggunakan beberapa rujukan sumber hukum dengan penelitian normatif. Pembentukan BPJPH adalah bentuk upaya pemerintah memberikan perlindungan terhadap konsumen juga harus dilihat sebagai suatu sistem. Hukum sebagai suatu sistem merupakan suatu tatanan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan, saling berinteraksi satu sama lain, yang terorganisasi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan itu. Maka dari itu untuk proses penerbitan sertifikat halal dibutuhkan melalui satu pintu agar semua prosesnya tidak memakan waktu lama dan pelaksanaan yang berbela belit, undang-undang tersebut juga berpotensi menimbulkan masalah kontradiksi antar peraturan, dan dominasi LPH.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 59-71
Author(s):  
Yuni Priskila Ginting

Indonesia sebagai negara hukum mempertahankan dan melindungi sosial serta ekonomi berlandaskan pada kegiatan ekonomi yang diserahkan kepada pasar bebas. Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip negara kesejahteraan membuat administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif diseluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini terkait dengan dinamika hukum pasca pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dari perspektif pluralisme hukum terhadap pemulihan ekonomi dan investasi dan kebijakan pasca pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dalam perspektif pluralisme hukum. Penulis menggunakan penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis yang dikaitkan dengan praktik dan persepsi. Dinamika hukum dan kebijakan pasca pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dari perspektif pluralisme hukum terhadap pemulihan ekonomi dan investasi. Omnibus Law hadir sebagai sebuah konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi produk hukum besar dan holistik. Undang-Undang Cipta Kerja dibuat dengan maksud untuk mengatasi permasalahan pengaturan bidang terkait pembangunan dan investasi.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 21-39
Author(s):  
Raymon Sitorus

Keberadaan Usaha Mikro Kecil di Indonesia sebagai ekonomi rakyat telah mampu menopang struktur perekonomian nasional dan menyerap mayoritas tenaga kerja namun belum dapat dioptimalkan dikarenakan hambatan regulasi. Untuk memaksimalkan potensi yang ada dan mendorong daya saing ekonomi nasional, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang salah satunya mendorong lahirnya bentuk badan hukum baru, yaitu Perseroan Terbatas untuk kriteria Usaha Mikro Kecil yang pendiriannya dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. Sebagai bentuk badan usaha yang baru, kehadiran Perseroan ini menarik untuk diteliti bagaimana konsep dan pengaturan mengenai kedudukannya dalam hukum perseroan, bentuk organ perseroannya, pertanggung jawaban organ dan pemegang saham, serta bagaimana batasan pertanggung jawaban perseroan dalam hal dihadapkan dengan kepailitan. Penelitian ini dikhususkan untuk memberikan deskripsi bagaimana posisi hukum perseroan tersebut, dengan melakukan studi kepustakaan menggunakan bahan literatur hukum, konsep, dan mengacu kepada dokumen hukum peraturan perundang-undangan sebagai bahan primer penelitian. Salah satu yang disimpulkan dan disarankan dalam penelitian ini adalah batasan yang semu dalam pertanggung jawaban perseroan diperlukan pengawasannya agar perseroan ini dapat dikelola secara profesional dan mencegah terjadinya pailit atau dibubarkannya perseroan.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 41-58
Author(s):  
Cahyani Aisyah

UU Cipta Kerja menyatakan bahwa badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil atau Perseroan Perorangan sebagai salah satu bentuk PT, lebih lanjut PP No. 8 Tahun 2021 mengatur bahwa Perseroan Perorangan didirikan dengan mengisi dan mendaftarkan Pernyataan Pendirian, begitu pula dengan perubahan dan pembubarannya, berarti dilakukan tanpa Akta Notaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami lebih lanjut implikasi dari ketiadaan Akta Notaris dalam kelangsungan Perseroan Perorangan akan mempengaruhi implementasi Perseroan Perorangan di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dengan menggunakan metode pendekatan kepustakaan. Disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 jo. Pasal 109 UU Cipta Kerja tidak mengecualikan ketentuan mengenai penuangan anggaran dasar dalam bentuk Akta Notaris sehingga tidak sesuai dengan pasal-pasal 153A ayat (2) UU Cipta Kerja. Akta Notaris hanya diwajibkan untuk dibuat dalam hal Perseroan Perorangan harus diubah menjadi Perseroan. Ketentuan yang tidak tercantum dalam Pernyataan Perseroan Perorangan tunduk pada peraturan perundang-undangan.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 107-125
Author(s):  
Muh. Afdal Yanuar
Keyword(s):  

Melalui tulisan ini, akan dijelaskan konsep dan pengaturan nominee agreement kepemilikan saham dalam kegiatan investasi, serta reformulasi terhadap nominee shareholders dalam kegiatan Penanaman Modal Asing melalui Perusahaan Joint Venture di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini, dipahami bahwa keberadaan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 membatasi investor asing pada bidang-bidang usaha tertentu untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal tersebut memungkinkan bagi investor asing untuk melakukan pengelabuan terhadap hukum yang berlaku, ketika pendirian perusahaan joint venture di Indonesia, diantaranya dengan menunjuk nominee shareholders pada perusahaan joint venture tersebut. Hubungan hukum antara beneficiary (entitas asing) dengan nominee shareholders tersebut didasarkan pada nominee agreement. Melalui nominee agreement, nominee shareholders bertindak untuk dan atas nama beneficiary (entitas asing). Hal tersebut, status quo, dilarang dalam UU Penanaman Modal dan UU Perseroan Terbatas di Indonesia. Akan tetapi, dengan melihat keberadaan Peraturan Presiden tentang Pemilik Manfaat, terdapat kewajiban bagi korporasi untuk menentukan pemilik manfaatnya (termasuk Pemilik manfaat sebenarnya). Sehingga, seharusnya terhadap nominee shareholders (yang dilakukan berdasarkan nominee agreement) tidaklah dilarang sebagaimana status quo, melainkan dibatasi oleh hukum, perihal mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukannya.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 1-125
Author(s):  
M Reza Baihaki ◽  
Raymon Sitorus ◽  
Cahyani Aisyiah ◽  
Yuni Priskila Ginting ◽  
Indah Fitriani Sukri ◽  
...  

Versi Ebook ini merupakan kumpulan dari 7 tulisan (artikel) yang ada di Majalah Hukum Nasional Volume 51 Nomor 1 Tahun 2021. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 1-20
Author(s):  
M Reza Baihaki

Perizinan dalam penataan pengelolaan lingkungan memiliki berbagai fungsi, salah satunya adalah dalam rangka fungsi penertib. Dalam hal ini izin berguna untuk memastikan bahwa tempat dan bentuk kegiatan/usaha masyarakat tidak saling bertentangan. Dalam sektor lingkungan, UU Cipta Kerja telah menggantikan nomenklatur izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Lebih lanjut, perubahan norma tersebut juga disertai dengan penghapusan hak tanggung gugat masyarakat terhadap pemerintah selaku pemberi izin yang semula ditentukan dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Artikel ini mencoba menelisik pergeseran nomenklatur tersebut serta keterkaitannya dengan hak tanggung gugat masyarakat dalam persetujuan lingkungan (yang dianut dalam UU Ciptaker). Dalam menganalisa pembahasan, artikel ini disusun atas hasil penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statuta approach). Lebih lanjut secara konklusif, artikel ini menyajikan dua temuan utama. Pertama, persetujuan lingkungan merupakan keputusan tata usaha negara yang secara sekuensial dapat dilakukan hak tanggung gugat dalam peradilan Tata Usaha Negara. Kedua, pergeseran dari norma izin lingkungan yang semula dikonsepsikan menyederhanakan perizinan (simplifikasi) secara praktis sukar dilaksanakan mengingat penyederhanaan lazimnya dilakukan dengan mengintegrasikan perizinan dalam sektor lingkungan hidup. Dengan demikian pergeseran izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan harus tetap berpijak pada paradigma tindakan pemerintah dalam lapangan hukum administrasi yang menempatkan persetujuan lingkungan sebagai tindakan administrasi yang bersegi satu dan dapat dilakukan hak tanggung gugat oleh masyarakat.


2021 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 95-106
Author(s):  
Nuralia Nuralia ◽  
Nico Andrianto

Dalam RPJMN 2015-2019, yang menekankan pada pembangunan infrastruktur dijelaskan bahwa pemerintahmembuka peluang terjadinya kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam berbagai proyek strategis dengan melibatkan sektor swasta sebagai pemilik modal dengan konsesi selama jangka waktu tertentu. Mekanisme ini semakin mapan dalam RPJMN berikutnya yang memberikan penekanan pada pembangunan SDM unggul dan berdaya saing. Pertanyaan yang mengemuka, sebesar apakah peran pemerintah. Tulisan ini berupaya memotret peran pemerintah dalam pembangunan perekonomian, khususnya saat terjadi pandemi Covid-19 dan pasca implementasi UU Cipta Kerja. Penulis menggambarkan sebesar apa peran pemerintah dalam proses pertumbuhan ekonomi dan upaya yang mendorong pemerataan, sebagai bagian dari sebuah proses pembangunan yang terencana. Analisis yang dihasilkan didukung dengan data statistik yang memberikan gambaran perekonomian nasional saat ini. Pemahaman atas seberapa besar peran pemerintah ini bisa menjadi bahan evaluasi ke depan mengenai bagaimana optimalisasi pembangunan ekonomi bisa dilakukan, dengan memahami aktor-aktornya yang berpengaruh dan peran penting yang bisa dilaksanakan.


2020 ◽  
Vol 50 (2) ◽  
pp. 183-200
Author(s):  
Surya Oktaviandra

Dalam keadaan darurat karena adanya Pandemi Covid-19, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 dalam rangka upaya penstabilan keuangan negara. Pasal 27 ayat 2 Perppu tersebut memberikan jaminan tidak dapat dipidananya pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan ketentuan Perppu dimaksud. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pemerintah telah sewenangwenang dan melanggar konstitusi. Penelitian ini menguji dan mendiskusikan aspek legalitas, proporsionalitas dan konstitusionalitas ketentuan imunitas dimaksud dengan melalui pendekatan yuridis normatif. Dari hasil analisa dan pembahasan didapatkan kesimpulan bahwa Pasal 27 ayat 2 Perppu ini telah sesuai secara legalitas, proporsionalitas dan konstitusionalitas sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi di Indonesia. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan pembanding bagi masyarakat dan sarjana hukum dalam menilai konstitusional atau tidaknya isi ketentuan imunitas pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang menetapkan Perppu tersebut menjadi UU.


2020 ◽  
Vol 50 (2) ◽  
pp. 241-260
Author(s):  
Farida Azzahra ◽  
Aloysius Eka Kurnia

Peraturan perundang-undangan terkait Pemilu di Indonesia saat ini belum mengatur mengenai kewenangan KPU untuk menunda pelaksanaan Pemilukada serentak serta menetapkan jadwal Pemilihan ulang. Adapun meski Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 melegitimasi penundaan penyelenggaraan Pemilukada akibat terjadinya sebuah bencana, namun Undang-Undang a quo tidak menjelaskan perihal lembaga mana yang berwenang menunda penyelenggaraan Pemilukada jika bencana yang dimaksud adalah bencana nasional. Atas hal tersebut, Presiden melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah mengeluarkan dasar hukum guna mengatur kewenangan KPU dalam menunda dan menetapkan jadwal pelaksanaan Pemilukada serentak. Untuk itu, penelitian ini bermaksud untuk meneliti konstitusionalitas Perppu tersebut beserta implikasinya terhadap pelaksanaan Pemilukada. Permasalahan yang akan ditinjau dalam penelitian ini akan menyangkut persoalan mengenai bagaimana kedudukan KPU dalam pelaksanaan Pemilukada di Indonesia serta bagaimana konstitusionalitas Perppu tersebut. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberlakuan Perppu tersebut merupakan bentuk upaya mencegah terjadinya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan Pemilukada di tengah situasi penyebaran Covid-19. Hal ini berlaku konstitusional dan bukan merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap kemandirian lembaga negara.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document