JENTERA Jurnal Kajian Sastra
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

118
(FIVE YEARS 42)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa

2579-8138, 2089-2926

2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 222
Author(s):  
NFN Atisah

This paper aims to analyze and reveal the values of religiosity in the animal story or fable A Mouse Deer Who Always Remembers God. The method used is descriptive analysis method and the theory used to analyze the work is an objective theory based on the work itself. In the fable, the deer figure is very famous, he is smart and always gets a solution when facing problems. He often uses his senses well. In the story "A Mouse Deer Who Always Remembers God", the deer figure always gets a solution to every problem because he always remembers God. The author of the (anonymous) deer story seems to realize that even a creature (animal) always remembers God, what about us humans? By always remembering God life will be saved. This is the hidden message of the author. This fable genre turns out not only to function as entertainment, it also has various functions such as didactic functions, advice, satire, and even.AbstrakTulisan ini bertujuan menganalisis dan mengungkapkan nilai-nilai religiusitas dalam cerita binatang atau fabel Seekor Kancil yang Selalu Ingat kepada Tuhan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Konsep religiusitas akan menjadi pijakan dalam menemukan nilai-nilai religiusitas yang dimaksud di dalam fabel yang menjadi objek material di dalam tulisan ini. Dalam fabel sosok kancil sangat terkenal, ia berwatak cerdik dan selalu mendapat solusi ketika menghadapi masalah. Selain karena ia sering menggunakan akal dengan baik juga karena ia selalu ingat pada Tuhan. Pengarang cerita kancil (anonim) tersebut tampak menyadari bahwa seekor makhluk (binatang) pun selalu ingat Tuhan, dengan selalu mengingat Tuhan hidup akan selamat. Inilah pesan tersembunyi pengarang. Genre fabel ini ternyata tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki berbagai fungsi seperti fungsi didaktik, nasihat, sindiran, bahkan kritik sosial.


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 167
Author(s):  
Radea Hafidh Rakata Iskandar ◽  
Bayu Indra Pratama
Keyword(s):  

Chairil Anwar adalah sastrawan besar yang hidup pada masa perjuangan bangsaIndonesia. Hal ini memungkinkan baginya untuk menulis pesan-pesan nasionalis dalam puisi- puisinya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk membongkar nasionalisme Chairil Anwar yang tertuang dalam puisi-puisinya. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dengan metode Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer yang didukung dengan Analisis Wacana Kritis Teeun A. Van Dijk untuk menyingkap bagaimana Chairil Anwar memahami praktik ideologi nasionalisme pada masa tersebut dan kemudian menuangkannya dalam puisi-puisinya. Unit data yang dianalisis adalah puisi-puisinya yang bertema nasionalis yang ditulis dalam rentang waktu 1942-1949 sebanyak 13 puisi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa puisi-puisi tersebut merepresentasikan pemikiran nasionalisme Chairil Anwar. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari kognisi individu dan konteks sosial terhadap proses penciptaan puisi.


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 188
Author(s):  
Mohamad Akbar Pangestu

2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 197
Author(s):  
Pradicta Nurhuda ◽  
Novi Anoegrajekti ◽  
Siti Gomo Attas

2021 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 127
Author(s):  
Aiqing Wang

Danmei, aka Boys Love, is a salient transgressive genre of Chinese Internet literature. Since entering China’s niche market in 1990s, the danmei subculture, predominantly in the form of original fictional creation, has established an enormous fanbase and demonstrated significance via thought-provoking works and social functions. Nonetheless, the danmei genre is not an innovation in the digital age, in that its bipartite dichotomy between seme ‘top’ and uke ‘bottom’ roles bears similarities to the dyad in caizi-jiaren ‘scholar-beauty’ anecdotes featuring masculine and feminine ideals in literary representations of heterosexual love and courtship, which can be attested in the 17th century and earlier extant accounts. Furthermore, the feminisation of danmei characters is analogous to an androgynous ideal in late-imperial narratives concerning heterosexual relationships during late Ming and early Qing dynasties, and the depiction of semes being masculine while ukes being feminine is consistent with the orthodox, indigenous Chinese masculinity which is comprised of wen ‘cultural attainment’ epitomising feminine traits and wu ‘martial valour’ epitomising masculine traits. In terms of modern literature, danmei is parallel to the (online) genre yanqing ‘romance’ that is frequently characterised by ‘Mary Sue’ and cliché-ridden narration. 


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document