Review Article : Michael B. Thompson, The New Perspective on Paul (Cambridge: Grove Books, 2002. £2.50. pp. 28. ISBN I-85I74-5I8-I)

2003 ◽  
Vol 114 (11) ◽  
pp. 385-385
2009 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 207-238
Author(s):  
Chandra Gunawan

Diskusi mengenai soteriologi Yudaisme Bait Allah Kedua (selanjutnya akan disingkat Yudaisme BAK) telah menjadi perdebatan “terpanas” bagi para pakar PB dalam 2-4 dekade ini. Sejak era Reformasi, para pakar PB memandang Yudaisme BAK sebagai agama legalis. Tokoh yang dinilai paling berpengaruh dalam membawa pandangan tersebut adalah Martin Luther dan Rudolf Bultmann. Akan tetapi, sejak E. P. Sanders (1977) menulis buku Paul and Palestinian Judaism, perdebatan mengenai soteriologi Yudaisme BAK mulai menjadi “panas.” Sanders mengatakan Yudaisme BAK bukan agama legalis, sebab mereka tidak pernah menganggap ketaatan pada Taurat dapat membeli keselamatan, ketaatan pada Taurat adalah syarat untuk tetap berada dalam ikatan perjanjian dengan Tuhan. Pandangan Sanders dibenarkan oleh N. T. Wright (1978). James D. G. Dunn (1982) juga meneguhkan pandangan Sanders mengenai Yudaisme BAK dan ia menegaskan juga bahwa pergumulan Paulus dengan Yudaisme BAK harus dilihat dalam konteks sosial dan historis Paulus dan bukan dalam “kaca mata” pergumulan Luther. Disertasi Raisanen (diterbitkan tahun 1983) juga meneguhkan pandangan Sanders, tetapi ia menambahkan bahwa Paulus dalam surat-suratnya sedang menyerang suatu konsep pembenaran melalui perbuatan, namun soteriologi tersebut bukan soteriologi Yudaisme BAK, namun soteriologi yang merupakan bayangan pergumulan Paulus sendiri. Pandangan Sanders kemudian mendapat perlawanan dari Hans Hubner (1984), ia mengatakan dalam Galatia, Paulus jelas-jelas menentang soteriologi Yudaisme BAK. Disertasi Francis Watson (diterbitkan tahun 1986) juga meneguhkan pandangan Sanders mengenai “covenantal nomism,” namun ia melihat polemik Paulus tertuju pada konsep yang salah mengenai hubungan Yahudi-Yunani. Llyod Gaston (1987) memandang soteriologi Yudaisme BAK sama dengan Sanders, namun ia melihat persoalan utama Paulus adalah sikap Yudaisme BAK terhadap orang-orang bukan Yahudi. Pandangan Sanders, kemudian mendapatkan perlawanan dari Stephen Westerholm (1988). Westerholm mengatakan Luther dan para reformator tidak salah, Yudaisme BAK adalah agama legalis sebab soteriologi mereka berasal dari tradisi deuteronomistik yang memang legalis. Akan tetapi, disertasi John M. G Barclay (diterbitkan 1988) kembali meneguhkan Sanders, ia berkata Paulus tidak pernah mengatakan bahwa Yudaisme BAK adalah agama legalis, persoalan utama Paulus adalah ia melihat Yudaisme BAK tidak percaya pada Yesus. Disertasi Walter Hansen (diterbitkan tahun 1989) kembali meneguhkan pandangan Sanders, ia mengatakan, Yudaisme BAK tidaklah legalis dan Paulus tidak sedang menyerang Yudaisme BAK, namun ia sedang menyerang Kristen Yahudi. Disertasi Don Garlington yang dibimbing oleh James D. G. Dunn (diterbitkan tahun 1991), juga meneguhkan pandangan Sanders, Garlington mengatakan ketaatan pada Taurat tidak pernah dimaksudkan untuk membeli keselamatan, namun sebagai konsekuensi seseorang yang telah berada dalam keselamatan. William S. Campbell (1991) meneguhkan pandangan Sanders bahwa persoalan utama Yudaisme BAK di mata Paulus adalah mereka tidak percaya kepada injil. Perlawanan yang keras kemudian diberikan dalam disertasi Timo Laato (diterbitkan tahun 1995), ia memandang aspek kehendak bebas adalah dominan dalam soteriologi Yudaisme BAK, mereka memandang keberadaan seseorang dalam ikatan perjajian dengan Tuhan ditentukan oleh pilihan manusia sendiri. Colin G. Kruse (1997) menyatakan dukungannya atas pandangan Sanders mengenai soteriologi Yudaisme BAK, ia memandang Paulus sedang melawan sebagian kalangan Yahudi yang memandang ketaatan pada Taurat dapat membenarkan mereka. Terence L. Donaldson (1997) mendukung gagasan Sanders, ia melihat persoalan utama Paulus adalah hubungan Yunani dan Yahudi, perubahan sikap Paulus terhadap orang-orang bukan Yahudi, terjadi saat Paulus mengalami pertemuan dengan Kristus di Damsyik. Timo Eskola (1998) melawan pandangan Sanders, ia menemukan bahwa ketidaktaatan pada Taurat akan membuat Israel dibinasakan, oleh sebab itulah Yudaisme BAK (menurut Eskola) adalah “synergism.” Disertasi Kent L. Yinger (1999) menentang Sanders, ia menemukan, dilihat dari aspek penghakiman akhir, Yudaisme BAK tetap memandang ketaatan pada Taurat adalah syarat keselamatan. Carson dan kawan-kawan (2001), juga memberikan perlawanan sengit bagi Sanders, mereka mengatakan Yudaisme BAK meyakini bahwa ketaatan pada hukum adalah syarat untuk tetap berada dalam keselamatan dan dilihat dari konsep tersebut, Yudaisme BAK tetaplah legalis. Andrew Das (2001) melihat dalam konteks keselamatan, Yudaisme BAK menuntut kesempurnaan dalam mentaati Taurat, Yudaisme BAK memandang ketaatan yang sempurna pada Taurat adalah syarat anugerah Allah dan ia juga membuktikan bahwa Paulus sama sekali bukan penganut “covenantal nomism.” Disertasi Simon Gathercole (diterbitkan tahun 2002) meneguhkan pandangan Yinger dan melawan Sanders, ia menegaskan (dalam konteks penghakiman) aspek ketaatan pada Taurat adalah ukuran untuk keselamatan. Chris VanLandingham (2006) menulis hal yang sama dengan Gathercole, namun ia memberikan penekanan yang berbeda, ia melihat konsep penghakiman berdasarkan perbuatan memang dinyatakan dengan kuat dalam Yudaisme BAK, namun hal yang sama juga dinyatakan dalam surat-surat Paulus. Michael F. Bird (2007) menyatakan bahwa Yudaisme BAK memang tidak selegalis yang dituduhkan sebelumnya, namun konsep ketaatan yang menentukan keselamatan memang ada dalam soteriologi mereka, selain itu, Bird (secara tidak langsung) menyanggah pandangan Gathercole dan VanLandingham mengenai konsep “judgment by work” dalam Yudaisme BAK yang dianggap sama dengan yang terdapat dalam PB. James D. G. Dunn (2008) dalam bukunya New Perspective on Paul, ia seorang diri merespons semua kritik yang dilontarkan lawan-lawan “New Perspective.” Jadi, perdebatan mengenai soteriologi Yudaisme BAK belum berakhir. Para pakar PB tidak sepakat dalam menjawab pertanyaan apakah Yudaisme BAK adalah agama yang legalis ataukah tidak. Dalam artikel ini, penulis akan memperlihatkan aspek-aspek yang menjadi perdebatan antara Sanders (dan pengikutnya) dan pakar-pakar yang menjadi lawan-lawannya, tujuannya adalah pembaca dapat melihat kelemahan dari perdebatan yang telah berlangsung sehingga dapat mencari dan meneliti aspek lain/berbeda yang dikontribusikan untuk menjawab perdebatan soteriologi Yudaisme BAK.


2016 ◽  
Vol 50 (1) ◽  
Author(s):  
Philip La Grange Du Toit

This article re-examines the tension between Paul’s focus on the doing of the Law in relation to justification in Romans 2, and righteousness by faith in Romans 3:21–35. Taking into account current approaches to Romans 2, Paul’s references to the doing of the Law are interpreted as forming part of the conditions for salvation and justification in the old era before Christ. The impossibility of doing the whole Law and the total depravity of all people constitute the plight of the old era under the Law. This plight is set in contrast with faith in Christ and anticipates the solution of faith in Christ, which marks the new condition for justification in the eschatologically new era in Christ.Keywords: Paul; Romans 2; New Perspective on Paul; justification; law


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document