Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

46
(FIVE YEARS 0)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika

2598-8190, 2355-7206

2019 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 7-14
Author(s):  
Erlita Aprilia ◽  
Althaf Aini ◽  
Ayu Frakusya ◽  
Agus Safril

Energi listrik merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Kebutuhan akan energi listrik yang semakin meningkat dari waktu ke waktu memerlukan inovasi baru untuk menghasilkan energi listrik yang ramah lingkungan. Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) adalah metode untuk menghasilkan energi listrik menggunakan prinsip perbedaan temperatur antara laut dalam dan permukaan dengan selisih temperatur minimal sebesar 20C untuk menjalankan mesin kalor. Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan elektrifikasi yang masih rendah. Letak Indonesia yang berada di wilayah tropis dengan perbedaan suhu air laut yang tinggi memiliki potensi untuk memanfaatkan metode OTEC dalam menghasilkan energi listrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pemanfaatan OTEC di perairan sekitar Papua Barat. Data yang digunakan adalah data suhu air laut dalam dan permukaan periode tahun 1955 – 2012 di dua belas titik di perairan sekitar Papua Barat. Data tersebut diperoleh dari World Ocean Atlas 2013 yang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak olah data dan Ocean Data View (ODV). Hasil olah data didapatkan nilai efisiensi terbesar yaitu 7,67% dan terkecil yaitu 7,21%.



2019 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 49-55
Author(s):  
Wendel Jan Pattipeilohy ◽  
Femmy Marsitha B ◽  
Devina Putri Asri

Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan suatu gelombang atau osilasi non seasonal yang terjadi di lapisan troposfer yang bergerak dari barat ke timur dengan periode osilasi kurang lebih 30-60 hari. Fenomena ini sangat berdampak terhadap kondisi anomali curah hujan pada suatu wilayah yang dilaluinya. Dalam penelitian ini delapan fase MJO dikelompokan menjadi 4 bagian sesuai dengan pergerakannya yaitu fase 1 dan 8 (Western and Africa), fase 2 dan 3 (Indian Ocean), fase 4 dan 5 (Maritime Continent),  fase 6 dan 7 (Western Pacific). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data curah hujan periode 1996-2015 dan data MJO periode yang sama. Lokasi penelitian yaitu wilayah Ngurah Rai. Data curah hujan dihitung anomalinya lalu dipisahkan antara anomali positif dan negatif  lalu disandingkan dengan fase MJO aktif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis porsentase kelompok fase MJO mana yang mendominasi anomali curah hujan pada saat anomali positif maupun negatif. Hasil kajian menunjukan persentase kejadian anomali curah hujan positif dominan terjadi saat fase MJO berada di Maritime Continent  sebesar 36%. Kemudian persentase kejadian anomali curah hujan negatif dominan terjadi saat MJO berada pada fase Indian Ocean dengan porsentasi sebesar 33%.



2019 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 38-48
Author(s):  
Dina Fitriana ◽  
Nadya Oktaviani ◽  
Isna Uswatun Khasanah

Pasang surut laut merupakan sebuah fenomena naik dan turunnya permukaan air laut di bumi akibat pengaruh gravitasi benda luar angkasa, terutama matahari dan bulan. Pengamatan pasang surut laut sangat penting dalam penentuan referensi vertikal, untuk menyatukan data-data pengukuran di laut dan di daratan agar dapat diterjemahkan dalam satu kesatuan sistem pemetaan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki luas laut 3,25 juta km2 dari 7,81 juta km2 total luas wilayah Indonesia, sudah seharusnya memiliki stasiun pasang surut yang tersebar merata di seluruh Indonesia. Penempatan stasiun tersebut juga harus tepat lokasi karena setiap perairan memiliki karateristik tersendiri. Badan Informasi Geospasial (BIG) mengelola 138 stasiun pasang surut (pasut) yang terdistribusi di seluruh wilayah Indonesia. Stasiun pasut tersebut pada umumnya ditempatkan di dermaga/pelabuhan, sehingga jarak antar staisun pasang surut menyesuaikan ketersediaan dermaga yang ada. Pada penelitian ini dilakukan analisa harmonik pasut dengan metode admiralty pada stasiun pasut BIG yang jarak antar stasiunnya kurang dari 50 km, disumsikan tipe pasut di lokasi yang berdekatan tersebut sama. Lokasi penelitian adalah stasiun pasut Ulee Lhue dibandingkan dengan stasiun pasut Malahayati, stasiun pasut Pel. Ciwandan dibandingkan dengan stasiun pasut Serang, stasiun pasut Sunda Kelapa dibandingkan dengan Pondok Dayung, dan stasiun pasut Pameungpeuk dibandingkan dengan stasiun pasut Pamayangsari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe pasut dilokasi yang dibandingkan tersebut memiliki karakteristik yang sama.



2019 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 21-29
Author(s):  
Alfin Syarifuddin Syahab ◽  
Hanif Cahyo Romadhon ◽  
M. Luqman Hakim

Indonesia merupakan negara tropis yang mendapatkan pencahayaan sinar matahari optimum di permukaan bumi. Sementara kebutuhan energi listrik meningkat dikarenakan pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi. Hal ini menyebabkan adanya kebutuhan suatu energi alternatif. Salah satu inovasi untuk mendapatkan energi listrik adalah dengan cara memanfaatkan cahaya matahari menggunakan panel surya. Panel surya adalah alat yang mampu mengubah energi panas dari cahaya matahari menjadi energi listrik. Panel surya akan menerima daya sebesar intensitas cahaya matahari yang diterimanya dari pancaran cahaya matahari. Namun banyak dipasang secara tetap, sehingga daya yang terserap oleh panel surya menjadi tidak maksimum akibat penyerapannya yang tidak optimal. Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu alat yang mampu menyerap pancaran cahaya matahari secara optimal dengan menggunakan sistem pelacak otomatis berbasis mikrokontroler 2560. Sistem pelacak energi surya tersebut mampu menyerap energi listrik rata-rata sesaat 9.933 Watt, sedangkan energi rata-rata sesaat yang dihasilkan sistem panel surya statis adalah 0.8 Watt. Hasil monitoring tersebut dapat dilihat menggunakan sistem komunikasi berbasis internet secara realtime yang ditampilkan pada display web thingspeak.com dan aplikasi android virtuino.



2019 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 49-57
Author(s):  
Mohammad Abdul Khafid

Indonesia merupakan negara yang sering terjadi bencana hidrometeorologi di antaranya adalah tanah longsor. Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, termasuk kabupaten yang sangat tinggi berpotensi terjadinya tanah longsor. Hal ini di buktikan dengan banyaknya kejadian gerakan massa tanah ataupun batuan terutama saat musim hujan dan telah menimbulkan kerusakan fisik atau bahkan sampai dengan korban jiwa. Gedangsari Terletak pada ketinggiam 120 – 800 mdpl dengan kemiringan lereng datar – sangat curam yang memungkinkan terjadinya bencana longsor. Perlunya dilakukan penyidikan awal untuk memetakan daerah potensi rawan longsor sehingga dapat menentukan pula daerah pemukiman rawan longsor, selanjutnya dapat menjadi rujukan dalam penataan wilayah dan penyiapan mitigasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pembobotan dengan parameter, berupa: data kelerengan, data curah hujan, data zona aktif struktur, data jenis batuan, dan data penggunaan lahan yang nantinya diolah menggunakan perangkat lunak Arc.GIS 10.2. Hasil dari peta potensi longsor ini selanjutnya dianalisis dengan peta pemukiman penduduk, sehingga menghasilkan peta zonasi pemukiman rawan longsor. Dengan hasil ini diharapkan dapat membantu pemerintah untuk melakukan penanganan bencana tanah longsor lebih cepat, sehingga dampak yang ditimbulkan nantinya tidak mengakibatkan kerugian yang besar dan dapat juga di gunakan sebagai perencanaan pembangunan wilayah.



2019 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 23-31
Author(s):  
Moh Dede ◽  
Galuh Putri Pramulatsih ◽  
Millary Agung Widiawaty ◽  
Yanuar Rizky Rizky Ramadhan ◽  
Amniar Ati

Peningkatan suhu udara merupakan dampak dari pemanasan global serta berkurangnya vegetasi. Pada kawasan perkotaan, peningkatan suhu udara secara signifikan dapat memunculkan fenomena urban heat island yang dalam jangka panjang mampu mengubah iklim mikro. Estimasi suhu permukaan dan kerapatan vegetasi diperoleh dari data satelit penginderaan jauh secara multi-temporal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika suhu permukaan dan kerapatan vegetasi di Kota Cirebon. Penelitian ini memanfaatkan data citra Landsat-5 TM dan Landsat-8 OLI yang divalidasi dengan data MODIS pada periode tahun 1998, 2008, serta 2018. Nilai suhu permukaan diekstraksi dengan radiative transfer equation, sedangkan informasi kerapatan vegetasi diperoleh dengan normalized difference vegetation index (NDVI). Interaksi antara suhu permukaan dan kerapatan vegetasi diketahui melalui analisis korelasi spasial. Sepanjang tahun 1998 hingga 2018 terjadi peningkatan suhu permukaan sebesar 1.18 oC yang disertai dengan menurunnya area bervegetasi rapat hingga 12.683 km2. Penelitian ini juga menunjukkan korelasi negatif yang signifikan antara suhu permukaan dan kerapatan vegetasi di Kota Cirebon. Suhu permukaan tertinggi terpusat pada CBD, pelabuhan, area rawan kemacetan, kawasan industri, dan terminal. Berdasarkan kajian ini, upaya menanggulangi suhu permukaan di Kota Cirebon perlu ditangani melalui penyediaan ruang terbuka hijau, green belt, maupun reforestrasi.



2019 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 1-6
Author(s):  
Abdul Hamid Al Habib ◽  
Yoga Wahyu Pradana ◽  
Dany Pangestu ◽  
Paulus Agus Winarso ◽  
Jusa Sujana

Banjir besar kembali melanda enam kecamatan di kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal 2 November 2018.  Banjir terjadi disebabkan oleh debit sungai yang meluap akibat hujan sangat lebat yang terjadi di bagian hulu dan hilir. Dampak banjir bandang tersebut mengakibatkan 600 rumah terendam banjir, 3 jembatan putus dan menelan korban jiwa. Karena dampak tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk meninjau kondisi suhu permukaan laut, mean sea level pressure, nilai transport uap air, streamline, data citra satelit Himawari-8 dan data citra radar cuaca C-Band. Data diolah dalam bentuk grafik dan peta spasial kemudian dilakukan analisis deskriptif yang meliputi analisis temporal dan analisis spasial. Berdasarkan hasil analisis hujan sangat lebat yang terjadi di wilayah Padang dipicu oleh gangguan cuaca skala regional berupa adanya pola shearline atau komponen zona arah lintasan angin yang mengalami perubahan secara tiba-tiba yang sejajar dengan angin horizontal dan daerah tekanan rendah yang menimbulkan konvergensi di pesisir kota Padang, kemudian nilai transport uap air yang cukup tinggi yaitu kisaran antara 700-1100 Kg/ms-1 pada lapisan 1000-300 mb. Terjadinya hujan lebat seringkali terkait dengan keberadaan awan Cumulonimbus (Cb). Hal ini dikarenakan karakteristik awan Cb dengan dimensi yang besar serta mengandung banyak partikel presipitasi seperti  air dan kristal es. Kondisi ini didukung dengan keberadaan awan Cb berdasarkan analisis time series citra satelit Himawari-8 dan nilai reflektifitas radar berada pada nilai 45-60 dBz. Pada tanggal 2 November 2018, hampir seluruh awan hujan yang muncul mempunyai ketebalan lebih dari 7 km, dimana suhu puncak awan terendah mencapai nilai      -72.5°C.



2019 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 13-22
Author(s):  
Sigit Eko Kurniawan ◽  
Febriani Saputri
Keyword(s):  

Pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17.02.44 WIB terjadi gempabumi yang berpotensi tsunami di daerah Donggala. BMKG mengeluarkan parameter gempabumi dengan magnitudo 7.7, lokasi 0.18 LS dan 119.85BT atau 26 km dari Utara Donggala. Gempabumi dengan kedalaman 10 km tersebut terjadi dengan mekanisme sesar mendatar akibat aktivitas sesar Palu-Koro dan diikuti oleh ratusan gempabumi susulan. Sesar Palu-Koro melintang dari Selat Makasar sampai pantai utara Teluk Bone memotong jantung kota Palu hingga ke sungai Lariang, Donggala. Studi ini akan merelokasi hiposenter gempabumi Donggala beserta gempabumi pendahulu dan susulannya menggunakan metode hypoRelocate. Relokasi ini menggunakan waktu tempuh mutlak dari 599 gempabumi, beda waktu tempuh relatif dari 2.492 pasangan gempabumi dan waktu dari 11 tumpukan coda cross-correlogram untuk selanjutnya diinversi dengan simulated annealing. Metode ini memiliki kelebihan berupa berupa pengurangan ketergantungan hasil relokasi pada lokasi absolut katalog dengan menyisir waktu tempuh mutlak, pembatasan jarak relatif antargempabumi dengan menggunakan perbedaan waktu tempuh dan koreksi jarak antargempabumi berdasarkan tumpukan coda cross-correlogram. Hasil relokasi menunjukan episenter gempabumi lebih mengumpul atau terfokus daripada posisi awal dan membentuk kluster yang berwujud sebuah bidang dengan luas sekitar 250 km × 85 km. Sebagian besar episenter setelah direlokasi bergeser dengan jarak 15‒20 km dan perubahan kedalaman gempabumi dominan kurang dari 10 km. Arah pergeseran episenter tersebar merata secara acak namun arah barat lebih sedikit dominan. Relokasi menggunakan hypoRelocate menunjukkan peningkatan kualitas yang cukup baik dengan turunnya nilai total residual setelah relokasi. Hasil validasi relokasi hypoRelocate dengan peta citra satelit ALOS-2 mode ScanSAR dan ALOS-2 PALSAR-2 menunjukan bahwa hasil relokasi berada pada bidang sesar akibat gempabumi.



2019 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 67-73
Author(s):  
Agung Sandi Budiman
Keyword(s):  

Kota Makassar merupakan salah satu kota dataran rendah di Indonesia dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter di atas permukaan laut yang banyak ditumbuhi oleh tanaman mangrove di salah satu sungai nya yaitu Sungai Tallo. Tanaman mangrove yang tumbuh didaerah tersebut dapat dipergunakan untuk menduga nilai estimasi stok karbon melalui biomassanya, namun hal ini masih belum banyak dilakukan  lantaran lokasinya yang jauh terutama untuk para peneliti dari luar Kota Makassar sehingga dana yang diperlukan untuk melakukan pengamatan langsung  ini pun menjadi lebih besar. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan dengan maksud memanfaatkan Sistem Informasi Geografi dan citra Landsat 8 untuk dapat mengetahui nilai estimasi stok karbon menggunakan spectral band 6 citra satelit Landsat 8 dengan biomassa pada kawasan mangrove di Sungai Tallo Kota Makassar Sulawesi Selatan pada tahun 2018 tanpa perlu datang ke lokasi nya langsung. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi citra satelit Landsat 8 Kota Makassar yang diperoleh dari website earthexplorer.usgs.gov , data tutupan lahan tahun 2016, dan data shp wilayah Kota Makassar. Nilai estmasi potensi biomassa didapat dengan persamaan hasil regresi di kawasan mangrove di Sungai Tallo Makassar dengan nilai maksimumnya sebesar 1115.40 ton/ha dan nilai minimumnya 168.65 ton/ha dengan nilai estimasi stok karbon diperoleh dari 46% dari biomassa sehingga diperolehlah nilai estimasi stok karbon maksimumnya sebesar 513.08 ton/ha dan minimumnya sebesar 77.57 ton/ha.



2019 ◽  
Vol 6 (2) ◽  
pp. 30-38
Author(s):  
Lisa Agustina ◽  
Presli Panusunan Simanjuntak ◽  
Aulia Nisa’ul Khoir

DKI Jakarta merupakan pusat dari pemerintahan dan ekonomi di Indonesia. Pesatnya aktivitas penduduknya tentu saja menyebabkan adanya polutan penyebab pencemaran udara, dimana beberapa parameternya adalah CO2 dan CH4. Meningkatnya jumlah polutan tersebut akan membahayakan lingkungan terutama kesehatan manusia serta dapat menjadi gas rumah kaca di atmosfer dengan masa hidup panjang, terutama CO2. Tinjauan terhadap parameter meteorologi sangat penting, karena mempengaruhi tingkat konsentrasi CO2 dan CH4 di atmosfer. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis keterkaitan antara parameter meteorologi dengan konsentrasi CO2 dan CH4 di DKI Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistika deskriptif untuk melihat sebaran secara temporal dari polutan CO2 dan CH4 terhadap waktu dan hubungannya dengan parameter meteorologi (suhu, kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin). Lokasi pengamatan terletak di BMKG Pusat yaitu Kemayoran. Periode data yang digunakan adalah 2008-2017. Hasil pengolahan data menunjukkan konsentrasi CO2 tertinggi pada periode MAM dan terendah pada periode JJA. Konsentrasi CH4 tertinggi pada periode DJF dan terendah pada periode JJA. Stabilitas atmosfer yang tinggi dan kecepatan angin yang rendah serta tidak sedikit curah hujan menyebabkan konsentrasi CO2 dan CH4 tinggi di lokasi  pengamatan. Perhitungan statistika deskriptif memerlihatkan adanya pengaruh dari musiman dalam menghasilkan rata-rata konsentrasi polutan. Kecepatan angin menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 sebanyak 83%, dan 17% lainnya disebabkan oleh faktor lain. Faktor curah hujan sebesar 45% mempengaruhi penurunan konsentrasi CH4 di Kemayoran.  Sebesar 45% faktor kelembapan juga mempengaruhi konsentrasi CH4. Jadi kenaikan konsentrasi CH4 dipengaruhi oleh faktor curah hujan dan kelembapan, dan lainnya dipengaruhi faktor lain. Penurunan konsentrasi CH4 dipengaruhi kecepatan angin sebesar 44%, dan sebesar 56% disebabkan oleh faktor lainnya



Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document