KRTHA BHAYANGKARA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

67
(FIVE YEARS 55)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

2721-5784, 1978-8991

2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 319-332
Author(s):  
Daffa Okta Permana ◽  
Esther Masri ◽  
Clara Ignatia Tobing

Indonesia merupakan negara yang memiliki seribu kepulauan yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang begitu luas dan kaya dengan keanekaragaman etnik, suku, bangsa dan agama. Kekayaan seni dan budaya itulah yang merupakan potensi nasional yang harus dilindungi. Karya intelektual dari kekayaan seni dan budaya itulah yang dapat dan perlu dilindungi oleh Undang-Undang. Karena kekayaan seni dan budaya yang dilindungi ini dapat meningkatkan kesejahteraan yang tidak hanya bagi penciptanya tetapi juga bagi bangsa dan negara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana upaya hukum jika pencipta lagu tidak mendapatkan hak ekonominya. Penelitian ini menggunakan yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum, bahan pustaka atau bahan dokumen. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih jauh dari kata baik, karena masih banyak pencipta lagu yang tidak mendapatkan royalti dari lagu yang ia ciptakan, sehingga banyak dari pencipta lagu melakukan upaya hukum demi mendapatkan royalti dari lagu yang ia ciptakan. Perlu sosialisasi juga kepada pencipta lagu dan pemilik tempat hiburan guna mempermudah melaksanakan Peraturan ini sehingga bisa memberikan keadilan bagi pencipta lagu.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 233-240
Author(s):  
Amalia Syauket

Pada tataran normatif, semua agama tentu mengajarkan pemeluknya agar tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Agama juga menitahkan agar kita tak mengambil hak orang lain. Namun, realitas menunjukkan negara dengan mayoritas umat beragama tidak ada yang lepas dari praktik korupsi. Bahkan, kasus-kasus korupsi akut banyak ditemukan di negara yang memiliki identitas agama kuat, apa pun agama itu.Dorongan beragama, beserta pemahaman tentang Tuhan di dalamnya, sudah tertanan di dalam struktur pikiran maupun syaraf manusia. Namun ketika dorongan tersebut tidak menjadi kenyataan, tanpa dukungan keadaan yang sesuai misalnya pengaruh kekuasaan politik maupun ekonomi. Penelitian kualitatif ini menggunakan sikap rasionalitas dan kritis, tidak berpijak pada iman atau agama apa pun, dengan mengutamakan data sekunder, untuk menjawab pertanyaan penelitian bagaimana agama dalam pelukan para koruptor? Apakah Agama berada dalam pelukan erat para koruptor? Karena Secara logis dan ideal, seseorang yang taat beragama dan menjalankan agama dengan baik akan terhindar dari korupsi. Dari berbagai literature dalam penelitian ini tampak bahwa agama dalam pelukan koruptor hanya sebagai formalitas saja pada tataran dimensi ritual belum mampu berefek pada tingkat perilakunya pada dimensi tataran moralitas,  yang berdampak adanya pemisahan antara ibadah yang sifatnya hubungan langsung dengan Allah SWT dengan ibadah yang bersifat hubungan dengan sesama manusia. Agama dalam pelukan koruptor,baru tercermin pada praktek ritual agama semata, masih menjadi kesalehan individu, belum tercermin dalam perilaku anti korupsi secara sosial. Ketika beragama menjadi koruptor karena pengaruh politik maupun ekonomi, maka  ia ditinggalkan.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 333-350
Author(s):  
Elfirda Ade Putri

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali. Bahwa Permasalahan timbul ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, tidak menjadikan sertifikasi dan labelisasi halal      sebagai sebuah bentuk kewajiban (mandotary) bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (vo- luntary). Maka sertifikasi halal dan labelisasi halal dapat dikatakan belum mempunyai legitimasi hukum yang kuat, sehingga tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum produk pangan halal bagi konsumen.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 177-196
Author(s):  
Elang Darmawan ◽  
Ahmad Baihaki ◽  
Otih Handayani

Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat berkembang biak dan meneruskan keturunannya. Tata tertib perkawinan di Indonesia diatur dalam kaidah-kaidah hukum perkawinan. diantaranya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam KHI dinyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Permasalahan terjadi manakala wali nasab enggan menikahkan anak disebabkan oleh pertimbangan orang tua mengenai bibit, bebet dan bobot calon menantu. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum yang positif yang kemudian dihubungkan dengan pembahasan yang menjadi pokok pembahasan. Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji aturan hukum bersifat formil seperti undang-undang, peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis. Hasil penelitian mendiskripsikan bahwa Penetepan wali hakim sebagai pengganti wali Adlal bisa dilakukan dengan menggunakan meknisme perkawinan yang benar, perkawinan tidak dapat dicegah atau di batalkan sebab kedua mempelai sudah memenuhi syarat perkawinan dan tidak ada larangan perkawinan.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 351-368
Author(s):  
Lusia Sulastri

Penarikan tuntutan perkara ini menjadi sejarah baru untuk hukum di Indonesia. Fenomena ini tentunya tidak diatur dalam KUHAP, karena biasanya pengadilan lah yang menjadi jalan terakhir dalam memutuskan seseorang bersalah atau tidak bersalah, terlebih lagi pada awalnya Kejaksaanlah yang mendakwa Valencya dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 5 huruf B UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun ternyata menuntut sebaliknya. Oleh karena itu fenomena hukum tersebut menarik untuk dikaji. Hasil kajian memperlihatkan bahwa, adanya tuntutan bebas memperlihatkan benar-benar dominus litis kejaksaan dalam melakukan penuntutan dilaksanakan. Jaksa agung dalam hal ini memiliki dasar hukum yaitu Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk menerapkan azas oportunitas dalam suatu perkara. Dengan demikian tuntutan bebas dalam kasus Valencya sah walaupun tidak lazim. Tuntutan bebas pada perkara pidana Valencya, menimbulkan suatu penemuan dan pembaharuan hukum antara lain dominus litis Kejaksaan dalam melakukan penuntutan bukan hanya pada untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, namun juga penuntutan, penuntutan bebas dalam kasus tindak pidana diperbolehkan, Jaksa Penuntut Umum diberikan hak menggunakan sense of crisis dalam menentukan kasus pidana dan Jaksa Penuntut Umum dapat menuntut bebas seorang terdakwa untuk keadilan berdasarkan hukum progresif.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 367-384
Author(s):  
Ferdiana Mailawati ◽  
Sri Wahyuni

Angkutan penerbangan merupakan salah satu alat transportasi udara yang dibutuhkan seseorang ingin melakukan perjalanan antar pulau bahkan antar negara dengan jarak cukup jauh dapat di tempuh dengan waktu relatif lebih cepat apabila dibandingkan dengan transportasi lainnya. Namun ketika konsumen telah memesan dan membayar tiket pesawat terbang dengan tujuan tertentu sesuai dengan keperluan dan kebutuhan, ketika terjadi pandemi covid-19 yang melanda Indonesia bahkan hampir diseluruh negara didunia juga mengalaminya, ada beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mencegah penularan virus tersebut yang berdampak pada angkutan penerbangan. sehingga ada jadwal angkutan penerbangan yang mengalami pembatalan. Penelitian ini akan menjawab pertanyaan bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen terkait adanya pembatalan tersebut. Metode Penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang yakni peraturan-peraturan terkait perlindungan konsumen dan penerbangan yang berlaku di Indonesia. Hasil dari penelitan ini menganalisis perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen terkait ganti kerugian ketika tiket pesawat yang telah dipesan tersebut dibatalkan oleh pihak maskapai penerbangan antara fakta dan peraturan terkait adalah telah sesuai.         


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 197-222
Author(s):  
Sudjana

Penanganan Pandemi Covid 19 melalui kebijakan perundang-undangan merupakan tanggung jawab yang perlu diimplementasikan dalam konsep negara kesejahteraan tetapi perlu didukung partisipasi aktif masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan yuridis normatif dan dan yuridis empiris, Teknik pengumpulan data bersumber dari data sekunder, dan analisis data bersifat normatif kualitatif. Hasil kajian menunjukan  tanggung jawab Negara  melalui kebijakan perundang-undangan  secara bertahap dalam Penanganan Pandemi covid 19  telah diimplementasikan sesuai konsep negara kesejahteraan   karena  negara telah melakukan kewajiban untuk memenuhi karakter dalam memberikan perlindungan secara khusus, sehingga menjadi sumber dari semua peraturan perundang-undangan dalam urusan sosial tetapi  upaya pemenuhan tanggung Jawab Negara  tersebut dikaitkan dengan sistem hukum menurut Friedman masih terkendala  rendahnya budaya hukum masyarakat dalam mentaatinya.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 289-308
Author(s):  
Ahmad Baihaki ◽  
M. Rizhan Budi Prasetya

Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan, kewenangan Pengadilan Agama diperluas sehingga dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Namun ironisnya, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur kemungkinan adanya pilihan forum (choice of forum) pengadilan mana yang dikehendaki oleh para pihak yang berakad, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Akibatnya dalam praktik peradilan, terdapat beberapa kasus sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan melalui mekanisme peradilan umum. Penelitian ini menjadi sangat penting untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama sebelum dan setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dan implikasinya terhadap kewenangan Pengadilan Agama terhadap perbankan syariah maupun lembaga ekonomi syariah lainnya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif (yuridis-dogmatik) dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah Pengadilan Agama sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi terjadi dualisme kewenangan mengadili antara lembaga Pengadilan Agama dengan lembaga Pengadilan Negeri dikarenakan adanya konflik diantara peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) tentang hak setiap orang untuk mendapat kepastian hukum. Namun setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Pengadilan Agama dinyatakan sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Putusan pengadilan ini secara normatif tentu tidak hanya berimplikasi terhadap perbankan syariah sebagai salah satu lembaga ekonomi syariah, tetapi juga lembaga lainnya yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 241-270
Author(s):  
Zulkifli Ismail ◽  
Melanie Pita Lestari ◽  
Ahmad

Tindak pidana eksploitasi seksual anak merupakan sebuah kejahatan yang tidak pernah surut dalam masyarakat. Perkembangan jaman, kemajuan teknologi, serta kemajuan pola pikir manusia tidak membuat kejahatan ini berkurang. Eksploitasi seksual komersial anak mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak ditinjau dari peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa Indonesia belum memiliki peraturan perundangan yang secara spesifik mengatur mengenai tindak pidana ini, sehingga ke depannya diharapkan akan ada sebuah peraturan perundangan yang dapat mengakomodir secara spesifik mengenai tindak pidana ini.


2021 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 271-288
Author(s):  
Neng Widya Millyuner ◽  
Adi Nur Rohman ◽  
Elfirda Ade Putri

Marriage is a common thing in society with ubudiyyah elements in it. However, legal issues often accompany the sanctity of the marriage bond itself, such as the cancellation of a marriage due to an element of coercion from a third party. Article 71 Compilation of Islamic Law (KHI) states that one of the reasons for being able to apply for a marriage cancellation is because of coercion when the marriage took place. The purpose of this study is to analyze the meaning of the phrase "coercion" as a reason for annulment of marriage and its accompanying legal implications. This type of research is classified as normative-empirical legal research using a statutory approach and a conceptual approach plus a sociological approach as a tool. This research refers to a variety of primary, secondary and tertiary legal materials compiled and traced through literature studies and interviews with judges of the Religious Courts. The legal materials that have been collected are then analyzed descriptively and analytically. The results showed that what is meant by coercion in marriage is a marriage that occurs not because of one's own will or feels that he is under threat. As a form of legal consequence, annulment of a marriage by force is different from divorce, where the marriage bond that occurred before the breakup of the marriage is considered never to have occurred.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document