Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

6
(FIVE YEARS 0)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By In Media

9786026469762

Author(s):  
Husni Nasution ◽  
Sri Rubiyanti ◽  
Shinta Rahma Diana ◽  
Dini Susanti ◽  
Astri Rafikasari ◽  
...  

ISNET adalah organisasi jaringan kerja sama negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). ISNET didirikan pada tahun 1987 oleh sembilan negara OKI, satu di antaranya adalah Indonesia. Sudah tiga tiga puluh tahun ISNET berjalan tetapi dalam sepuluh tahun terakhirnya Indonesia tidak aktif, bahkan sejak tahun 2007 Indonesia tidak membayar iuran anggota dan berkeinginan untuk keluar dari ISNET. Penting untuk diketahui bagaimana kontribusi dan manfaat yang diperoleh Indonesia dari organisasi tersebut sebagai pertimbangan keanggotaan Indonesia pada ISNET ke depan. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai referensi yang berkaitan dengan ISNET. Metoda yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif. Analisis kontribusi dan manfaat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA) yang dikemukakan oleh Dunn dan Pasal 4 Peraturan Presiden RI Nomor 64 Tahun 1999 tentang Keanggotaan dan Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Dari kajian diperoleh hasil bahwa manfaat yang diperoleh Indonesia dari ISNET lebih besar dibandingkan dengan kontribusi tahunan. Demikian pula, keanggotaan Indonesia dalam ISNET akan memberikan citra yang lebih baik bagi Indonesia, baik di ISNET maupun di OIC.


Author(s):  
Shinta Rahma Diana

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, Lembaga wajib membangun dan mengoperasikan Bandar Antariksa. Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang lainnya. Kajian terdahulu mengungkap bahwa ada beberapa lokasi alternatif untuk menjadi bandar antariksa yaitu Pulau Enggano di Kabupaten Bengkulu Utara, Pulau Biak, Morotai dan Nias. Tulisan ini mengukur kemampuan dari aspek ekonomi Pulau Enggano Bengkulu Utara untuk mendukung pembangunan Bandar Antariksa. Metode analisis adalah teori tentang pertumbuhan ekonomi wilayah. Hasilnya adalah kemampuan ekonomi Pulau Enggano jika dilihat dari PDRB layak untuk dapat mendukung dibangunnya Bandar Antariksa, dimana terdapat 7 sektor dari 9 sektor yang ada, yang dapat berpotensi berpengaruh langsung dalam menumbuhkan sektor industri dan jasa.


Author(s):  
Nessia Marga Leta
Keyword(s):  

Indonesia mempunyai kewajiban berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan Pasal II Konvensi Pendaftaran 1975 untuk mendaftarkan objek antariksa yang dimilikinya kepada Sekretaris Jenderal PBB. Pendaftaraan objek antariksa ini bertujuan untuk dapat mengetahui kepemilikan yuridis kontrol terhadap benda antariksa yang diluncurkan. Indonesia dalam hal ini belum memiliki peraturan nasional yang mengatur secara detail terkait pendaftaran objek antariksanya, terutama tentang keterlibatan pihak asing dan swasta dalam kegiatan peluncuran objek antariksa atas nama Indonesia. Kajian ini akan melihat praktek beberapa negara dalam mengimplemantasikan pendaftaran benda antariksa mereka kepada Sekjen PBB dengan adanya beberapa aturan pendaftaran yang terpisah dari PBB, dan juga melihat peraturan nasional mereka dalam mengatur keterlibatan pihak asing dan swasta terhadap pendaftaran benda antariksa. Kajian ini menggunakan Metode Yuridis Normatif dan Metode Komparatif. Hasil kajian ini menjelaskan bahwa negara-negara peserta Konvensi Pendaftaran 1975 seperti Swedia dan Inggris secara aktif telah berupaya memperbaiki praktek registrasi mereka dengan aturan yang ada di Resolusi Majelis Umum PBB 62/101, sedangkan Rusia belum melaksanakan aturan dalam Resolusi tersebut sepenuhnya. Sementara itu, Indonesia pada tahun 2017 telah mendaftarkan national registry nya sebagai bentuk kepatuhan terhadap Pasal II Konvensi Pendaftaran 1975, hal ini juga sebagai upaya untuk penertiban administrasi keantariksaan khususnya pada pihak asing dan swasta.


Author(s):  
Husni Nasution

Untuk memperoleh alih teknologi antariksa, khususnya teknologi roket bagi Indonesia tidaklah mudah, karena teknologi tersebut, di samping mengandung teknologi tinggi, resiko tinggi, dan biaya tinggi juga sifatnya guna ganda (kepentingan sipil dan militer), sehingga negara-negara yang memiliki kemampuan dalam teknologi tersebut dan negara yang tergabung dalam kelompok Missile Technology Control Regime (MTCR) akan membatasi alih teknologi roket ke negara yang bukan kelompoknya. Sampai saat ini, Indonesia belum bergabung dengan kelompok MTCR tetapi ada keinginan untuk masuk menjadi kelompoknya. Makalah ini mengkaji MTCR dalam perpektif kepentingan nasional. Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif yang datanya dikumpulkan dari berbagai referensi dan dari sumber lainnya, baik cetak maupun elektronik. Sedangkan dasar analisis yang dilakukan dalam kajian ini penulis menggunakan teori kepentingan nasional. Dari kajian diperoleh hasil bahwa MTCR dibutuhkan oleh Indonesia untuk transfer teknologi bagi pengembangan teknologi roket di Indonesia dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional di bidang pertahanan, perekonomian, serta turut serta dalam mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.


Author(s):  
Melissa Retno Kusumaningtyas
Keyword(s):  

Meningkatnya jumlah space debris di antariksa saat ini tidak hanya memberikan dampak terhadap keamanan antariksa namun juga terhadap keselamatan bumi dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Upaya penanganan space debris telah dilakukan dengan dibahasnya isu space debris di dalam forum-forum internasional seperti UNCOUPOS, ESA, dan ITU dan dibentuknya organisasi internasional khusus membahas space debris seperti IADC. Dari berbagai kerja sama dan penelitian yang dilakukan oleh forum-forum internasional, dihasilkan mekanisme-mekanisme internasional yang berguna sebagai pedoman untuk diaplikasikan negara-negara dan pihak yang melaksanakan kegiatan keantariksaan di dalam mekanisme nasionalnya baik itu berbentuk regulasi maupun standar pelaksanaan. Pengkajian ini ditujukan untuk menganalisis upaya penanganan space debris dari perspektif hubungan internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deksriptif analitis yaitu dengan mendeskripsikan space debris serta dampaknya dan upaya penanganannya dalam bentuk mekanisme internasional dan menganalisis mekanisme internasional tersebut dengan salah satu teori hubungan internasional yaitu teori liberal. Dari analisis yang dilakukan dihasilkan kesimpulan bahwa mekanisme internasional dalam penanganan space debris merupakan suatu bentuk liberalisasi, dimana kerja sama merupakan wujud rasionalitas masyarakat internasional yang menyadari bahwa penanganan space debris merupakan kepentingan bersama. Penanganan sebuah isu tidak lagi memandang batas-batas negara dan institusi-institusi internasional lebih berperan dibanding negara-negara. Mekanisme internasional penanganan space debris yang diwujudkan dalam bentuk guidelines merupakan seperangkat pengaturan yang telah disepakati negara-negara dan stakeholder melalui kerjasama, sehingga pengaturan yang ada lebih bersifat universal dan lebih aplikatif bagi negara-negara dan aktor antariksa lainnya.


Author(s):  
Dini Susanti ◽  
Sri Rubiyanti ◽  
Astri Rafikasari

Pada saat ini Indonesia sedang melakukan penguasaan kemampuan dalam mengembangkan teknologi Roket Sonda menjadi Roket Pengorbit Satelit (RPS). Di dalam pengembangan teknologi RPS tersebut terdapat hambatan yang dilakukan oleh kelompok negara-negara anggota Missile Technology Control Regime (MTCR) karena RPS sudah termasuk teknologi Roket yang memiliki jarak jangkau lebih dari 300 km. Sampai saat ini, Indonesia belum menjadi anggota MTCR tetapi berkeinginan untuk menjadi anggota dari rezim tersebut. Makalah ini mengkaji manfaat dan konsekuensi keanggotaan Indonesia dalam MTCR. Metoda yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitaif. Analisis dilakukan dengan pendekatan dari pengalaman negara-negara sebelum dan sesudah menjadi anggota MTCR. Dari kajian diperoleh hasil bahwa terdapat manfaat yang akan diperoleh Indonesia apabila masuk menjadi anggota MTCR diantaranya yaitu kepercayaan internasional terhadap Indonesia, peluang kerja sama, dan kemudahan di dalam transfer teknologi Roket. Sedangkan konsekuensinya diantaranya adalah Indonesia harus bersedia seluruh fasilitas berkaitan dengan pengembangan teknologi misil yang dimiliki diperiksa oleh Tim dari MTCR, melengkapi perundang-undangan nasional untuk mendukung implementasi MTCR, dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document