scholarly journals united nations development programme project of the government of aghanistan

Author(s):  
Ghozali Rusyid Affandi

Sepuluh tahun bencana tsunami di Aceh telah berlalu, tentunya banyak bantuan dari dalam dan luar negeri untuk perbaikan infrastruktur yang rusak akibat diterjang tsunami yang telah menewaskan lebih dari 100.000 orang dan total kerusakan diperkirakan mencapai lebih dari 4 juta dolar AS (United Nations Development programme Indonesia, 2007). Namun dampak secara psikologis seperti trauma, depresi karena kehilangan keluarga serta cacat fisik yang dialami tidak begitu saja hilang dari penyintas. Agar seseorang penyintas tsunami Aceh dapat berfungsi kembali dalam kehidup-annya setelah malapetaka yang menimpanya, dibutuhkan kemampuannya untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi sulit yang disebut dengan resiliensi. Ada banyak faktor protektif yang digunakan untuk menstimulasi, meningkatkan serta mempertahankan resiliensi para penyintas. Bisa jadi satu faktor protektif dapat secara efektif meningkatkan resiliensi di budaya tertentu, tetapi kurang efektif di budaya yang lain sebab ada batasan-batan budaya (culture bound) yang mempengaruhi pemaknaan konsep psikologi. Budaya Aceh yang berkenaan dengan kemampuan resiliensi penyintas tsunami adalah nilai-nilai Islami serta penerimaan terhadap kehendak Tuhan, yang berkaitan erat de-ngan konsep spiritualitas. Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor protektif yang berupa spiritualitas dapat meningkatkan resilensi seseorang. Oleh sebab itu, guna mempertahankan serta meningkatkan resiliensi, maka faktor protektif spiritualitas berlandaskan nilai-nilai Islami yang sesuai dengan budaya masyarakat Aceh perlu diinternalisasikan melalui keluarga dan sekolah. Penginternali-sasian spiritualitas tidak hanya berkenaan dengan pelaksanaan ritual Ibadah, akan tetapi lebih pada penguatan nilai-nilai transendensi.Kata kunci: resiliensi, transendensi, keluarga, budaya


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document