bronson alcott
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

49
(FIVE YEARS 1)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Author(s):  
John P. Miller

Holistic education as a field of inquiry began in the 1980s. Previously this field was referred to as humanistic education, confluent education, affective education, or transpersonal education. The work of Carl Rogers and Abraham Maslow inspired many educators working in these areas. In 1988 The Holistic Education Review under the editorship of Ron Miller was first published along with The Holistic Curriculum by John Miller. However, as a field of practice holistic education can first be found in Indigenous education. Historically, Socrates, Rousseau, Pestalozzi, Froebel, Bronson Alcott, and Tolstoy can be viewed as working from a holistic frame. What is that frame? It is educating the whole person: body, mind, and spirit. At every level, education tends to focus on skills and a narrow view of the intellect. The body receives little attention while the spiritual life of the student is ignored. One image of the student from this approach is as a brain on a stick. In contrast, the holistic curriculum attempts to reach the head, hands, and heart of the student. The other main principle of holistic education is connectedness. Connectedness is one of the fundamental realities of nature. In contrast, the curriculum at every level, except perhaps for kindergarten, is fragmented as knowledge is broken down into courses, units, lessons, and bits of information. Rarely are there attempts to show how knowledge is interconnected. Holistic education seeks to be in harmony with how things actually are by focusing on connections. Six connections are at the core of the holistic curriculum: connections to the earth, community, subject integration, intuition/logic, body/mind, and soul. There are many models of holistic education in practice. They range from more structured approaches, such as Waldorf education, to schools such as the Sudbury Valley School that give students a great deal of choice. Despite these differences these schools view the child as a whole human being.


Author(s):  
Kyle Gann

Ives’s “Alcotts” movement is based on two figures, the popular novelist Louisa May Alcott and her grandiloquent but feckless philosopher father, Bronson Alcott. The music, ranging from idyllic to tempestuous, leaves ambiguities as to which figure is being referred to. The middle section refers to 19th-century American parlor-style music, and the ending is the most complete and triumphant statement of the “Human Faith” theme.


2017 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 79
Author(s):  
Alwi - Rahman

Seksualitas dan praktik perkawinan etnik Bugis, oleh penulisnya, dimulai oleh percakapan ringkas tentang cara mendudukkan kebudayaan. Meski sebagai gambit tulisan, percakapan ringkas ini menemukan kebenaran pendakuan Amos Bronson Alcott Ralph bahwa ‘conversation is feminine’. Bukan karena buku ini memang tentang seksualitas perempuan, tetapi melalui gambit ini literasi perempuan Bugis dimulai. Percakapan pendek-pendek—yang diperlakukan sebagai ragam kutipan—dapat temukan di sepanjang buku ini. Percakapan seperti ini akan menciptakan siklus dalam diri pembaca: menyimak, bernalar, dan mengikuti argumen penulisnya.Literasi terhadap seksualitas dan perkawinan perempuan Bugis, sejauh ini, tak banyak ditulis secara akademis. Kalau pun ada, biasanya penulisnya ‘datang dari luar’. Penulis seperti ini tak lebih dari ‘pembaca kebudayaan’. Padahal, literasi terhadap perempuan sejatinya diartikan sebagai ‘aksi kebudayaan’ untuk ‘membaca-dan-dibaca’.Seksualitas dan perkawinan Bugis boleh ‘dibaca’ secara akademis, tetapi pada saat bersamaan, di karya akademis sebagaimana ditulis oleh Nurul Ilmi Idrus, perempuan tak kehilangan kesempatan  ‘membaca’ dirinya sendiri. Aksi ‘dibaca’ dan ‘membaca’ pun terjadi dan dapat ditemukan di sepanjang buku ini.Relasi gender di buku ini bukan tentang ‘debat keras’ yang dibangun melalui argumentasi mazhab-mazhab feminisme terhadap nilai-nilai patriarki di masyarakat Bugis. Bukan juga deskripsi ‘budaya seks kampung’ yang serba dipersalahkan dan digiring ke posisi primitif. Nurul Ilmi Idrus menyusun deskripsi dan mengurut segenap argumen pada setiap tema yang dibahasnya dengan menjaga ‘kesepadanan’. ‘Kesepadanan’ dijaga dan terjaga melalui ‘conversation based writing’ yang berbentuk naratif, sembari menyediakan rujukan dari para akademikus dan budayawan. Dengan kualitas naratif dan dengan gaya ungkap percakapan, pembaca dihadirkan ke pengalaman paling empiris dalam kebudayaannya. Gaya ungkap ini menolong pembacanya untuk mencerna eksposisi konflik yang dikemukakan oleh Nurul Ilmi Idrus beserta segenap resolusinya.Etnografi seksualitas dan praktik perkawinan Bugis ini membuka seluk beluk labirin budaya seks masyarakat Bugis. Labirin ini tak lain adalah ruang relasi dan ruang interaksi seksualitas di sekitar perkawinan—lengkap dengan dinamika yang menyertainya—antara perempuan dan lelaki Bugis. Labirin ini terbuka melalui ungkapan-ungkapan paling intim, atau ekspresi keberatan dari perempuan terhadap lelaki, atau pernyataan normatif dari lelaki Bugis atas konflik di sekitar kehidupan perkawinan dan seksualitas. Studi etnografi perkawinan dan seksualitas masyarakat Bugis telah membuka ‘lorong dan kamar’ paling berliku dan paling jauh dalam budaya perkawinan dan seksualitas yang tak mudah terlihat. Ragam kesaksian perempuan dan lelaki—yang ditulis dalam berbagai kutipan—terhadap seluk-beluk dan dinamika perkawinan dan seksualitas adalah temuan paling empirik dan paling kaya.Perangkat-perangkat idiomatik dalam buku ini adalah kekayaan. Oleh karena studi ini memang berdiri di atas cakrawala etnografi, ragam idiom Bugis yang berkaitan dengan perkawinan dan seksualitas diperkenalkan. Meskipun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa idiom akan mengajak pembaca untuk berhati-hati mengenali konsep di belakang idiom.  Pembaca yang berkapasitas polyglot—menguasai bahasa Inggris, Indonesia, dan Bugis sekaligus—tak akan mengalami kesulitan memasuki dan mengikuti alur karya akademis ini. Gaya ungkap polyglot yang diikuti dengan ragam idiom Bugis yang terkait dengan kehidupan perkawinan dan seksualitas sejatinya didudukkan sebagai konsekuensi akademis dari cakrawala disiplin etnografi.Pada akhirnya, buku Gender Relations in an Indonesian Society: Bugis Practices of Sexuality and Marriage sejatinya didudukkan sebagai karya akademis yang telah membuka secara terang benderang labirin budaya perkawinan dan seksualitas Bugis. Dari buku ini, pembaca dapat mengenali cara perempuan dan lelaki Bugis ‘membaca’ kebudayaannya sendiri, ketimbang buku lain yang memposisikan perkawinan dan seksualitas Bugis sebagai kebudayaan yang hanya ‘dibaca’ dari luar. Buku yang terdiri atas delapan chapter dan dilengkapi dengan dokumen appendix dan glossary ini mengeksplorasi cara Bugis ‘membaca’ kebudayaannya sendiri.


1991 ◽  
Vol 80 (8) ◽  
pp. 99
Author(s):  
Mary E. Kollar
Keyword(s):  

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document