Keselamatan pasien dan mutu pelayanan kesehatan yang tinggi adalah tujuan akhir yang selalu diharapkan oleh rumah sakit, manajer, tim penyedia pelayanan kesehatan, pihak jaminan kesehatan, serta pasien, keluarga dan masyarakat. Namun demikian, prinsip “First, do no harm” tidak cukup kuat untuk mencegah berkembangnya masalah keselamatan pasien. Hal ini tercermin dari tingkat dan skala masalah keselamatan pasien sejak terbitnya publikasi “To Err is Human” pada tahun 2000.1 Hingga studi-studi terkini. Di Amerika, hasil studi keselamatan pasien pada akhir tahun 1990-an menemukan angka 3,9% dan 2,7% angka kejadian yang tidak diinginkan (KTD) pada pasien rawat inap.2,3 Dua puluh tahun kemudian, pengukuran dengan Global Trigger Tool menunjukkan bahwa KTD meningkat 10 kali lipat (menjadi 32%).4 Di Indonesia, isu keselamatan pasien mulai dibahas pada tahun 2000, diikuti dengan studi pertama di 15 rumah sakit dengan 4500 rekam medik. Hasilnya menunjukkan bahwa angka KTD sangat bervariasi, yaitu 8,0%-98,2% untuk kesalahan diagnosis dan 4,1%-91,6% untuk kesalahan pengobatan.5 Sejak itu, bukti-bukti tentang keselamatan pasien di Indonesia pun merebak, meskipun belum ada studi nasional hingga saat ini. Kita patut merasa iri dengan negara-negara di Amerika Latin yang telah mempunyai studi Iberoamerican study of adverse events (IBEAS) di 58 rumah sakit dari 5 negara.