scholarly journals Guaranteed Pure: The Moody Bible Institute, Business, and the Making of Modern Evangelicalism

2016 ◽  
Vol 102 (4) ◽  
pp. 1223-1224

1991 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 155-175 ◽  
Author(s):  
David Harrington Watt

Much of the best recent scholarship on conservative Protestantism in the middle decades of this Century focuses on what is sometimes called the “mainstream” of interdenominational evangelicalism. Although this variety of evangelicalism was deeply influenced by and, indeed, in some respects the direct successor to the fundamentalist movement of the 1910's, 1920's, and 1930's, it did not begin to assume its present shape until the early 1940's. The formation of the National Association of Evangelicals in 1942 is a convenient symbol of the emergence of what we now think of as constituting the evangelical mainstream.Drafting a perfect definition of this mainstream is impossible; drafting a good working description of it is not. In the present context, “evangelical mainstream” simply refers to that network of born-again Christians associated with the Billy Graham Evangelistic Association, the National Association of Evangelicals, and Campus Crusade for Christ; with schools such as the Moody Bible Institute, Füller Seminary, and Wheaton College; with publishing firms like Eerdman's and Zondervan; and with magazines such as Christianity Today, Eternity, and Moody Monthly.



2006 ◽  
Vol 75 (3) ◽  
pp. 565-593 ◽  
Author(s):  
Adam Laats

In 1921, William Norton of the Moody Bible Institute of Chicago pushed, pulled, and dragged his Model T along the back roads of the southern Appalachians. He visited churches, schools, and private homes, talking with anyone and everyone he could find. His question was always the same: “Do you have enough Bibles?” The answers he received shocked him. As far as Norton could tell, many of the “mountaineers” were nominally Christian, but they had often never seen a Bible, much less read one of their own. As the head of the Moody Bible Institute's Bible Institute Colportage Association, he immediately put together a plan. “To reach these people quickly,” he wrote in his report, “I am convinced that it can be done most efficiently … through the public schools.… A great majority of the teachers are ready to cooperate.”



1962 ◽  
Vol 31 (3) ◽  
pp. 322-335 ◽  
Author(s):  
James Findlay

The story of the founding of Moody Bible Institute serves several purposes. Such a resume fills a gap in our knowledge of an institution that has made important contributions to the life of the city of Chicago and to the shaping of the twentieth century American Protestantism. Any account of the early days of the Institute must also become a case study of the thought and personality of Dwight L. Moody, one of America's most famous revivalists. The record of Moody's struggle to found the school provides us with some underStanding of his social and economic views, offers glimpses of his conception of his role as a leader of evangelical Protestantism, and illuminates several important facets of his personality. All of these subjects merit the attention of the historian.



2011 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 137-148
Author(s):  
Kalvin S. Budiman

Di dalam buku Fabricating Jesus, Craig Evans mengawali tulisannya dengan kisah singkat tentang pergeseran kehidupan rohani dari beberapa pakar Alkitab. Di antaranya adalah James Robinson, seorang ahli Perjanjian Lama, yang pada masa mudanya memiliki iman yang Injili, tetapi, menurut pengakuannya sendiri, imannya dihancurkan setelah ia berkenalan dengan higher criticism atau metode kritis dalam membaca Alkitab. Tokoh yang lain lagi adalah Robert Price, seorang ahli Perjanjian Baru, yang dididik di sekolah Injili yang cukup kuat—Gordon Conwell Theological Seminary. Pada masa mudanya ia bahkan pernah secara aktif terlibat dalam pelayanan kelompok Injili yang dikenal dengan sebutan Intervarsity. Tetapi setelah menyelesaikan studi doktoralnya akhirnya ia justru sekarang menjadi seorang agnostik. Satu contoh lagi adalah Bart Erhman, juga seorang pakar Perjanjian Baru. Di awal jenjang akademiknya ia belajar di sekolah-sekolah Injili (Moody Bible Institute dan Wheaton College), tetapi setelah menyelesaikan studi Ph.D. di Princeton Seminary, ia justru tidak lagi mempercayai Alkitab sebagai firman Tuhan. Menurut kacamata orang-orang Injili, beberapa contoh perjalanan hidup di atas merupakan sebuah kemunduran, bahkan kegagalan rohani. Di lain pihak, contoh-contoh seperti di atas juga sekaligus menyadarkan kita tentang proses perjalanan rohani sebagai bagian dari pertanggungjawaban iman. Saya percaya kita tidak boleh dengan gampang melempar tanggung jawab kehidupan rohani kita kepada Tuhan dengan berkata, misalnya, “Kalau kita ini memang orang pilihan, pertumbuhan rohani kita juga pasti dijamin oleh Tuhan.” Sebagai seorang Calvinis, saya tidak menyangkali sentralitas anugerah keselamatan dari Tuhan dalam perjalanan iman kita. Tetapi saya juga percaya bahwa anugerah keselamatan tidak berarti bahwa Tuhan mengambil alih seluruh proses perjalanan iman kita dan meniadakan tanggung jawab rohani dari diri kita. Justru karena anugerah itulah, maka kita dapat dengan bebas dan merdeka memulai peperangan rohani untuk mematahkan setiap cobaan dan dosa yang ada dalam diri kita dan di sekitar kita. Diogenes Allen dalam bukunya Spiritual Theology mengingatkan dengan tepat bahwa jika kita memberikan penekanan yang berlebihan pada pengalaman pertobatan atau fase awal kehidupan rohani kita, kita cenderung lupa atau beranggapan bahwa dengan sudah lahir baru dan bertobat maka kita telah mencapai tujuan akhir perjalanan hidup rohani. Padahal kelahiran baru dan pertobatan tersebut perlu sungguh-sungguh diwujudkan. Pada waktu kita menjalani kehidupan rohani sehari-hari, baru kita menyadari betapa sulitnya dan betapa banyaknya tantangan yang harus diatasi untuk dapat maju secara rohani, misalnya, tadinya tidak dapat mengasihi sesama menjadi dapat mengasihi sesama dengan tulus; atau tadinya pemarah menjadi seorang yang sabar dan dapat bertekun dalam kesabarannya. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi secara otomatis. Ada jurang yang lebar dan jalan yang berliku-liku di antara kedua fase tersebut. Di dalam Injil kita membaca ada lebih dari satu kali ketika Tuhan Yesus mengetahui orang berbondong-bondong mengikuti Dia atau mau menjadi murid-Nya, Ia mengambil waktu untuk menguji kesungguhan hati mereka (lihat a.l. Luk. 9:57-62; 14:25-35; Yoh. 6:60-71). Saya percaya bahwa latihan rohani merupakan bagian utama dari pertanggungjawaban iman Kristen di hadapan Tuhan. Di dalam konteks latihan rohani atau pembentukan spiritualitas Kristen itulah penulis melihat adanya manfaat yang dapat dipetik dari kaitan antara spiritualitas Kristen dengan salah satu prinsip utama dalam virtue ethics atau etika karakter. Salah satu prinsip utama dalam etika karakter yang penulis maksud di sini adalah konsep tentang habitus, yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “kebiasaan.” Prinsip yang kedengarannya polos dan sederhana ini, di dalam konteks iman Kristen dapat memberikan sumbangsih yang tidak sedikit. Karena itu, dalam tulisan yang tidak terlalu panjang ini, penulis ingin mencoba mengaitkan pemahaman tentang habitus dengan teori tentang pembentukan spiritualitas Kristen.





Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document