scholarly journals Los comienzos de la teología racional en al-Andalus: Ibn Masarra y su Refutación de Sobre la Filosofía primera de al-Kindī

Al-Qanṭara ◽  
2020 ◽  
Vol 41 (2) ◽  
pp. 323-371
Author(s):  
José Bellver
Keyword(s):  

La fuente principal antes de 1972 para conocer el pensamiento de Ibn Masarra era una breve descripción que Ibn Ḥazm hizo de algunos elementos fundamentales de su teología. En 1972, Muḥammad Kamāl Ibrāhīm Ŷaʿfar atribuyó a Ibn Masarra dos obras, Risālat al-Iʿtibār and Kitāb Jawāṣṣ al-ḥurūf, que se encuentran en un manuscrito de la Chester Beatty Library. El contenido de estas dos obras difiere de las descripciones que hacen las fuentes primarias del pensamiento de Ibn Masarra, pues en estas últimas se le considera de manera mayoritaria un teólogo con creencias de corte qadarī, como al-waʿd wa-l-waʿīd e istiṭāʿa. A la vista de las dos obras que Ŷaʿfar atribuyó a Ibn Masarra, la erudición posterior ha tachado la mayoría de fuentes primarias sobre Ibn Masarra de imprecisas, tendenciosas o mal informadas, de modo que las ha descartado. La fuente más esclarecedora sobre Ibn Masarra, al-Inbāʾ fī šarḥ ḥaqāʾiq al-ṣifāt wa-l-asmāʾ de Ibn al-Uqlīšī, parece haber pasado desapercibida hasta fechas recientes. Tomando como base la información que aporta Ibn al-Uqlīšī, este artículo sugiere la atribución a Ibn Masarra de al-Radd ʿalā l-Kindī, o Refutación de Sobre la Filosofía primera de al-Kindī, obra ya editada, si bien bajo la atribución a Ibn Ḥazm. Esta obra coincide con descripciones del pensamiento de Ibn Masarra en fuentes primarias, si bien excluyendo de las fuentes primarias las dos obras que Ŷaʿfar le atribuye.

2017 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 1-46
Author(s):  
Omar Edaibat

While Ibn ʿArabī (d. 638/1240) continues to receive much attention within the academe as a preeminent Sufi philosopher, his jurisprudence, by contrast, rarely elicits the same attention, despite the prominent mention of the Sharīʿa throughout his many works. This paper provides an exhaustive overview of his sophisticated legal doctrine in terms of his legal methodology and substantive law. An analysis of his legal epistemology would situate him within the ‘scripturalist’ stream of legal theorists, commonly associated with the Zāhiri school. However, while Ibn Ḥazm (d. 456/1064) certainly influenced Ibn ʿArabī’s legal doctrine, the Shaykh’s jurisprudence remains markedly original in that it is ultimately rooted in an overarching metaphysical doctrine. This is evident in his personal reframing of ijtihād as a personal process of spiritual refinement, as opposed to a methodical process of ratiocination, which leads him to develop a distinctively personalist theory of legal pluralism that transcends the limitations of school conformity.


2020 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 153
Author(s):  
Ali Abubakar ◽  
Yuhasnibar Yuhasnibar ◽  
Muhamad Nur Afiffuden Bin Jufrihisham
Keyword(s):  

Jumhur ulama berpendapat bahwa walīmah al-‘urs hukumnya sunnah mu’akkad. Namun demikian, ada juga sebagian ulama memandang wajib, pendapat ini dipegang oleh Ibn Ḥazm al-Andalusī. Penelitian ini secara khusus menelaah pemikiran hukum Ibn Ḥazm al-Andalusī yang mengatakan hukum wajib melaksanakan walīmah al-‘urs. Dalam konteks ini, Ibn Ḥazm al-Andalusī cenderung memahami dalil-dalil hadis sebagai dasar hukum perintah wajib melaksanakan walīmah al-‘urs. Fokus penelitian ini adalah: Bagaimana pandangan Ibn Ḥazm tentang hukum melaksanakan walīmah al-‘urs?, dan Bagaimana dalil dan metode istinbāṭ yang digunakan Ibn Ḥazm dalam menetapkan hukum walīmah al-‘urs?. Dalam penelitian ini penulis mengunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan cara analisis normatif. Setelah melakukan analisa mendalam terhadap fokus penelitian, penulis dapat menyimpulkan menurut Ibn Ḥazm, pelaksanaan walīmah al-‘urs hukumnya wajib dan disesuaikan dengan kemampuan. Dalil yang digunakan Ibn Ḥazm mengacu pada tiga riwayat hadis. Pertama hadis qawliyyah riwayat Muslim dari Yaḥyā bin Yaḥyā al-Tamīmī terkait perintah Rasulullah SAW untuk melaksanakan walīmah al-‘urs walaupun hanya sekadar satu ekor kambing. Kemudian, kedua hadis fi’liyyah riwayat Muslim dari Abī Bakr bin Abī Syaibah dan riwayat al-Bukhārī dari Muḥammad bin Yūsuf terkait Rasulullah SAW melaksanakan walīmah al-‘urs. Terhadap pendapat dan dalil hukum yang digunakan Ibn Ḥazm, pola penalaran yang ia gunakan ialah cenderung pada metode istinbāṭ bayānī, yaitu melihat sisi kaidah kebahasaan pada lafaz “أَوْلِمْ” dalam matan hadis riwayat Muslim “أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ”. Lafaz tersebut menurut Ibn Ḥazm merupakan lafaz amar perintah yang mengandung indikasi hukum wajib. Selain itu, pola penalaran istinbāṭ bayānī juga terlihat pada saat Ibn Ḥazm memandang hadits fi’liyyah Rasul SAW harus didukung dengan petunjuk dalil qawliyyah, sebab perbuatan Rasulullah SAW melaksanakan walīmah al-‘urs tidak dapat dijadikan hujjah wajibnya walīmah al-‘urs, kecuali adanya petunjuk dalil hadis lain yang memerintahkannya. Pola penalaran semacam ini mengarah pada metode istinbāṭ bayānī.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document