AKSONA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

18
(FIVE YEARS 18)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Airlangga

0854-7815

AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 95-99
Author(s):  
Safia Alia ◽  
Hanik Badriyah Hidayati ◽  
Muhammad Hamdan ◽  
Priya Nugraha ◽  
Achmad Fahmi ◽  
...  

Penyakit Parkinson (PP) adalah penyakit neurodegeneratif paling umum ke dua yang melibatkan hilangnya neuron dopaminergik di otak tengah yang menyebabkan gejala motorik dan nonmotorik pada pasien yang mengalaminya. Gejala motorik ini dapat dikelola dan dikendalikan dalam  jangka waktu tertentu dengan menggunakan obat-obatan seperti levodopa. PP mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, oleh karena itu tinjauan pustaka tinjauan pustaka tentang PP menjadi penting dan kami akan menyampaikan berbagai hal penting dari PP mulai dari patofisiologi hingga tindakan pengobatan baik medikamentosa maupun tindakan intervensi.


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 62-69
Author(s):  
Diayanti Tenti Lestari ◽  
Priya Nugraha ◽  
Muhammad Hamdan
Keyword(s):  

Pendahuluan: Chorea merupakan gangguan gerak involunter hiperkinetik. Chorea dapat disebabkan lesi vaskular serebral iskemik atau perdarahan. Gejala klinis melibatkan satu sisi tubuh dan lesi terletak di hemisfer otak kontralateral. Gangguan gerak pasca stroke paling sering dikaitkan dengan lesi di basal ganglia (44%) dan thalamus (37%). Laporan ini bertujuan untuk menyampaikan kasus hemichorea, gangguan gerak pascastroke perdarahan yang meliputi diagnosis, terapi dan prognosis. Kasus: Seorang laki-laki 59 tahun menderita tekanan darah tinggi, dislipidemia dan mengalami stroke perdarahan dengan kelemahan tubuh di sisi kiri. 5 bulan paca stroke pasien datang ke poliklinik rawat jalan saraf dengan keluhan lengan bawah kiri bergerak seperti menghentak. Pasien mengaku gerakan mulai muncul pada jemari tangan, terasa tertarik tarik otomatis menyentak, gerakannya tidak dapat dikendalikan. Pemeriksaan fisik dalam batas normal, pemeriksaan neurologis menunjukkan hemiparese sisi kiri dan gerakan otot berlangsung cepat, tanpa ritme, melibatkan satu anggota badan yaitu lengan kiri dan tes laboratorium menunjukkan dislipidemia. Pencitraan otak menunjukkan area hipointens pada thalamus kanan. Gejala dapat terkontrol dengan pemberian obat antidopaminergik (haloperidol) dan agonis GABA (klonazepam). Kesimpulan: Gangguan gerak dapat terjadi pascastroke sehingga penting untuk mengetahui dan mempertimbangkan terapi serta prognosis untuk kualitas hidup pasien pascastroke. Pemberian haloperidol dan klonazepam pada kasus hemichorea mengurangi klinis gerakan involunter.


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 57-61
Author(s):  
Achmad Firdaus Sani ◽  
Yudhi Adrianto ◽  
Fadil Fadil ◽  
Fidiana Fidiana ◽  
Mudjiani Basuki

Pendahuluan: Spastisitas adalah gangguan motorik yang sering dijumpai dan muncul setelah stroke. Spastisitas dapat menyebabkan nyeri dan disabililitas pada bagian tubuh yang mengalaminya. Tujuan: mencari hubungan antara rasio H/M yang diukur dengan elektromiografi dengan derajad spastisitas yang terjadi setelah fase akut stroke. Metode: Penelitian ini adalah studi analisis korelatif observasional, dengan 26 sampel. Pasien diukur rasio H/M pada saat stroke akut dan diukur derajad spastisitasnya dengan menggunakan Modified Ashworth Scale setelah 3 bulan. Hasil yang didapatkan dilakukan analisa statistik dengan menggunakan tes korelatif kategorik dari Spearman. Hasil: Pasien yang mengikuti penelitian ini sebanyak 26 orang. Terdapat perbedaaan antara nilai H/M rasio antara sisi parese dengan sisi sehat dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai rasio H/M yang diukur saat fase akut stroke dengan derajad spastisitas yang diukur dengan Modified Ashworth Scale (MAS) setelah 3 bulan (p = 0,06 ; r = 0, 37). Kesimpulan: Rasio H/M pada pasien stroke akut meningkat pada sisi parese dibanding pada sisi sehat, namun peningkatan ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan derajad spastisitas pasca stroke yang diukur dengan MAS, sehingga rasio H/M tidak dapat digunakan sebagai prediktor munculnya spastisitas pasca stroke


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 77-80
Author(s):  
Muhammad Reza Fathoni ◽  
Devi Ariani Sudibyo

Pendahuluan: Proloterapi juga dikenal sebagai terapi injeksi regeneratif atau skleroterapi adalah terapi yang menggunakan zat kimia atau biologi untuk kondisi nyeri muskuloskeletal kronis, termasuk osteoartritis lutut. Osteoartritis(OA) lutut adalah bentuk paling umum dari osteoarthritis kronis di seluruh dunia serta merupakan penyebab utama nyeri dan kecacatan dalam beberapa tahun terakhir, hasilbeberapa uji klinis yang dipublikasikan telah menunjukkan efek positif proloterapi pada osteoartritis lutut. Kasus: Wanita,51 tahun dengan nyeri lutut kanan sejak 1 tahun lalu, semakin memberat dalam 3 bulan. Numeric Rating Scale (NRS) adalah 7. Didapatkan tenderness, krepitasi, dan range of movement (ROM) normal tanpa adanya deformitaslutut kanan. Dari pemeriksaan radiologis didapatkan osteoarthritis femorotibial joint grade 1 dan osteoarthritis femoropatellar joint kanan. Injeksi dekstrosa hipertonik 25% dilakukan setiap 2 minggu. Sebelumnya pasien mendapat injeksi steroid intraartikuler (triamsinolon) namun nyeri kembali muncul setelah tiga minggu. Nilai Numeric Rating Scale (NRS) menurun menjadi 4 setelah dilakukan injeksi dekstrosa hipertonik yang keempat. Kesimpulan: Injeksi dekstrosa hipertonik (proloterapi) dapat dijadikan sebagai modalitas terapi alternatif yang menghasilkan perubahan klinis pada osteoarthritis lutut dengan resiko minimal, biaya terjangkau dan penggunaan yang mudah.  


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 81-91
Author(s):  
Evita Jodjana ◽  
Yuliana Monika Imelda Wea Ora Adja
Keyword(s):  

Pendahuluan: Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan kelumpuhan tipe flaksid akut secara asenden dengan tingkat keparahan berbeda-beda dari ringan hingga berat yang sifatnya mengancam jiwa. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui. Kasus: Pasien laki-laki usia 34 tahun dirujuk dari RS S ke RSUD Prof Dr. W. Z. Johannes dengan SGB untuk tindakan plasmafaresis. Tiga minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami diare setelahnya kesemutan di kedua kaki dan mulai susah digerakkan. Kesemutan kemudian menjalar ke kedua tangan dan lalu kedua tangan juga susah digerakkan. Pasien mengalami gagal napas sehingga membutuhkan perawatan intensif dan ventilasi mekanik. Pasien mendapatkan terapi berupa plasmaferesis ,kortikosteroid dan imunosupresan. Selama perawatan, pasien awalnya menunjukkan perbaikan, namun pada akhirnya pasien meninggal karena mengalami komplikasi (gagal nafas, henti jantung dan sepsis). Kesimpulan : Komplikasi SGB tersering adalah gagal napas, gangguan fungsi otonom yang berat dan infeksi. Prognosis pasien SGB tergantung klinis pasien serta komplikasi yang ditemukan    


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 92-94
Author(s):  
Wardah Rahmatul Islamiyah ◽  
Ersifa Fatimah ◽  
Kurnia Kusumastuti

Pendahuluan: Penyandang epilepsi sering mengalami cedera pada saat serangan. Tipe bangkitan tonik dan kontraksi kuat dari anggota gerak pada saat serangan seringkali menyebabkan cedera otot pada sendi dan tulang, sehingga menyebabkan dislokasi dan fraktur. Kontraksi hebat pada sekelompok otot dapat menyebabkan dislokasi dan instabilitas sendi bahu. Kejadian dislokasi sendi bahu bilateral patognomonis disebabkan oleh karena kejang. Akan tetapi pada umunya bentuk dislokasi pascakejang berupa dislokasi bahu posterior bilateral.  Laporan kasus berikut akan menyampaikan kejadian dislokasi sendi bahu anterior bilateral berulang pada penyandang nocturnal epilepsy. Kasus ini jarang terjadi dan diharapkan meningkatkan kewaspadaan klinisi dalam merawat penyandang epilepsi.  Kasus: Laki-laki 22 tahun dikonsulkan oleh spesialis bedah orthopedi dengan diagnosis dislokasi sendi bahu anterior berulang. Pasien sudah mengalami dislokasi sebanyak empat kali dalam satu tahun terakhir. Dislokasi bahu selalu terjadi setelah serangan kejang di malam hari ketika pasien tidur. Pasien rutin mengkonsumsi obat phenytoin dengan frekuensi serangan 3 – 4  bulan sekali setiap tidur malam. Pasien menginginkan kejadian ini tidak terulang lagi. Penggantian obat antiepilepsi yang tepat dan memiliki efek samping minimal pada tulang membantu mencegah terjadinya komplikasi dislokasi seperti ini.  Kesimpulan: Dislokasi sendi bahu anterior bilateral berulang merupakan bentuk cedera pascabangkitan yang jarang terjadi. Pemilihan jenis antikejang yang tepat, upaya kontrol kejang yang baik dan penatalaksanaan multidisiplin dapat membantu mencegah terjadinya komplikasi berulang pada kasus serupa.    


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 53-56
Author(s):  
Hanik Badriyah Hidayati ◽  
Elena Ghentilis Fitri Amelia ◽  
Agus Turchan ◽  
Nancy Margarita Rehatta ◽  
Atika Atika ◽  
...  
Keyword(s):  

Pendahuluan: Trigeminal neuralgia (TN) merupakan kondisi yang digambarkan sebagai nyeri hebat seperti tersilet pada satu sisi wajah  pada distribusi area saraf ke lima. Nyeri ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Rasa nyeri merupakan fenomena subjektif yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia dan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap skala nyeri pasien Trigeminal Neuralgia. Metode: Data diambil dari rekam medik pasien pada periode Januari 2017 hingga Juni 2019 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, RS PHC Surabaya, dan RSUD Bangil Pasuruan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Hasil: TN banyak ditemukan pada kelompok usia  36-64 tahun (55,55%) dan jenis kelamin perempuan (66,67%). Tidak didapatkan hubungan pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap skala nyeri pasien (p > 0.05). Kesimpulan: Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang tidak dapat diubah dalam mempengaruhi nyeri. Usia dan jenis kelamin mempengaruhi nyeri melalui perubahan anatomi, hormonal, dan psikologis. Tidak ada hubungan antara usia dan jenis kelamin pada skala nyeri pasien dengan TN.  


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 70-76
Author(s):  
Rio Tasti Surpa ◽  
Paulus Sugianto ◽  
Debi Wahyuninghadi
Keyword(s):  

Pendahuluan: Abses otak merupakan penyebab morbiditas yang signifikan pada pasien dengan penyakit jantung kongenital sianotik seperti sindrom Eisenmenger. Sindrom Eisenmenger ditandai oleh hipertensi paru ireversibel yang berat dan shunting darah dari kanan ke kiri yang merupakan predisposisi terjadinya abses otak. Tulisan ini melaporkan kasus sindrom Eisenmenger dengan komplikasi abses otak. Kasus: Seorang laki-laki 29 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada setengah tubuh bagian kanan yang progresif dan pelo yang dirasakan sejak 8 minggu sebelum masuk rumah sakit. Tidak didapatkan keluhan demam, nyeri kepala, muntah, riwayat cedera kepala dan kejang sebelumnya. Pasien ini baru mengetahui memiliki penyakit jantung bawaan sejak usia 16 tahun dan tidak pernah mendapatkan pengobatan. Tanda vital berada dalam batas normal. Saturasi oksigen pada pasien ini antara 88-92%. Pemeriksaan fisik didapatkan hemiparese kanan, kelumpuhan saraf fasial kanan tipe sentral, disartria, murmur sistolik derajat III/VI di intercostal IV parasternal kiri dan didapatkan jari tabuh. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan hemoglobin (Hb 17,2 g/ dL) namun tidak ada peningkatan jumlah darah putih (WBC). Kultur darah dan sensitivitas bakteri negatif. Foto thorax didapatkan gambaran dextrocardia. Echocardiografi menunjukkan gambaran defek septum ventrikel dengan hipertensi paru aliran bidirectional dominan kanan ke kiri. CT scan kepala didapatkan lesi dengan cincin yang menyerap kontras di daerah parietal kiri dengan perivokal edema. MRI kepala didapatkan lesi multipel berkapsul, bentuk oval dengan batas tegas, tepi ireguler, disertai vasogenik edema disekitarnya, tampak cincin menyerap kontras di regio parietal kiri. Pasien ini   membaik signifikan secara neurologis setelah pemberian antibiotik Ceftriaxon dan Metronidazol intravena selama 8 minggu. Kesimpulan: Abses otak multipel dapat merupakan penyulit dari sindrom Eisenmenger pada pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan yang tidak dikoreksi.  


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 49-52
Author(s):  
Aris Widayati ◽  
Mohammad Saiful Islam

Pendahuluan: High mobility group box 1 (HMGB1), akhir-akhir ini diketahui sebagai salah satu mediator yang memicu proses inflamasi setelah terjadi iskemia di otak. Saat ini telah dikenal beberapa reseptor HMGB1 yang memerantarai proses inflamasi diotak yaitu RAGE, TLR2 dan TLR4. Ikatan HMGB1 dengan reseptornya akan menyebabkan kerusakan neuron    otak yang memberikan konstribusi perburukan defisit neurologi klinis. Beberapa studi menunjukkan bahwa kadar HMGB1 meningkat secara signifikan pada pasien stroke dibandingkan kelompok kontrol. Studi lain menunjukkan bahwa kadar HMGB1 yang tinggi setelah iskemia otak akan memperluas area infark. Tujuan: untuk mengetahui adanya korelasi antara kadar HMBG1 dalam serum dengan derajat fungsional neurologik yang diukur dengan NIHSS pada pasien stroke trombotik akut. Metode: Telah diukur kadar HMGB1 pada 43 pasien stroke trombotik akut yang di rawat di ruang saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode September 2012 sampai Januari 2013 diukur kadar HMGB1 dengan metode ELISA - Sandwich menggunakan Indirect Capture Re Capture dan diukur derajat fungsional neurologik dengan NIHSS. Hasil: Rerata usia subyek penelitian ini 60.40 ± 9.346 tahun. Subyek penelitian terdiri dari 24 wanita dan 19 pria. Rerata kadar HMGB1 serum adalah 62.57± 54.164 ng/ml. Rerata nilai NIHSS adalah 6.47 ± 3.261. Terdapat korelasi positif dengan kekuatan lemah antara kadar HMGB1 serum dengan nilai NIHSS pada pasien stroke trombotik akut yang bermakna secara statistik (r =  0.353 dan  p  =  0.02) Kesimpulan: Terdapat korelasi positif antara kadar HMGB1 dalam serum dengan derajat fungsional neurologik yang diukur


AKSONA ◽  
2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 34-38
Author(s):  
Arlia Ayu Damayanti ◽  
Viskasari Pintoko Kalanjati ◽  
Joni Wahyuhadi
Keyword(s):  

Pendahuluan: Meningioma merupakan tumor otak primer yang berasal dari jaringan arakhnoid. Angka kejadian meningioma di Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Selain mutasi gen  supresor tumor, meningioma  dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal diantaranya usia dan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia    dan jenis kelamin dengan angka kejadian meningioma pada pasien di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia tahun 2018 berdasarkan derajat keganasannya. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik cross-sectional retrospektif dari data sekunder lembar hasil pemeriksaan patologi anatomi pasien yang dirawat inap melalui SMF. Ilmu Bedah Saraf,  RSUD Dr. Soetomo tahun 2018; data yang tidak lengkap akan dieksklusi. Analisis data dilakukan menggunakan uji  Chi  squre (SPSS 25) dengan tingkat signifikansi p <0,05. Hasil: Didapatkan 45 pasien meningioma yang sesuai dengan kriteria inklusi, dengan mayoritas perempuan (71%) pada kelompok usia 45 – 49 tahun (22,2%), WHO grade I (82%) dengan tipe histopatologi transisional (49%). Terdapat hubungan yang signifikan antara angka kejadian meningioma dengan kelompok   usia tertentu (r = 0,718, p  =  0,025), dan  dengan jenis kelamin (r = 0,441, p = 0,002). Rasio perempuan dibanding laki- laki sebesar 1:2,36. Kesimpulan: Usia dan jenis kelamin berkorelasi erat dengan angka kejadianmeningioma.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document