scholarly journals [JF] Pengantar Redaksi Vol. 31 No. 2 Agustus 2021

2021 ◽  
Vol 31 (2) ◽  
Author(s):  
Redaksi Jurnal Filsafat

Pembaca Yang Budiman,Di tengah situasi yang belum normal seperti sediakala sebelum pandemi Covid-19, redaksi Jurnal Filsafat tetap berupaya untuk tetap menjaga kontinuitas penerbitan jurnal yang telah memperoleh kembali akreditasi nasional peringkat Sinta 2 ini untuk terbit dua kali dalam 1 tahun, Pada edisi volume 31 nomor 2 Agustus 2021, Jurnal Filsafat menyajikan enam artikel, dengan jumlah penulis 12 orang.Penulis pertama, Abdul Rokhmat Sairah, menyajikan artikel berjudul “Prinsip-Prinsip Kemunculan Disiplin Ilmiah Dalam Pemikiran Wilhelm Wundt (1832-1920) Tentang Psikologi”. Menurut Sairah, perkembangan ilmu merupakan sebuah keniscayaan. Perkembangan itu ditandai melalui proses kelahiran disiplin ilmiah. Banyak klaim menyertai proses kelahiran tersebut. Para ilmuwan atau komunitas ilmiah saling mengajukan klaim sebagai pihak otoritas bagi sebuah disiplin ilmiah. Berbagai klaim dalam kemunculan disiplin ilmiah membutuhkan prinsip sebagai kriteria keilmiahan. Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan dalam penentuan keabsahan sebuah disiplin ilmiah dan panduan pengembangan disiplin keilmuan. Salah satu model kelahiran disiplin ilmiah adalah kemunculan psikologi yang ditandai oleh pendirian laboratorium oleh Wilhelm Wundt di Universitas Leipzig. Hasil penelitian Sairah menunjukkan bahwa kemunculan psikologi sebagai disiplin ilmiah ditandai oleh beberapa prinsip yaitu: kebaruan, spesialisasi, kekhasan, heuristik, dan revolusioner.Artikel kedua, berjudul “Kontrak Sosial Menurut Immanuel Kant: Kontekstualisasinya dengan Penegakan HAM di Indonesia Kasus pelanggaran HAM masih sering terjadi di Indonesia” ditulis oleh Althien J Pesurnay. Dalam artikel ini Pesurnay menganalisis konsep kontrak sosial dari perspektif filsafat politik Immanuel Kant. Kebebasan dan kesetaraan yang merupakan prinsip dasar HAM dalam pemikiran Immanuel Kant merupakan hak alamiah yang perlu dilindungi dengan perangkat prosedur filsafat moral. Konsep kontrak sosial Kant linier dengan filsafat moralnya yang bersifat murni rasional. Kontrak bagi Kant merupakan penyatuan kehendak. Negara melalui pemerintah bertugas menjalankan kehendak publik untuk mengatur dan memberi kepastian hukum untuk menjamin kebebasan dan kesetaraan bagi setiap individu dalam kerangka HAM.Penulis selanjutnya, Johanis Putratama Kamuri, memaparkan artikel bertajuk “Konsep Worldview: Usaha Melengkapi Konsep Struktur Dalam Teori Strukturasi Giddens”. Kamuri menyatakan bahwa terbentuknya worlview sebagai medium bagi tindakan sosial, mengandung makna berarti bahwa konsep worldview menekankan korespondensi struktur objektif masyarakat dan stuktur kognitif. Dengan demikian konsep ini, bagi penulis artikel ini, dapat menunjukkan eksistensi struktur masyarakat dan pengaruh komponen-komponen kultural di dalamnya terhadap regularisasi praktik sosial dan pembentukan worlview. Ini adalah jawaban bagi pertanyaan yang tidak dapat diatasi oleh teori strukturasi Giddens.John Abraham Ziswan Suryosumunar dan Arqom Kuswanjono menulis artikel keempat berjudul “Kesempurnaan Sebagai Orientasi Keilmuan Dalam Teosofi Suhrawardi Al-Maqtul”. Kedua penulis artikel menyimpulkan bahwa konsep ilmu dalam pemikiran Suhrawardi al-Maqtul adalah hasil sinkretisme dari beragam pemikiran Timur sebelumnya. Suhrawardi memahami adanya pluralitas metode yang dapat digunakan, yaitu: metode burhani dengan rasio dan pembuktian, serta metode irfani yang bersumber dari intuisi. Metode harus selaras dengan objek kajiannya, yang dalam pemikiran Suhrawardi, tidak hanya melingkupi aspek dunia fisik tetapi juga yang non fisik supra-duniawi. Orientasi dari hal tersebut bukan hanya untuk mencapai validitas pengetahuan, tetapi untuk mencapai kesempurnaan ilmu atau perpindahan dari gelap menuju cahaya ilmu.Artikel kelima berjudul “Post-Secularism As A Basis Of Dialogue Between Philosophy And Religion” ditulis oleh Otto Gusti Ndegong Madung. Melalui tulisan ini, Madung menawarkan paradigma post-sekularisme dari Juergen Habermas solusi untuk membuka ruang bagi partisipasi publik agama. Lebih jauh, tulisan ini berargumentasi bahwa dalam masyarakat post-sekular di mana agama kembali muncul di ruang publik, perlu dibangun dialog yang rasional dan demokratis antara agama dan akal budi. Jembatan yang menghubungkan keduanya adalah nalar publik. Kondisi post-sekularisme ini membuka peluang bagi teologi untuk memajukan toleransi dalam masyarakat plural dan memperkuat keterlibatan agama atau Gereja di ruang publik, sehingga agama tidak direduksi kepada kesalehan privat minus pertanggungjawaban publik, melainkan terlibat secara sosial-politis dalam proses pembebasan kelompok marginal.Artikel keenam dari edisi ini, berjudul “Pandangan Buruh Gendong Di Yogyakarta Terhadap Peran Ganda Perempuan”, ditulis oleh Sri Yulita Pramulia Panani, Aris Novita Rahayu, Wahyu Alga Ramadhan, Fitri Alfariz, dan Sartini. Dalam artikel ini terungkap bahwa buruh gendong memandang perempuan Jawa sebagai individu yang tidak hanya bersifat halus dan penurut tetapi juga tangguh, kuat, dan berani dalam mengambil sebuah tindakan. Buruh gendong memandang peran ganda yang dijalani sebagai bagian hidup perempuan yang harus dijalani dengan kerelaan dan ikhlas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konflik peran ganda dapat diatasi dengan sikap pandai mengatur waktu dan berbagi peran dalam pekerjaan rumah tangga. Dekonstruksi gender diperlihatkan buruh gendong pada pandangan bahwa perempuan juga dapat mencari uang dengan apa yang mereka miliki dan mampu kerjakan. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan siapa pun. Melalui hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan baru bahwa peran ganda tidak selalu menjadi sesuatu yang memberatkan tetapi bagian dari kerelaan perempuan dalam membantu kebutuhan keluarga terutama pada kasus buruh gendong.Mengakhiri kata pengantar ini, atas nama redaksi Jurnal Filsafat, saya mengaturkan terima kasih kepada para penulis, reviewer, editor dan staf redaksi yang telah berkontribusi dalam edisi ini. Kepada para pembaca, saya menyampaikan selamat membaca dan menikmati setiap artikel pada edisi ini!.Yogyakarta, 21 Agustus 2021Salam Hormat,Editor in Chief,                                                                                                Syarif Hidayatullah

Author(s):  
Immanuel Kant ◽  
Henry Allison ◽  
Peter Heath ◽  
Gary Hatfield ◽  
Michael Friedman
Keyword(s):  

2000 ◽  
Vol 208 (1-2) ◽  
pp. 110-128
Author(s):  
Theo Herrmann
Keyword(s):  

Zusammenfassung: Die Sprachpsychologie befindet sich am Ende dieses Jahrhunderts in keinem zufriedenstellenden Zustand. Ein wesentlicher Grund dafür ist das Vollständigkeits-Geschlossenheits-Dilemma: Sprache ist ein so facettenreicher Sachverhalt, daß man ihn entweder nur bei starker thematischer Reduzierung mit einem geschlossenen theoretischen Ansatz rekonstruieren kann oder daß man, bei hinreichender Berücksichtigung seines Facettenreichtums, auf eine geschlossene Theoriebildung verzichten muß. In der kontinentaleuropäischen Tradition, für die Wilhelm Wundt , Karl Bühler und Hans Hörmann namhafte Beispiele sind, wurde die möglichst vollständige Erforschung der Sprache auf Kosten der theoretischen Geschlossenheit angezielt. Im derzeit herrschenden angelsächsischen Nach-Chomsky-Paradigma erkauft man sich umgekehrt eine zufriedenstellende theoretische Geschlossenheit mit äußerster thematischer Verarmung. Das Vollständigkeits-Geschlossenheits-Dilemma wird besonders dann sichtbar, wenn Sprachpsychologen die mentalen Prozesse der Sprachproduktion und Sprachrezeption und die Kommunikativität der Sprachverwendung zugleich zu berücksichtigen versuchen. Es wird kurz erörtert, wie man das Sprechen als individuellen Prozeß und die Kommunikativität des Sprechens zugleich in Rechnung stellen kann.


2005 ◽  
Vol 213 (2) ◽  
pp. 109-114 ◽  
Author(s):  
Cristina Massen ◽  
Jürgen Bredenkamp
Keyword(s):  

Zusammenfassung. In der Wundt-Bühler-Kontroverse (1907-1908) geht es um die auch für die heutige Denkpsychologie noch bedeutsame Frage, ob der Selbstbericht von Probanden über die eigenen Denkprozesse als wissenschaftliche Methode der Datengewinnung akzeptiert werden kann, wie vor etwa einem Jahrhundert von Karl Bühler vertreten, oder auf Grund von mangelnder Validität abgelehnt werden sollte, wie von Wilhelm Wundt gefordert. In dem vorliegenden Beitrag wird diese Kontroverse aufgegriffen und anhand neuerer empirischer Befunde diskutiert. Besonderes Augenmerk wird dabei auf die Reaktivität und Veridikalität von Berichten über die Denktätigkeit sowie auf das Problem möglicher unbewusster Denkprozesse gelegt. Unter Berücksichtigung der neueren Befundlage gelangen wir zu dem Schluss, dass viel für die einst von Wilhelm Wundt vertretene Position spricht.


1975 ◽  
Vol 30 (11) ◽  
pp. 1081-1088 ◽  
Author(s):  
Arthur L. Blumenthal
Keyword(s):  

1982 ◽  
Vol 27 (6) ◽  
pp. 431-432
Author(s):  
John C. Marshall
Keyword(s):  

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document