juergen habermas
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

19
(FIVE YEARS 4)

H-INDEX

3
(FIVE YEARS 0)

2021 ◽  
Vol 31 (2) ◽  
pp. 271
Author(s):  
Otto Gusti Ndegong Madung

This article tackles the problem of religious radicalism. Religious radicalism is here interpreted as a protest against the pathology of secularism characterized by the privatization of religion. The privatization of religion is a process in which religion is regarded as an irrational and personal element, so that it cannot play a public role. In order to meet the pathology of privatization, this article offers the paradigm of post-secularism as proposed by Juergen Habermas that opens up the possibility for religion to actively participate in the public sphere. Furthermore, this writing argues that in post-secular society characterized by the public role of religion, it is essential to build a democratic and rational dialogue between religion and philosophy, faith and reason. A bridge that connects both is public reason. This article also shows that the post-secular condition opens up opportunities for theology to promote tolerance in a pluralistic society and to strengthen the public engagement of religion. This can avoid reducing religion to private piety without public responsibility while promoting the public engagement in religion in order to liberate the marginalized and oppressed.


2021 ◽  
Vol 31 (2) ◽  
Author(s):  
Redaksi Jurnal Filsafat

Pembaca Yang Budiman,Di tengah situasi yang belum normal seperti sediakala sebelum pandemi Covid-19, redaksi Jurnal Filsafat tetap berupaya untuk tetap menjaga kontinuitas penerbitan jurnal yang telah memperoleh kembali akreditasi nasional peringkat Sinta 2 ini untuk terbit dua kali dalam 1 tahun, Pada edisi volume 31 nomor 2 Agustus 2021, Jurnal Filsafat menyajikan enam artikel, dengan jumlah penulis 12 orang.Penulis pertama, Abdul Rokhmat Sairah, menyajikan artikel berjudul “Prinsip-Prinsip Kemunculan Disiplin Ilmiah Dalam Pemikiran Wilhelm Wundt (1832-1920) Tentang Psikologi”. Menurut Sairah, perkembangan ilmu merupakan sebuah keniscayaan. Perkembangan itu ditandai melalui proses kelahiran disiplin ilmiah. Banyak klaim menyertai proses kelahiran tersebut. Para ilmuwan atau komunitas ilmiah saling mengajukan klaim sebagai pihak otoritas bagi sebuah disiplin ilmiah. Berbagai klaim dalam kemunculan disiplin ilmiah membutuhkan prinsip sebagai kriteria keilmiahan. Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan dalam penentuan keabsahan sebuah disiplin ilmiah dan panduan pengembangan disiplin keilmuan. Salah satu model kelahiran disiplin ilmiah adalah kemunculan psikologi yang ditandai oleh pendirian laboratorium oleh Wilhelm Wundt di Universitas Leipzig. Hasil penelitian Sairah menunjukkan bahwa kemunculan psikologi sebagai disiplin ilmiah ditandai oleh beberapa prinsip yaitu: kebaruan, spesialisasi, kekhasan, heuristik, dan revolusioner.Artikel kedua, berjudul “Kontrak Sosial Menurut Immanuel Kant: Kontekstualisasinya dengan Penegakan HAM di Indonesia Kasus pelanggaran HAM masih sering terjadi di Indonesia” ditulis oleh Althien J Pesurnay. Dalam artikel ini Pesurnay menganalisis konsep kontrak sosial dari perspektif filsafat politik Immanuel Kant. Kebebasan dan kesetaraan yang merupakan prinsip dasar HAM dalam pemikiran Immanuel Kant merupakan hak alamiah yang perlu dilindungi dengan perangkat prosedur filsafat moral. Konsep kontrak sosial Kant linier dengan filsafat moralnya yang bersifat murni rasional. Kontrak bagi Kant merupakan penyatuan kehendak. Negara melalui pemerintah bertugas menjalankan kehendak publik untuk mengatur dan memberi kepastian hukum untuk menjamin kebebasan dan kesetaraan bagi setiap individu dalam kerangka HAM.Penulis selanjutnya, Johanis Putratama Kamuri, memaparkan artikel bertajuk “Konsep Worldview: Usaha Melengkapi Konsep Struktur Dalam Teori Strukturasi Giddens”. Kamuri menyatakan bahwa terbentuknya worlview sebagai medium bagi tindakan sosial, mengandung makna berarti bahwa konsep worldview menekankan korespondensi struktur objektif masyarakat dan stuktur kognitif. Dengan demikian konsep ini, bagi penulis artikel ini, dapat menunjukkan eksistensi struktur masyarakat dan pengaruh komponen-komponen kultural di dalamnya terhadap regularisasi praktik sosial dan pembentukan worlview. Ini adalah jawaban bagi pertanyaan yang tidak dapat diatasi oleh teori strukturasi Giddens.John Abraham Ziswan Suryosumunar dan Arqom Kuswanjono menulis artikel keempat berjudul “Kesempurnaan Sebagai Orientasi Keilmuan Dalam Teosofi Suhrawardi Al-Maqtul”. Kedua penulis artikel menyimpulkan bahwa konsep ilmu dalam pemikiran Suhrawardi al-Maqtul adalah hasil sinkretisme dari beragam pemikiran Timur sebelumnya. Suhrawardi memahami adanya pluralitas metode yang dapat digunakan, yaitu: metode burhani dengan rasio dan pembuktian, serta metode irfani yang bersumber dari intuisi. Metode harus selaras dengan objek kajiannya, yang dalam pemikiran Suhrawardi, tidak hanya melingkupi aspek dunia fisik tetapi juga yang non fisik supra-duniawi. Orientasi dari hal tersebut bukan hanya untuk mencapai validitas pengetahuan, tetapi untuk mencapai kesempurnaan ilmu atau perpindahan dari gelap menuju cahaya ilmu.Artikel kelima berjudul “Post-Secularism As A Basis Of Dialogue Between Philosophy And Religion” ditulis oleh Otto Gusti Ndegong Madung. Melalui tulisan ini, Madung menawarkan paradigma post-sekularisme dari Juergen Habermas solusi untuk membuka ruang bagi partisipasi publik agama. Lebih jauh, tulisan ini berargumentasi bahwa dalam masyarakat post-sekular di mana agama kembali muncul di ruang publik, perlu dibangun dialog yang rasional dan demokratis antara agama dan akal budi. Jembatan yang menghubungkan keduanya adalah nalar publik. Kondisi post-sekularisme ini membuka peluang bagi teologi untuk memajukan toleransi dalam masyarakat plural dan memperkuat keterlibatan agama atau Gereja di ruang publik, sehingga agama tidak direduksi kepada kesalehan privat minus pertanggungjawaban publik, melainkan terlibat secara sosial-politis dalam proses pembebasan kelompok marginal.Artikel keenam dari edisi ini, berjudul “Pandangan Buruh Gendong Di Yogyakarta Terhadap Peran Ganda Perempuan”, ditulis oleh Sri Yulita Pramulia Panani, Aris Novita Rahayu, Wahyu Alga Ramadhan, Fitri Alfariz, dan Sartini. Dalam artikel ini terungkap bahwa buruh gendong memandang perempuan Jawa sebagai individu yang tidak hanya bersifat halus dan penurut tetapi juga tangguh, kuat, dan berani dalam mengambil sebuah tindakan. Buruh gendong memandang peran ganda yang dijalani sebagai bagian hidup perempuan yang harus dijalani dengan kerelaan dan ikhlas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konflik peran ganda dapat diatasi dengan sikap pandai mengatur waktu dan berbagi peran dalam pekerjaan rumah tangga. Dekonstruksi gender diperlihatkan buruh gendong pada pandangan bahwa perempuan juga dapat mencari uang dengan apa yang mereka miliki dan mampu kerjakan. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan siapa pun. Melalui hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan baru bahwa peran ganda tidak selalu menjadi sesuatu yang memberatkan tetapi bagian dari kerelaan perempuan dalam membantu kebutuhan keluarga terutama pada kasus buruh gendong.Mengakhiri kata pengantar ini, atas nama redaksi Jurnal Filsafat, saya mengaturkan terima kasih kepada para penulis, reviewer, editor dan staf redaksi yang telah berkontribusi dalam edisi ini. Kepada para pembaca, saya menyampaikan selamat membaca dan menikmati setiap artikel pada edisi ini!.Yogyakarta, 21 Agustus 2021Salam Hormat,Editor in Chief,                                                                                                Syarif Hidayatullah


2021 ◽  
Vol 21 (2) ◽  
pp. 293-310
Author(s):  
Ilca Menezes
Keyword(s):  

Habermas discute as chances para a instituição de uma cidadania mundial na sociedade contemporânea, marcada pelo multiculturalismo e pelo processo de globalização. Habermas identifica a configuração histórica da constelação pós-nacional, e partir daí tematizada a transição do direito internacional para o direito de cidadãos do mundo, que alinha o conceito de cidadania à ideia de direitos humanos. Habermas analisa a ideia kantiana de estado cosmopolita em que os cidadãos são sujeitos jurídicos de seus respectivos Estados e membros de uma entidade cosmopolita. Kant elabora o conceito de república mundial, que Habermas discorda, mas oferece o exemplo da União Européia para uma discussão sobre a realização de uma ordem internacional justa e pacífica. A partir da orientação kantiana de constituição de uma ordem de cidadania mundial, Habermas discute a conformação e a viabilidade dessa ideia na contemporaneidade. Para Habermas, é possível soletrar a ideia de cidadania cosmopolita. A partir da União Européia, a cooperação entre Estados e cidadãos mostra que se faz necessária uma comunidade cosmopolita em complementação a uma comunidade internacional de Estados.


2020 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
Author(s):  
Josef Hien ◽  
Christian Joerges

The immediate effects of the Euro crisis have been tamed but the crisis has soured the relations between Southern and Northern Member states for many years to come. Comparative political economy explains the frictions between North and South as a result of different institutional configurations of national economies (Varieties of Capitalism), different interests of capital and labor coalitions (growth model perspective) or ideational traditions (ordoliberal vs dirigisme). We argue that the exclusive focus of these approaches on either, rational institutionalism, interest coalitions or economic ideas obscures that these three factors come together in a long-term evolutionary trajectory that has formed national economic cultures within the Eurozone since the 1950s. We examplify our cultural political economy approach showing empircally how the German and Italian political economies developed in different ways since the end of WWII. In the second part of our contribution we develop a conflicts law perspective offering it as a third way that can mediate between the two extreme positions of Wolfgang Streeck (back to the nation state) and Juergen Habermas (federation) in the debate on the future of the European Union. We show how the culturally grounded diversities of European capitalisms can be accommodated through a conflicts law.


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
Author(s):  
Manggara Bagus Satria Wijaya ◽  
Hermanu Joebagio ◽  
Sariyatun Sariyatun

Pembelajaran Sejarah dalam Kurikulum secara keseluruhan lebih menekankan pentingnya hafalan kolektif sehingga menghambat tumbuhnya nalar kritis pada diri peserta didik. Kajian ini mengulas suatu pendekatan alternatif dalam mengajarkan mata pelajaran Sejarah yang diterapkan di SMA. Penggunaan konsep pertanyaan-pertanyaan kritis dan emansipatoris model “ways of knowing”  karya Juergen Habermas merupakan strategi yang ditempuh oleh guru dalam mengajarkan pelajaran Sejarah yang mampu membangkitkan gairah kesadaran kritis peserta didik. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif untuk mengetahui aktivitas guru dan peserta didik secara menyeluruh pada saat pembelajaran seputar riwayat Syaikh Ahmad Mutamakkin dan penyelesaian kasusnya yang termaktub didalam Teks Kajen dan Serat Cebolek  sebagai pengayaan dari materi Sejarah Kerajaan Mataram Islam. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa selama proses pembelajaran berlangsung guru telah berhasil mengkreasikan terciptanya proses emansipasi pada diri peserta didik. Emansipasi tersebut memungkinkan terjadinya peningkatan minat peserta didik untuk menciptakan pengetahuanya sendiri pada materi yang dibahas dengan perspektif historis.


2018 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 29
Author(s):  
Manggara Bagus Satriya Wijaya ◽  
Hermanu Joebagio ◽  
Sariyatun Sariyatun

<p align="center"><em>Learning History in the Curriculum as a whole emphasizes the importance of collective memory so that inhibits the growth of critical reasoning in the Student.</em> <em>This review covers an alternative approach in teaching history subjects applied in senior high school. The use of the concept of critical questions and emancipatory models of "ways of knowing" by Juergen Habermas is a strategy taken by teachers in teaching history lessons that can arouse the critical awareness of student. In-depth research is done by qualitative method to know the activity of teachers and learners thoroughly at the time of learning about the history of Shaykh Ahmad Mutamakkin and the settlement of his case stipulated in the Kajen manuscript and Cebolek manuscript as enrichment of the material history Mataram Islamic Kingdom.</em> <em>The results showed that during the learning prose took place the teacher has succeeded in creating the creation of the process of emancipation in the students themselves.</em> <em>Such emancipation enables an increase in the interest of learners to create their own knowledge on the material discussed in a historical perspective</em></p><p>Kata kunci: <em>local wisdom in history, critical pedagogy in teaching history, </em><em>emancpatory reserach</em></p>


Author(s):  
Alexander Pavlov

The present article considers the problematical nature of social philosophy’s interdisciplinary character. The author considers that we can discover its specification as an independent area of the humanities, with exarticulation of adjacent to social philosophy disciplines like political philosophy, historic sociology and social theory. If it will be done, we will be able as the scientists to prove that social philosophy, which if often considering as the synonymous of social theory, has right to exist. The author comes to conclusion that the most part of social theory supporters try to ignore valuative dimension in “theories” of thinkers they research (Georg Simmel, Hanna Arendt, Juergen Habermas, Zygmunt Bauman). In fact it is а duty of social philosophy which nature is valuative. In author’s point of view, such a trend in theoretical sociology as “cultural sociology,” which use not only explanatory and descriptive methods but also interpretations, reflects the differences between social theory and social philosophy because it emphasizes the cultural dimension of social processes. For example, cultural sociology deals with issues that are more relevant to philosophy than to sociology, in particular, it concerns the problem of evil.


Jurnal Common ◽  
2017 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
Author(s):  
Justito Adiprasetio ◽  
Sandi Jaya Saputra

Since the beginning of revitalization, Taman Alun-alun Bandung is expected to be a public space where people can interact with each other and build a healthy social order. Public space when viewing on the concept of Juergen Habermas, is a space within which there is participation and plural public consolidation and across classes and social structures with an emancipatory agenda. This research is by ethnography method which seeks to examine how so far Taman Alun-alun Bandung carry out its function as a public space of Bandung city residents. This research uses two big concepts namely Public Space from Juergen Habermas and Production of Social Space from Henrik Lafebvre, seeks to describe how social production space and nuance of publicity in the Park Taman Alun-alun Bandung. In the praxis level Taman Alun-alun Bandung can not be said to successfully perform its function as a representational spaces for community participatory activities. Created public spaces become pseudo, considering the imprisonment it makes imagined publicity can fill Taman Alun-alun Bandung not achieved. Sejak awal revitalisasi, Taman Alun-alun Bandung diharapkan dapat menjadi ruang publik tempat di mana masyarakat dapat saling berinteraksi dan membangun tatanan sosial yang sehat. Ruang publik apabila menilik pada konsep Juergen Habermas, adalah ruang yang didalamnya terdapat partisipasi dan konsolidasi publik yang plural dan melintasi kelas serta struktur sosial dengan agenda emansipasi. Penelitian ini mengunakan metode etnografi, yang berupaya memeriksa bagaimana sejauh ini Taman Alun-alun Bandung menjalankan fungsinya sebagai ruang publik warga kota Bandung. Penelitian ini menggunakan dua konsep besar yaitu Ruang Publik dari Juergen Habermas dan Produksi Ruang Sosial dari Henrik Lefebvre, berupaya mendeskripsikan bagaimana ruang produksi sosial dan nuansa kepublikan di Taman Alun-alun Bandung. Dalam tataran praksis Taman Alun-alun Bandung tidak dapat dikatakan berhasil menjalankan fungsinya sebagai representational spaces bagi aktivitas partisipatif masyarakat. Ruang publik yang tercipta menjadi semu, mengingat keberjarakan tersebut membuat kepublikan yang dibayangkan dapat mengisi Taman Alun-alun Bandung tidak tercapai.


2012 ◽  
Author(s):  
Ιωάννης Μαθιουδάκης
Keyword(s):  

Η παρούσα διατριβή επικεντρώνεται στην παρουσίαση και εξέταση της ηθικής και πολιτικής σκέψης του Habermas, επιχειρώντας παράλληλα να φωτίσει τα λογικά και ιστορικά της θεμέλια. Έτσι, τα δύο πρώτα κεφάλαια εστιάζουν στη στροφή του Γερμανού διανοητή από μια κριτική θεωρία ως γνωσιοθεωρία, που διατυπώθηκε κατά τη δεκαετία του ’60, αποκρυσταλλώθηκε γύρω από την έννοια των «γνωστικών διαφερόντων» και τόνιζε τη σχέση θεωρίας και πράξης, προς μια θεωρία της επικοινωνίας, που αναπτύχθηκε κατά τη δεκαετία του ’70, στηριζόταν στη σύλληψη των γενικών-καθολικών χαρακτηριστικών του επικοινωνιακού φαινομένου («καθολική πραγματολογία») και απέδιδε ιδιαίτερη έμφαση στη θεωρητική της θεμελίωση. Η προσπάθειά του αυτή συνοδευόταν, επίσης, από την ανάπτυξη μιας θεωρίας της νεωτερικότητας ως αποτέλεσμα μιας διαδικασίας κοινωνικού εξορθολογισμού. Στα επόμενα δύο κεφάλαια εξετάζεται η ηθική και πολιτική θεωρία του, όπως προέκυψαν από την επικοινωνιακή στροφή του Habermas. Σκοπός της διατριβής είναι να καταδείξει πώς το κριτικό στοιχείο της σκέψης του, το οποίο ατονεί κατά τη διατύπωση της επικοινωνιακής του θεωρίας, εγκαταλείπεται σε μεγάλο βαθμό και κατά τη διαμόρφωση της ηθικής και πολιτικής του σκέψης. Έτσι, η συναινεσιακή θεωρία του περί αλήθειας βρίσκει το αντίστοιχό της στην ηθική του διαλόγου και τη διαλογική θεωρία της δημοκρατίας, με αποτέλεσμα να καταπιέζονται ο πλουραλισμός και η ετερότητα, να υποβαθμίζεται η ιστορικότητα των ηθικών και πολιτικών φαινομένων, καθώς και η σημασία της ελευθερίας του ηθικού προσώπου και του πολιτικού δημοκρατικού υποκειμένου. Ταυτόχρονα, επιχειρείται η ανάδειξη των αντιφάσεων στην πολιτική του θεωρία, καθώς ο Habermas μοιάζει να υποχωρεί μπροστά στις πολιτικές συνέπειες της ίδιας της επικοινωνιακής θεωρίας του. Πιο συγκεκριμένα, και σε ό,τι αφορά το πεδίο της πολιτικής, οι επικοινωνιακές διαδικασίες μοιάζουν να υποχωρούν τόσο στο επίπεδο του έθνους-κράτους, έναντι των συστημικών επιταγών, όσο και στο διεθνές επίπεδο, χάριν της προώθησης μιας κοσμοπολιτικής τάξης που βασίζεται σε μια ελλιπή δημοκρατική νομιμοποίηση. Βάσει των μεθοδολογικών παρατηρήσεων που διατυπώνονται στην Εισαγωγή, η διατριβή ακολουθεί κυρίως τη συστηματική προσέγγιση, χωρίς όμως να αγνοεί και την ιστορική προσέγγιση, προκειμένου να προβεί σε έναν περισσότερο ολοκληρωμένο έλεγχο των πορισμάτων της και να ερμηνεύσει συνολικότερα την εξέλιξη της ηθικής και πολιτικής σκέψης του Habermas.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document