Wilhelm Wundts Logik als Auftakt zu einer induktiven Metaphysik

In the extensive methodology of his Logik, Wilhelm Wundt examines in detail the methodological procedure in the individual sciences. As will be shown in this article, these investigations are not only intended to clarify or improve the procedures in the individual sciences, but also to be of benefit to philosophy and especially to metaphysics. Wundt belongs to the traditional line of inductive metaphysics, whose representatives were of the opinion that metaphysics should be based on the results and methods of the individual sciences. In this sense, Wundt's detailed investigation of the methods of the individual sciences should be understood as a prelude to an inductive metaphysics. By means of a central example, namely the introduction of the concept of causality based on an inference to the best explanation, this article shows how Wundt conceives the construction of a metaphysics based on the foundations of the individual sciences.

Nietzsche’s Entomology: Insect Sociality and the Concept of the Will

The article traces Nietzsche’s references to insects in his published and unpublished writings against the backdrop of his study of the entomological research of his time (esp. through his reading of Alfred Espinas’s Die thierischen Gesellschaften). The first part of the article explores how Nietzsche’s entomology allows us to add a posthumanist perspective to the more familiar poststructuralist readings of Nietzsche, as the entomological research he consulted offered him a model for understanding how rudimentary processes can lead to the formation of structures and higher organizations with emergent properties. The second part of the article revisits Nietzsche’s conceptions of the will and the will to power against the backdrop of his references to insect sociality and the influence of Wilhelm Wundt. It shows that Nietzsche’s deconstruction of the will as an umbrella concept and his will to power are attempts to model the emergence of complex edifices from simple operations under which physical, psychological, and social phenomena must be thought to arise. The article concludes with a reflection of the social and political relevance of what Nietzsche identifies as modernity’s “disgregation of the will.”

Prinsip-Prinsip Kemunculan Disiplin Ilmiah dalam Pemikiran Wilhelm Wundt (1832-1920) tentang Psikologi

Perkembangan ilmu merupakan sebuah keniscayaan yang ditandai melalui proses kelahiran disiplin ilmiah. Salah satu model kelahiran disiplin ilmiah adalah kemunculan psikologi yang ditandai oleh pendirian laboratorium oleh Wilhelm Wundt di Universitas Leipzig. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap prinsip-prinsip dalam kemunculan psikologi sebagai disiplin ilmiah. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan menggunakan metode analisis kefilsafatan terhadap sejarah psikologi dan pemikiran Wilhelm Wundt tentang psikologi, serta teori-teori perkembangan ilmu dalam filsafat ilmu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemunculan psikologi sebagai disiplin ilmiah ditandai oleh beberapa prinsip yaitu: kebaruan, spesialisasi, kekhasan, heuristik, dan revolusioner.

[JF] Pengantar Redaksi Vol. 31 No. 2 Agustus 2021

Pembaca Yang Budiman,Di tengah situasi yang belum normal seperti sediakala sebelum pandemi Covid-19, redaksi Jurnal Filsafat tetap berupaya untuk tetap menjaga kontinuitas penerbitan jurnal yang telah memperoleh kembali akreditasi nasional peringkat Sinta 2 ini untuk terbit dua kali dalam 1 tahun, Pada edisi volume 31 nomor 2 Agustus 2021, Jurnal Filsafat menyajikan enam artikel, dengan jumlah penulis 12 orang.Penulis pertama, Abdul Rokhmat Sairah, menyajikan artikel berjudul “Prinsip-Prinsip Kemunculan Disiplin Ilmiah Dalam Pemikiran Wilhelm Wundt (1832-1920) Tentang Psikologi”. Menurut Sairah, perkembangan ilmu merupakan sebuah keniscayaan. Perkembangan itu ditandai melalui proses kelahiran disiplin ilmiah. Banyak klaim menyertai proses kelahiran tersebut. Para ilmuwan atau komunitas ilmiah saling mengajukan klaim sebagai pihak otoritas bagi sebuah disiplin ilmiah. Berbagai klaim dalam kemunculan disiplin ilmiah membutuhkan prinsip sebagai kriteria keilmiahan. Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan dalam penentuan keabsahan sebuah disiplin ilmiah dan panduan pengembangan disiplin keilmuan. Salah satu model kelahiran disiplin ilmiah adalah kemunculan psikologi yang ditandai oleh pendirian laboratorium oleh Wilhelm Wundt di Universitas Leipzig. Hasil penelitian Sairah menunjukkan bahwa kemunculan psikologi sebagai disiplin ilmiah ditandai oleh beberapa prinsip yaitu: kebaruan, spesialisasi, kekhasan, heuristik, dan revolusioner.Artikel kedua, berjudul “Kontrak Sosial Menurut Immanuel Kant: Kontekstualisasinya dengan Penegakan HAM di Indonesia Kasus pelanggaran HAM masih sering terjadi di Indonesia” ditulis oleh Althien J Pesurnay. Dalam artikel ini Pesurnay menganalisis konsep kontrak sosial dari perspektif filsafat politik Immanuel Kant. Kebebasan dan kesetaraan yang merupakan prinsip dasar HAM dalam pemikiran Immanuel Kant merupakan hak alamiah yang perlu dilindungi dengan perangkat prosedur filsafat moral. Konsep kontrak sosial Kant linier dengan filsafat moralnya yang bersifat murni rasional. Kontrak bagi Kant merupakan penyatuan kehendak. Negara melalui pemerintah bertugas menjalankan kehendak publik untuk mengatur dan memberi kepastian hukum untuk menjamin kebebasan dan kesetaraan bagi setiap individu dalam kerangka HAM.Penulis selanjutnya, Johanis Putratama Kamuri, memaparkan artikel bertajuk “Konsep Worldview: Usaha Melengkapi Konsep Struktur Dalam Teori Strukturasi Giddens”. Kamuri menyatakan bahwa terbentuknya worlview sebagai medium bagi tindakan sosial, mengandung makna berarti bahwa konsep worldview menekankan korespondensi struktur objektif masyarakat dan stuktur kognitif. Dengan demikian konsep ini, bagi penulis artikel ini, dapat menunjukkan eksistensi struktur masyarakat dan pengaruh komponen-komponen kultural di dalamnya terhadap regularisasi praktik sosial dan pembentukan worlview. Ini adalah jawaban bagi pertanyaan yang tidak dapat diatasi oleh teori strukturasi Giddens.John Abraham Ziswan Suryosumunar dan Arqom Kuswanjono menulis artikel keempat berjudul “Kesempurnaan Sebagai Orientasi Keilmuan Dalam Teosofi Suhrawardi Al-Maqtul”. Kedua penulis artikel menyimpulkan bahwa konsep ilmu dalam pemikiran Suhrawardi al-Maqtul adalah hasil sinkretisme dari beragam pemikiran Timur sebelumnya. Suhrawardi memahami adanya pluralitas metode yang dapat digunakan, yaitu: metode burhani dengan rasio dan pembuktian, serta metode irfani yang bersumber dari intuisi. Metode harus selaras dengan objek kajiannya, yang dalam pemikiran Suhrawardi, tidak hanya melingkupi aspek dunia fisik tetapi juga yang non fisik supra-duniawi. Orientasi dari hal tersebut bukan hanya untuk mencapai validitas pengetahuan, tetapi untuk mencapai kesempurnaan ilmu atau perpindahan dari gelap menuju cahaya ilmu.Artikel kelima berjudul “Post-Secularism As A Basis Of Dialogue Between Philosophy And Religion” ditulis oleh Otto Gusti Ndegong Madung. Melalui tulisan ini, Madung menawarkan paradigma post-sekularisme dari Juergen Habermas solusi untuk membuka ruang bagi partisipasi publik agama. Lebih jauh, tulisan ini berargumentasi bahwa dalam masyarakat post-sekular di mana agama kembali muncul di ruang publik, perlu dibangun dialog yang rasional dan demokratis antara agama dan akal budi. Jembatan yang menghubungkan keduanya adalah nalar publik. Kondisi post-sekularisme ini membuka peluang bagi teologi untuk memajukan toleransi dalam masyarakat plural dan memperkuat keterlibatan agama atau Gereja di ruang publik, sehingga agama tidak direduksi kepada kesalehan privat minus pertanggungjawaban publik, melainkan terlibat secara sosial-politis dalam proses pembebasan kelompok marginal.Artikel keenam dari edisi ini, berjudul “Pandangan Buruh Gendong Di Yogyakarta Terhadap Peran Ganda Perempuan”, ditulis oleh Sri Yulita Pramulia Panani, Aris Novita Rahayu, Wahyu Alga Ramadhan, Fitri Alfariz, dan Sartini. Dalam artikel ini terungkap bahwa buruh gendong memandang perempuan Jawa sebagai individu yang tidak hanya bersifat halus dan penurut tetapi juga tangguh, kuat, dan berani dalam mengambil sebuah tindakan. Buruh gendong memandang peran ganda yang dijalani sebagai bagian hidup perempuan yang harus dijalani dengan kerelaan dan ikhlas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konflik peran ganda dapat diatasi dengan sikap pandai mengatur waktu dan berbagi peran dalam pekerjaan rumah tangga. Dekonstruksi gender diperlihatkan buruh gendong pada pandangan bahwa perempuan juga dapat mencari uang dengan apa yang mereka miliki dan mampu kerjakan. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan siapa pun. Melalui hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan baru bahwa peran ganda tidak selalu menjadi sesuatu yang memberatkan tetapi bagian dari kerelaan perempuan dalam membantu kebutuhan keluarga terutama pada kasus buruh gendong.Mengakhiri kata pengantar ini, atas nama redaksi Jurnal Filsafat, saya mengaturkan terima kasih kepada para penulis, reviewer, editor dan staf redaksi yang telah berkontribusi dalam edisi ini. Kepada para pembaca, saya menyampaikan selamat membaca dan menikmati setiap artikel pada edisi ini!.Yogyakarta, 21 Agustus 2021Salam Hormat,Editor in Chief, Syarif Hidayatullah

Nietzsche’s Entomology: Insect Sociality and the Concept of the Will

The article traces Nietzsche’s references to insects in his published and unpublished writings against the backdrop of his study of the entomological research of his time (esp. through his reading of Alfred Espinas’s Die thierischen Gesellschaften). The first part of the article explores how Nietzsche’s entomology allows us to add a posthumanist perspective to the more familiar poststructuralist readings of Nietzsche, as the entomological research he consulted offered him a model for understanding how rudimentary processes can lead to the formation of structures and higher organizations with emergent properties. The second part of the article revisits Nietzsche’s conceptions of the will and the will to power against the backdrop of his references to insect sociality and the influence of Wilhelm Wundt. It shows that Nietzsche’s deconstruction of the will as an umbrella concept and his will to power are attempts to model the emergence of complex edifices from simple operations under which physical, psychological, and social phenomena must be thought to arise. The article concludes with a reflection of the social and political relevance of what Nietzsche identifies as modernity’s “disgregation of the will.”

Psikologi Humanis; Mengurai Relasi Teoritik antara Psikologi dan Agama

Psychological discourse can be traced through the thoughts of Muslim philosophers such as Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, and Al-Ghazali about the concept of the nafs. Its abstract but real structure forms the human psyche, received a warm welcome from Western thinkers such as Wilhelm Wundt and Ivan Pavlov so that psychology was born. Islamic teachings about psychology and psychology are not two different things but mutually support each other and complement each other, because in the development of psychology there are ups and downs in the relationship between psychology and religion. Through a multidisciplinary study of Islamic religious education, this article describes the terminology of Islamic psychology; human psychological elements; and the human driving force. At the end of this article, the author tries to find an estuary between western psychology and Islamic teachings on psychology which leads to humanist psychology. Humanist psychology is the latest period of the ebb and flow of the relationship between psychology and religion. Humanist psychology is able to become the new mainstream in understanding humans not only related to their psychology but also the driving motivation and side of human spirituality that experimental psychology cannot reach.

TACHYCARDIA MISDIAGNOSED AS PSYCHOTIC MENTAL ILLNESS.

Many people with similar or related life challenges may decide not to share personal information of the kind described in the present memoir. My sharing is intended in defense of my cognitive salience: despite having been diagnosed as supposedly “psychotic.” It is my hope that this memoir might help tip the scales in favor of “psycho-social” rather than “in-your-head,” models of personality disorder (1, 2, 3). Superior psychological models can be found (4); even before the gross statistics of Charles Spearman (1863 to 1945), AND before the forced conditioning experimentations of Ivan Pavlov (1849 to 1936), AND as well before the dubious Oral-Anal Hypothesis of Sigmund Freud (1856 to 1939). Some of these models (4) were presented by names such as Francis Galton (1822 to 1911), Hermann von Helmholtz (1821 to 1894), and Wilhelm Wundt (1832 to 1920): leaders of the subject area-domains commonly referred to as Experimental Psychology and Sensory Physiology.

Wilhelm Wundt

Wilhelm Maximilian Wundt (b. 1832―d. 1920) was a central figure in German culture between the second half of the 19th century and the first two decades of the 20th century. Coming from a medical and neurophysiological background with a PhD in medicine, Wundt shifted his interest toward psychological and philosophical questions, becoming full professor of philosophy: first, at the University of Zurich in 1874; then, at the University of Leipzig in 1875. In the early 21st century, he is known worldwide as one of the founders of scientific psychology. In Leipzig, he founded in 1879 the Psychological Laboratory, which later became the first psychological institute in the world. Moreover, he founded the first journal for experimental psychology, which he called Philosophische Studien (Philosophical Studies), later Psychologische Studien (Psychological Studies). In so doing, he created the first international training center for psychologists, attracting to Leipzig students from all over the world. Wundt had a significant impact upon the development of scientific psychology in many countries, not least in the United States, where his former students founded psychological laboratories inspired by the Leipzig model. Apart from his contributions to psychology, Wundt also developed a philosophical system that is crucial to understanding his psychological program and methodology, but which has not received due attention among psychologists. Wundt’s writings have been published in different, mostly enlarged editions throughout his career. The great majority of these volumes have not yet been translated into English, and the same holds true for much of the relevant research literature.