Indonesian Journal of Theology
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

128
(FIVE YEARS 66)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Asosiasi Teolog Indonesia

2339-0751

2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 221-246
Author(s):  
Timotius Verdino

Tulisan ini hendak menunjukkan bahwa spiritualitas dan seksualitas seseorang tidak dapat dipisahkan karena saling membutuhkan dan berjumpa dalam sebuah titik temu, yakni eros yang digerakkan dan dijiwai oleh Roh Kudus sebagai manifestasi dari eros ilahi atau hasrat Allah. Untuk itu, tulisan ini dimulai dengan membahas berbagai aspek dalam seksualitas manusia dan selayang pandang mengenai bagaimana seksualitas dipahami dalam kekristenan. Setelah itu, dengan merujuk pada pembahasan mengenai eros dalam Kidung Agung oleh Edmée Kingsmill dan eros dalam relasi dengan yang transenden menurut Mayra Rivera, saya akan membahas tentang eros sebagai titik jumpa spiritualitas dan seksualitas. Pada akhirnya, berdasarkan pandangan Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas est, tulisan ini ditutup dengan konstruksi teologis tentang Roh Kudus sebagai Eros Ilahi, yakni hasrat Allah sendiri yang menggerakkan dan menjiwai baik spiritualitas maupun seksualitas manusia.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 168-194
Author(s):  
Firdaus Salim
Keyword(s):  

Kalangan Reformed konservatif cenderung bersikap curiga dan bermusuhan terhadap berbagai pengalaman iman yang sifatnya pribadi dan subjektif. Teologi Reformed yang berakar pada karya Calvin telah dianggap mengutamakan akal budi dan rasionalitas semata. Mencermati perkembangan zaman, kalangan Reformed perlu menyadari bahwa dunia sedang berhadapan dengan sebuah era, yakni era pascakebenaran. Era pascakebenaran, yang sering ditempatkan hanya dalam konteks politik, ternyata mempunyai dampak pula terhadap dinamika iman. Era pascakebenaran ini telah membuat rasionalitas dan hal-hal yang sifatnya objektif menjadi kurang lagi menarik. Unsur misteri dan kekaguman dalam iman yang sifatnya subjektif justru perlu mendapatkan tempatnya. Menghadapi era yang demikian, makalah ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa karya Calvin, terutama Institutes dan tafsiran Mazmurnya, tidak bersikap bermusuhan terhadap pengalaman pribadi. Justru karya Calvin tidaklah lepas dari pengaruh tulisan mistik dan bahkan menunjukkan keterbukaan terhadap pengalaman religius. Dengan keterbukaan Calvin yang demikian, doa mistik Karl Rahner dapat menjadi sebuah sarana bagi kalangan Reformed konservatif untuk menghadirkan aspek misteri dan kekaguman dalam iman.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 150-167
Author(s):  
David Kristanto

Spiritualitas adalah sebuah topik yang kurang berkembang dari kajian terkait Abraham Kuper, mungkin dikarenakan penekanan kuat Kuyper terhadap implikasi-implikasi publik dari iman Kristen. Akan tetapi, tidak semestinya spiritualitas diabaikan karena Kuyper juga memiliki penekanan yang sama kuat terhadap pentingnya dimensi privat dari iman Kristen. Selama lebih dari empat puluh tahun, Kuyper telah menulis berjilid-jilid volume terkait meditasi yang jumlahnya mencapai 2,200. Di dalam tulisan meditasi-meditasi itulah tergambar jelas kepribadian dan spiritualitasnya. Artikel ini berargumentasi bahwa tulisan meditasi-meditasi yang ditulis Kuyper adalah titik berangkat yang cocok untuk mengkonstruksi sebuah spiritualitas Kuyperian bersama-sama dengan tema-tema Kuyperian lain, seperti doktrin tentang palingenesis dan eklesiologi. Istilah “palingenesis” (dari bahasa Yunani palingenesia) merujuk kepada kelahiran baru personal dan kelahiran baru seluruh kosmos. Doktrin ini menjembatani implikasi-implikasi privat dan publik dari iman Kristen, antara spiritualitas dan praktik-praktik kristiani dalam teologi Kuyper. Dan kendati pembedaan Kuyper terkait Gereja sebagai institusi dan organisme sudah dikenal luas, penekanannya terhadap peran institusi Gereja sebagai ibu yang merawat spiritualitas umat beriman masih kurang dikenal. Penelaahan yang lebih mendalam akan menunjukkan bagaimana pandangan Kuyper tentang eklesiologi ternyata memainkan peran sentral dalam spiritualitas.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 195-220
Author(s):  
Agetta Putri Awijaya

Diskriminasi yang dialami oleh teman-teman non-heteronormatif, termasuk di dalam gereja-gereja dan masjid-masjid dalam hal beribadah, sampai hari ini masih terus terjadi. Seiring dengan hal itu, di Indonesia khususnya, gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan mulai memiliki perhatian baru yakni tentang iman dan seksualitas. Kehadiran gelombang yang baru ini menunjukkan adanya kerinduan dalam diri teman-teman non-heteronormatif untuk tetap mempertahankan iman mereka kepada Allah di dalam pergumulan terkait seksualitas dan gender. Penolakan yang mereka terima, yang kerap dilandaskan pada nilai-nilai agama, tidak lantas membuat kerinduan mereka untuk mempertahankan relasi dengan Tuhan memudar. Nyatanya, mereka tetap berjuang merengkuh Allah melalui ruang-ruang spiritual di luar tembok-tembok rumah ibadah, dan menolak percaya ketika ada suara-suara yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang “dilaknat” oleh Allah. Iman mereka bukan hanya menjadi bukti kerinduan mereka untuk beribadah, namun sekaligus juga bukti kerinduan Allah yang senantiasa ingin merangkul ciptaan ke dalam persekutuan dengan-Nya. Di balik perjuangan melintasi batasan-batasan berupa doktrin patriarkal dan penafsiran yang diskriminatif, terdapat spiritualitas yang merasakan kehadiran Allah dan keterlibatan-Nya dalam kehidupan ciptaan. Tulisan ini mencoba memperhatikan gagasan-gagasan yang terdapat dalam spiritualitas kaum non-heteronormatif dan kaum Beguine yang menjadi penggerak emansipasi awal, serta membangun refleksi yang merepresentasi spiritualitas mereka. Dengan tulisan ini, diharapkan perjuangan untuk menghentikan diskriminasi atas dasar agama yang dialami teman-teman non-heteronormatif dapat dilihat sebagai wujud kerinduan untuk selalu berada dalam persekutuan dengan Allah sekaligus juga manifestasi cinta Allah Trinitas yang selalu bergerak untuk merangkul ciptaan.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 247-265
Author(s):  
Meiliana Evita Benes

Kehadiran pemimpin rohani yang memiliki kekuasaan mutlak jelas berkaitan langsung dengan pertumbuhan spiritual orang-orang yang dilayani. Abbot (kepala biara) di masa biara adalah contoh pemimpin dengan kualifikasi yang tinggi untuk melakukan tugas instruksional terkait dengan formasi spiritual. Perkembangan sejarah kemudian menunjukkan perubahan dan kompleksitas peran ini. Peranan abbot tidak hanya penting bagi orang dewasa, tetapi juga anak-anak—bahkan anak usia dini. Sebab, pemimpin rohani hadir sebagai representasi Kristus untuk menunjukkan kasih yang benar, otentik, utuh dan seimbang. Kristus adalah otoritas utama dalam proses instruksional ini. Anak usia dini juga membutuhkan kehadiran pihak berotoritas untuk mendukung formasi spiritualitas mereka. Untuk mencapai tujuan ini, maka hal yang penting untuk diperhatikan adalah melihat peranan pemimpin rohani dan kebutuhan spiritual berdasarkan perkembangan anak usia dini.


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 266-268
Author(s):  
Monte Lee Rice

Sebuah resensi untuk buku The Spirit of Atonement: Pentecostal Contributions and Challenges to the Christian Traditions


2021 ◽  
Vol 9 (2) ◽  
pp. 132-149
Author(s):  
Nindyo Sasongko ◽  
Febrianto

Artikel ini merupakan editorial untuk edisi spesial "Mendamba Cinta: Dasar-dasar bagi Spiritualitas."


2021 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 129-131
Author(s):  
Monte Lee Rice

This is a book review of The Pentecostal Hypothesis: Christ Talks, They Decide. 


2021 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 62-92
Author(s):  
Lisa Asedillo

This article explores writing and scholarship on the theology of struggle developed by Protestants and Catholics in the Philippines during the 1970s-90s. Its focus is on popular writing—including pamphlets, liturgical resources, newsletters, magazines, newspaper articles, conference briefings, songs, popular education and workshop modules, and recorded talks—as well as scholarly arguments that articulate the biblical, theological, and ethical components of the theology of struggle as understood by Christians who were immersed in Philippine people’s movements for sovereignty and democracy. These materials were produced by Christians who were directly involved in the everyday struggles of the poor. At the same time, the theology of struggle also projects a “sacramental” vision and collective commitment towards a new social order where the suffering of the masses is met with eschatological, proleptic justice—the new heaven and the new earth, where old things have passed away and the new creation has come. It is within the struggle against those who deal unjustly that spirituality becomes a “sacrament”—a point and a place in time where God is encountered and where God’s redeeming love and grace for the world is experienced.


2021 ◽  
Vol 9 (1) ◽  
pp. 41-61
Author(s):  
Benita Lim

As Christianity arrived on the shores of Singapore closely following British colonization, Western missionaries introduced their interpretation of the Holy Communion into a foreign land and space that was experiencing its first brushes with Western modernity. Contemporaneously, the movement of modernity continues to make an impact upon an important element of life closely intertwined with religious folk practices and culture of locals: food. In the face of modernizing foodscapes and primordial religious backgrounds, converts from Chinese religious traditions to Christianity find themselves navigating the dissonance of Western Holy Communion theologies with the Chinese philosophies of food. How might churches in Singapore begin to respond to the tensions arising when these two philosophical systems meet, and when Christians and churches seem to appropriate “syncretistic” theologies into their liturgical behavior? This article undertakes an interdisciplinary effort by employing social science to explore the modernizing of food in Singapore, as well as engaging Chinese philosophies of food and the body to explain tensions among converts from Chinese religious traditions, and the resistance of local churches towards Chinese understandings of food rituals in the partaking of the Holy Communion. It will also briefly propose that interdisciplinary studies, including liturgical studies, will be essential in developing a more robust theology of the Holy Communion among churches, thereby enhancing its witness within and without.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document