Sari Pediatri
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

1280
(FIVE YEARS 191)

H-INDEX

2
(FIVE YEARS 1)

Published By Paediatrica Indonesiana - Indonesian Pediatric Society

2338-5022, 0854-7823

Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 235
Author(s):  
Maria Stefani ◽  
Andy Setiawan
Keyword(s):  

Latar belakang. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak usia di bawah 5 tahun di dunia. Di Indonesia, prevalensi pneumonia pada anak di bawah usia 5 tahun mencapai 18,5 per mil. Paparan asap rokok merupakan salah satu faktor risiko pneumonia. Tujuan. Membuktikan hubungan paparan asap rokok terhadap pneumonia berat pada anak usia di bawah 5 tahun.Metode. Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol di Rumah Sakit Atma Jaya. Kelompok kasus didefinisikan sebagai anak usia di bawah 5 tahun dengan pneumonia berat, sedangkan kontrol merupakan anak dengan pneumonia sesuai klasifikasi WHO. Wawancara dilakukan terhadap orangtua responden untuk mendapatkan data paparan asap rokok. Analisis data menggunakan metode chi-square dan regresi logistik dengan tingkat signifikansi sebesar 0,05.Hasil. Penelitian ini melibatkan 67 responden, terdiri dari 34 kasus dan 33 kontrol. Analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan antara paparan asap rokok dengan pneumonia berat. Keberadaan perokok (p=0,000), jumlah perokok di rumah (p=0,000), perilaku orangtua merokok di dalam rumah (p=0,001) dan kepadatan rumah (p=0,012) merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian pneumonia berat pada anak usia di bawah 5 tahun.Kesimpulan. Paparan asap rokok dan kepadatan rumah merupakan faktor risiko pneumonia berat untuk anak usia di bawah 5 tahun.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 222
Author(s):  
Ismi Ratnasari ◽  
Fadhilah Tia Nur ◽  
Muhammad Riza
Keyword(s):  

Latar belakang. Meningitis bakterial merupakan penyakit infeksi yang berat pada meningen (selaput otak) yang menimbulkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi di dunia. Gejala dan tanda kinis tidak dapat digunakan untuk membedakan antara meningitis bakterial dan miningitis viral. Apabila pemeriksaan cairan serebrospinal tidak memungkinkan untuk dilakukan, pemeriksaan marker inflamasi serum dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis dari meningitis. Rasio neutrofil limfosit (NLR) adalah parameter sederhana yang dapat digunakan untuk membedakan meningitis bakterial dan viral.Tujuan. Membedakan nilai NLR antara meningitis bakterial dan meningitis viral pada anak.Metode. Penelitian potong lintang dengan pendekatan uji diagnostik. Data didapatkan dari rekam medis pasien dengan meningitis usia 1 bulan - 18 tahun yang dirawat di RSUD Dr. Moewardi Januari 2017 - Desember 2020. Data dianalisis menggunakan uji independent t test dan uji Mann Whitney, tingkat kemaknaan hasil uji ditentukan berdasarkan nilai p<0,05.Hasil. Dari 36 rekam medis, meningitis bakterial dan viral paling banyak terjadi pada usia 1 bulan – 5 tahun. Dari data karakteristik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Terdapat perbedaan bermakna NLR pada pasien meningitis bakterial dan viral tanpa disertai infeksi di luar sistem saraf pusat (p=0,014). Nilai cut off NLR untuk meningitis bakterial adalah >2,31 dengan sensitivitas 81,8%, spesifisitas 71,4%.Kesimpulan. Rasio neutrofil limfosit dapat digunakan untuk membedakan meningitis bakterial dan viral dengan nilai cut off untuk meningitis bakterial adalah >2,31.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 247
Author(s):  
Rista Harwita Putri ◽  
Alifiani Hikmah Putranti
Keyword(s):  

Latar belakang. Dua pertiga kasus epilepsi membaik dengan OAE dan keberhasilan bebas kejangnya dengan monofarmasi dicapai pada 55% kasus. Sedangkan sisanya mendapatkan polifarmasi. Pemberian polifarmasi meningkatkan angka bebas kejang tetapi juga dapat meningkatkan kejadian efek samping obat. Tujuan. Untuk melihat efek samping polifarmasi asam valproat dan topiramat dibandingkan monofarmasi asam valproat pasien epilepsi anak di RS Dr. Kariadi Semarang. Metode. Desain kohort prospektif pasien epilepsi di poli anak RSUP dr. Kariadi Semarang periode 2018 hingga 2020. Subyek yang memenuhi kriteria inklusi diambil secara consecutive sampling. Trombositopenia dan peningkatan kadar enzim transaminase merupakan variabel yang diteliti. Hubungan antara polifarmasi dan risiko efek samping dilihat melalui risiko relatif (RR). Nilai p bermakna apabila p<0,05.Hasil. Didapatkan 23 anak mendapatkan polifarmasi dan 23 anak mendapatkan monofarmasi. Analisis menunjukkan terdapat peningkatan kejadian trombositopenia pada anak yang mendapatkan polifarmasi dibandingkan monofarmasi pada 6 bulan pertama terapi epilepsi (p=0,044). Anak yang mendapatkan polifarmasi memiliki kejadian peningkatan kadar enzim SGOT lebih tinggi (OR 4,4; IK 95% 1,2-15,4; p= 0,017) dan SGPT lebih tinggi (OR 9,6; IK 95% 1,1-86,2; p= 0,047) dibandingkan monofarmasi pada 6 bulan pertama terapi epilepsi.Kesimpulan. Terdapat peningkatan kejadian trombositopenia dan peningkatan kadar enzim transaminase pada anak yang mendapatkan polifarmasi asam valproat dan topiramat dibandingkan monofarmasi asam valproat pada 6 bulan pertama terapi epilepsi.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 228
Author(s):  
Irma Annisa ◽  
Merry Angeline Halim ◽  
RR Putri Zatalini Sabila ◽  
Atut Vebriasa ◽  
Tety Nidiawati ◽  
...  
Keyword(s):  

Latar belakang. Efusi pleura merupakan salah satu tanda kebocoran plasma pada pasien demam berdarah dengue (DBD) yang dapat dinilai dengan indeks efusi pleura (IEP). Nilai trombosit, hematokrit, dan IEP dapat digunakan untuk mengidentifikasi keparahan DBD. Tujuan. Mengetahui perbedaan nilai trombosit, hematokrit, dan IEP antara pasien anak yang didiagnosis dengan sindrom syok dengue (SSD) dan DBD tanpa syok. Metode. Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah anak usia 1 bulan−14 tahun. Analisis statistik bivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara nilai trombosit, persentase hemokonsentrasi, dan IEP dengan kejadian SSD. Selanjutnya, dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.Hasil. Hemokonsentrasi berperan secara signifikan sebagai preditor SSD (p=0,001 dan OR 1,102). Nilai IEP tidak bermakna sebagai prediktor SSD (p=0,052), tetapi IEP tetap dimasukkan ke dalam analisis menurut pertimbangan klinis. Sementara itu, angka trombosit tidak terbukti sebagai prediktor SSD dengan p=0,549 dan OR 1,000. Pada kurva ROC didapatkan titik potong skor prediktor SSD adalah -1,6 dengan titik potong hemokonsentrasi 23% dan IEP 25%. Pada analisis diagnostik titik potong skor prediktor tersebut untuk menilai kejadian SSD didapatkan sensitivitas 92% dan spesifisitas 83%.Kesimpulan. Indeks efusi pleura (IEP) bersama dengan hemokonsentrasi dapat digunakan sebagai faktor prediktor kejadian SSD pada anak. Skor prediktor >-1,6 memiliki kemungkinan terjadinya SSD 15,6 kali lebih besar dibandingkan skor prediktor ≤ -1,6.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 255
Author(s):  
Yusri Dianne Jurnalis ◽  
Utari Gustiany Gahayu ◽  
Diyas Anugrah ◽  
Revi Rilliani ◽  
Zulfahmi Zulfahmi ◽  
...  

Latar belakang. Data nasional menunjukkan proporsi kasus konfirmasi Covid-19 pada usia 0-18 tahun mencapai 12,5% yang artinya 1 dari 8 kasus konfirmasi Covid-19 adalah anak. Data IDAI menunjukkan Case Fatality Rate akibat Covid-19 pada anak mencapai 3-5%. Gejala gastrointestinal pada Covid-19 dapat terjadi tanpa didahului oleh gejala pernapasan. Anak lebih sering menunjukkan gejala gastrointestinal dibandingkan orang dewasa.Tujuan. Untuk mengetahui gejala gastrointestinal terhadap luaran pasien anak terkonfirmasi Covid-19.Metode. Penelitian ini merupakan kohort retrospektif di ruang isolasi Covid-19 RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian dilakukan selama bulan Mei 2020-Mei 2021. Populasi penelitian adalah semua pasien anak yang terkonfirmasi Covid-19 di RSUP M. Djamil yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik pengambilan sampel diambil dari data rekam medik dengan minimal 24 sampel.Hasil. Berdasarkan gejala gastrointestinal ditemukan bahwa konstipasi, diare, nyeri perut dan perdarahan saluran cerna tidak berhubungan dengan luaran pasien Covid-19 anak yang dirawat (p>0,05). Namun terdapat hubungan muntah dengan luaran pasien Covid-19 anak yang dirawat (p<0,05). Selain itu, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata lama rawatan dengan luaran pasien Covid-19 anak yang dirawat (p>0,05).Kesimpulan. Pada penelitian ini, pasien dengan gejala gastrointestinal terbukti sebagai prediktor terjadinya prognosis buruk dari pasien anak Covid- 19 yang dirawat.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 242
Author(s):  
Regita Pratiwi ◽  
Yuniati Yuniati ◽  
Muhammad Buchori

Latar belakang. Infeksi dengue memiliki tiga fase. Fase kritis yang tidak dapat dilewati dengan baik dapat menyebabkan perburukan keadaan dan komplikasi. Pemeriksaan fisik dan laboratorium merupakan pemeriksaan rutin. Status gizi, nilai trombosit dan hematokrit dapat membantu prediksi perburukan keadaan berupa komplikasi pada pasien anak dengan infeksi dengue.Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi, nilai trombosit dan kadar hematokrit dengan kejadian komplikasi pada anak dengan infeksi dengue. Metode. Penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. Data diambil dari rekam medik di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan menggunakan teknik purposive sampling dari bulan Februari-Maret 2020. Analisis statistik menggunakan uji Fisher exact dan Kruskal Wallis test, kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p<0,05.Hasil. Didapatkan sebanyak 110 sampel, dengan rincian 36 sampel mengalami komplikasi dan 74 sampel tidak mengalami komplikasi. Nilai signifikansi yang didapatkan dari analisis data adalah status gizi p=0,036 (p<0,05, OR 2,39), nilai trombosit p=0,001 (p<0,05, OR 6,09), dan kadar hematokrit p=0,010 (p<0,05 OR 2,48).Kesimpulan. Status gizi, nilai trombosit dan kadar hematokrit berhubungan dengan terjadinya komplikasi pada anak dengan infeksi dengue.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 279
Author(s):  
Ahmad Suryawan ◽  
Anang Endaryanto

Perkembangan kognitif anak merupakan cerminan dari kompleksitas kerja sirkuit otak yang terbentuk sejak usia dini dan harus melewati periode kriitis pada tahun-tahun pertama awal kehidupan anak. Semakin kompleks sirkuit otak yang terbentuk, maka semakin besar kapasitas anak untuk belajar mengembangkan kemampuan kognitif. Saat ini berbagai studi mengkaitkan antara perkembangan otak dengan perkembangan sistem imun anak pada usia dini. Sistem imun selama ini lebih dikenal peranannya dalam sistem pertahanan tubuh untuk melawan organisme patogen, ternyata terbukti juga mempunyai peran khusus dalam proses perkembangan otak, baik dalam kondisi yang normal atau sehat, maupun pada kondisi patologis. Proses perkembangan otak dan sistem imun melibatkan berbagai sel dan molekul-molekul mediator yang sama, seperti protein dan sitokin. Keterkaitan perkembangan otak dan sistem imun terjadi secara dua arah dengan konsep mekanisme yang terprogram sejak usia dini, dimana aktivasi di usia dini akan berdampak jangka panjang terhadap kedua sistem tersebut. Berbagai studi saat ini juga membuktikan bahwa mikrobiota saluran cerna juga berperan khusus dalam sistem imun dan perkembangan otak. Memahami aktivasi sistem imun selama periode kritis perkembangan otak anak merupakan langkah yang strategis untuk dapat mengungkap patogenesis berbagai gangguan perkembangan, perilaku, dan kognitif pada anak dan juga terhadap berbagai cara dan metode terapi di masa depan.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 262
Author(s):  
Defranky Theodorus ◽  
Dyah Kanya Wati ◽  
I Gusti Ngurah Sanjaya Putra ◽  
Ida Bagus Subanada ◽  
Eka Gunawijaya ◽  
...  

Latar belakang. Sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak dengan penyakit kritis yang dirawat di unit perawatan intensif anak (UPIA). Pada 24 jam sepsis, terjadi penurunan kadar seng serum dan secara bersamaan terjadi peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6) dan skor PELOD-2. Hasil sebaliknya terjadi pada 72 jam sepsis.Tujuan. Untuk membuktikan korelasi negatif antara kadar seng serum dengan IL-6 dan skor PELOD-2 pada sepsis.Metode. Penelitian dengan rancangan potong lintang dua kali pengukuran dari Januari - Desember 2019 di UPIA RSUP Sanglah Denpasar. Subjek penelitian adalah anak berusia 29 hari sampai 18 tahun dengan sepsis berdasarkan skor PELOD-2 > 7 menggunakan metode consecutive sampling. Uji korelasi Pearson untuk menilai korelasi bivariat dan uji multivariat menggunakan uji korelasi parsial.Hasil. Empatpuluh subjek memenuhi kriteria inklusi. Rerata kadar seng serum pada 24 dan 72 jam adalah 59,5 µg/dl versus 64,2 µg/dl. Median IL-6 pada 24 dan 72 jam adalah 8,6 pg/dL versus 4,4 pg/dL, rerata skor PELOD-2 24 dan 72 jam adalah 11,2 versus 11,0. Korelasi Pearson kadar seng serum dengan kadar IL-6 pada 24 dan 72 jam adalah r= -0,078, p= 0,632 versus r= -0,218, p= 0,178. Korelasi Pearson kadar seng serum dengan skor PELOD-2 pada 24 dan 72 jam adalah r= -0,513, p= 0,001 versus r= 0,242, p= 0,132. Analisis korelasi parsial kadar seng serum dengan PELOD-2 pada 24 jam adalah r= -0,493, p= 0,002.Kesimpulan. Terdapat korelasi negatif sedang bermakna pada 24 jam sepsis antara kadar seng serum dengan skor PELOD-2 setelah mengontrol variabel kendali.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 270
Author(s):  
Ayu Sasmita Rany ◽  
Putri Maharani Tristanita Marsubrin

Latar belakang. Bronchopulmonary dysplasia (BPD) merupakan salah satu komplikasi terbanyak pada bayi prematur dan juga merupakan prediktor penting terjadinya gangguan perkembangan. Upaya untuk mencegah BPD penting dilakukan untuk menurunkan angka mortalitas bayi prematur. Tujuan. Mengetahui efektivitas azitromisin dalam pencegahan BPD pada bayi prematur. Metode. Penelusuran pustaka dilakukan secara ekstensif melalui beberapa pangkalan data, yaitu Pubmed, Cochrane, Google scholar, dan EBSCO dengan kata kunci “neonates”, “OR” “newborn”, “AND” “preterm”, “OR” “premature”, “AND” “azithromycin”, “AND” “bronchopulmonary dysplasia”. Hasil. Penelusuran literatur diperoleh 1 artikel yang terpilih kemudian dilakukan telaah kritis, yaitu studi telaah sistematik dan meta-analisis oleh Razak dkk, dengan level of evidence 1a. Studi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok untuk luaran BPD pada seluruh bayi prematur (RR 0,92, IK 95%, 0,71-1,19, p=0,53). Namun, terdapat perbedaan bermakna antara kelompok yang mendapat azitromisin dan kelompok yang mendapat plasebo atau tidak mendapat terapi untuk luaran angka kematian atau BPD pada bayi prematur dengan Ureaplasma positif (RR 0,83, IK 95%, 0,70-0,99, p=0,04). Durasi penggunaan suplementasi oksigen lebih rendah secara bermakna pada kelompok azitromisin dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi (rerata perbedaan -6,06%, IK 95%, -7,4 hingga -4,72, p<0,00001). Kesimpulan. Bukti yang didapatkan menunjukkan bahwa pemberian azitromisin tidak terbukti secara bermakna dapat mencegah BPD pada seluruh bayi prematur, tetapi terdapat penurunan risiko BPD atau kematian pada bayi prematur dengan kultur Ureaplasma positif. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitas azitromisin dalam pencegahan BPD pada bayi prematur.


Sari Pediatri ◽  
2021 ◽  
Vol 23 (4) ◽  
pp. 215
Author(s):  
Dinar Handayani Asri ◽  
Yulidar Hafidh ◽  
Sri Lilijanti Widjaja
Keyword(s):  

Latar belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan sepertiga kelainan kongenital pada neonatus. Prevalensi PJB di Asia 9,3 dari 1000 kelahiran hidup. Penegakan diagnosis maupun prediksi PJB pada neonatus dengan kondisi tidak stabil terbatas sehingga dipertimbangkan penggunaan biomarker kardiak Troponin I yang paling sensitif dan spesifik pada injuri miokard.Tujuan. Menganalisis peran kadar troponin I sebagai prediktor penyakit jantung bawaan neonatus dengan riwayat asfiksia sedang dan berat.Metode. Desain penelitian potong lintang dalam uji prognostik. Hasil pengolahan data berupa narasi, tabel, dan grafik. Karakteristik dasar subjek penelitian terdiri atas berat badan lahir, kategori asfiksia, faktor penyerta yaitu sepsis dan pneumonia, jenis PJB. Hubungan bivariat antara kedua variabel dianalisis uji chi square. Hasil bermakna jika p<0,05. Analisis data dengan program SPSS (SPSS statistik 25). Hasil. Dari 25 sampel didapatkan 20 sampel PJB. Pada kelompok PJB, asfiksia merupakan faktor risiko yang signifikan dengan nilai p 0,004. Nilai cut off troponiin I yang didapat sebagai prediktor kejadian PJB pada neonatus dengan riwayat asfiksia sedang dan berat, yaitu 58,5 ng/l, dengan nilai sensitivitas 80%, spesifisitas 80%. Hasil uji chi square didapatkan nilai p 0,023 dengan Odd rasio sebesar 16 (dengan 95% CI 1,38-185,4). Kesimpulan. Terdapat peran kadar troponin I sebagai prediktor PJB pada neonatus dengan riwayat asfiksia sedang dan berat.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document