Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

99
(FIVE YEARS 54)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By Indonesian Center For Environmental Law (ICEL)

2655-9099, 2655-514x

2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 171-196
Author(s):  
Muhammad Hida Lazuardi

Abstrak Jumlah kendaraan bermotor pribadi yang tidak terkontrol turut menyumbang permasalahan pencemaran udara di kota-kota besar Indonesia. Pemerintah telah menetapkan standar emisi yang telah diperbaharui beberapa kali dan berhasil memaksa manufaktur untuk memperbaiki emisi kendaraan-kendaraan baru. Namun, pada sisi lain kendaraan-kendaraan tua yang diproduksi berdasarkan baku mutu emisi yang lebih renggang tetap dapat beroperasi di jalan. Bahkan, kajian ini menunjukkan bahwa pemilik kendaraan-kendaraan tua cenderung dibebankan pajak yang jauh lebih murah dibandingkan kendaraan-kendaraan baru. Dengan demikian pembebanan pajak kendaraan bermotor di Indonesia selain tidak proporsional dengan pencemaran yang dihasilkan, juga tidak memberikan disinsentif bagi pengguna kendaraan dengan emisi yang buruk. Hal tersebut menunjukkan bahwa prinsip pencemar membayar belum terintegrasi dalam sistem perpajakan kendaraan bermotor di Indonesia. Kata kunci: Prinsip Pencemar Membayar, Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan Bermotor


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 275-296
Author(s):  
Ardiyanto wahyu Nugroho
Keyword(s):  

Tujuan utama penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) adalah menciptakan lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia, termasuk di sektor kehutanan. Total 79 undang-undang direvisi dalam UUCK untuk mempercepat perijinan investasi, termasuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini dilakukan untuk memangkas birokrasi, mempercepat investasi dan meningkatkan ekonomi. Akan tetapi, saat ini masih terdapat sejumlah permasalahan besar pada pengelolaan hutan di Indonesia, seperti tingginya laju deforestasi, penyerobotan kawasan hutan, illegal logging dan kebakaran hutan. Dengan demikian, merubah aturan pengelolaan hutan untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi sangat beresiko merusak hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak yang kemungkinan bisa terjadi akibat perubahan aturan dasar pengelolaan hutan di Indonesia, pasca-terbitnya UUCK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UUCK akan berdampak pada perubahan tata kelola hutan lindung dan produksi, yaitu kawasan hutan yang dikelola oleh pemerintah provinsi. Jika dilakukan dengan baik, UUCK berpotensi memperbaiki tata kelola kedua jenis kawasan tersebut.     


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 297-322
Author(s):  
Hario Danang Pambudhi ◽  
Ega Ramadayanti
Keyword(s):  

Abstrak Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) membawa diskursus baru mengenai keberlanjutan ekologis di Indonesia. Pasalnya, terdapat perubahan politik hukum mendasar mengenai perlindungan lingkungan mengarah pada sifat eksploitatif dibandingkan konservasi sehingga menjauhi prinsip keadilan lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan adanya permasalahan simplifikasi perizinan, deorientasi strict liability, dan pembatasan hak atas lingkungan. Padahal perlindungan lingkungan sebagai salah satu unsur keadilan lingkungan merupakan hal yang esensial sebagai upaya memastikan distribusi hak dan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Metode penelitian dilakukan melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis. Digunakan teknik pengumpulan data yaitu kajian literatur dari sumber data sekunder dengan tiga bahan hukum.  Hasil penelitian menyimpulkan perlu adanya suatu langkah untuk merespon perubahan politik hukum perlindungan lingkungan dalam omnibus law agar tetap mendukung keberlanjutan ekologis, berupa arah kebijakan dalam pembangunan berkelanjutan yang lebih merefleksikan keadilan lingkungan.           Kata kunci: Ekologis, Keadilan Lingkungan, Partisipasi, Politik Hukum


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 197-220
Author(s):  
Asrul Ibrahim Nur ◽  
Andrian Dwi Kurniawan
Keyword(s):  

Produksi dan penjualan kendaraan listrik (electric vehicles) di berbagai negara mengalami kemajuan yang sangat signifikan terutama di Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat. Indonesia cenderung tertinggal dari negara lain dalam penggunaan kendaraan listrik secara massif karena regulasi terkait diundangkan pada 2019, ketika sudah banyak negara yang memiliki regulasi untuk mendukung penggunaan kendaraan rendah emisi tersebut. Keberadaan kendaraan listrik yang mensubstitusi kendaraan berbahan bakar fosil secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada berkurangnya emisi karbon yang dihasilkan suatu negara. Tulisan ini akan membahas proyeksi masa depan kendaraan listrik dari perspektif regulasi dan pengendalian perubahan iklim yang berkelanjutan dari perspektif ilmu perundang-undangan dan politik hukum. Sebagai penelitian hukum, metode penelitian yang akan digunakan dalam menganalisis permasalahan adalah metode penelitian hukum dengan pendekatan normatif. Penggunaan metode penelitian ini akan berupaya untuk memotret regulasi kendaraan listrik di Indonesia dan dampaknya dalam upaya pengendalian dampak perubahan iklim yang berkelanjutan.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 221-253
Author(s):  
Muchammad Chanif Chamdani

Konflik tenurial di kawasan hutan terjadi karena persaingan klaim penguasaan, penggunaan, maupun pemanfaatan tanah dan sumber daya lainnya di kawasan hutan antara masyarakat dengan otoritas atau entitas yang mendapat legitimasi untuk mengelola kawasan hutan. Akses dan kepastian tenurial masyarakat seringkali terhambat karena status wilayah yang didiaminya merupakan kawasan hutan. Upaya penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan menjadi tidak mudah dilakukan karena terbentur oleh regulasi dan kebijakan untuk mempertahankan 30% luas kawasan hutan dari luas wilayah, pulau, atau daerah aliran sungai. Pada sisi lain, kehadiran UU Cipta Kerja secara jelas menyebut akan mengatur ulang ketentuan untuk mempertahankan 30% luas kawasan hutan tersebut. Tulisan ini hendak menyelidiki akankah pengaturan ulang batas minimum luas kawasan hutan tersebut menjadi pemecahan dari hambatan penyelesaian penguasaan tanah dan konflik tenurial di kawasan hutan atau sebaliknya justru memperparah konflik yang terjadi? Dan jika memang bisa menjadi solusi, bagaimana pengaturan ideal supaya selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup?


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 254-274
Author(s):  
Arfian Setiaji

Dengan kekuatan modal yang besar, pengaruh International Financial Institutions (IFIs) dalam setiap proyek pembangunan di banyak negara berkembang tidak dapat dianggap remeh. Meskipun dianggap memiliki modal dan pengaruh yang besar, beberapa IFIs seperti World Bank Group kerap dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang muncul karena proyek yang didanainya. Fakta bahwa beberapa IFIs besar seperti World Bank Group berkantor pusat di Amerika Serikat menjadi alasan artikel ini untuk mengeksplorasi isu pertanggungjawaban lingkungan IFIs dari kasus hukum di Amerika Serikat yang belum lama ini mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak internasional. Artikel ini membahas aspek-aspek pertanggungjawaban lingkungan IFIs dengan melakukan tinjauan hukum terhadap putusan kasus JAM terkait pencemaran lingkungan proyek pembangunan pembangkit listrik batu bara di Gujarat, India yang didanai oleh International Finance Corporation.


2021 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 323-346
Author(s):  
Raymond Jonathan ◽  
Lailatul Komaria ◽  
Muhammad Falah Dawanis ◽  
Wilda Prihatiningtyas

Sejak tahun 2017, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017. Namun pada November 2020, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang mengesampingkan TPB melalui deregulasi perizinan yang memudahkan investor untuk mendongkrak ekonomi nasional namun abai terhadap keberlanjutan lingkungan. Sebagai komoditas utama ekonomi nasional dengan sumbangan 2.46 persen pada PDB Indonesia di tahun 2017, penerapan UU Cipta Kerja dalam industri kelapa sawit akan berdampak pada semakin masifnya deforestasi kawasan hutan sebagai paru-paru dunia; terancamnya hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih dan memperparah kondisi krisis iklim bumi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan melihat kesesuaian UU Cipta Kerja dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan untuk menganalisis prospek pembangunan berkelanjutan dalam industri kelapa sawit pasca berlakunya UU Ciptaker terhadap pengelolaan lingkungan dan hak asasi masyarakat.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 159-164
Author(s):  
Isna Fatimah

Tujuan dari penulisan buku “Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia” pada dasarnya adalah memberikan penjelasan tentang kerangka hukum sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang telah ada di Indonesia. Tidak berhenti di situ, dengan menggali lebih dalam makna dan tujuan mendasar dari berbagai jenis hukum yang hidup di Indonesia, hukum internasional, serta membandingkan dengan pelaksanaan di negara lain terkait bidang Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (SDGPTEBT), buku ini memberikan beberapa rekomendasi kebijakan dan pengaturan dalam bingkai pemenuhan hak ekonomi masyarakat, hak-hak komunal dan hak budaya yang dikontekstualisasikan sebagai bagian dari hak asasi manusia.Sebagai karya ilmiah di bidang hukum, buku ini memberikan perspektif mengenai penilaian atas norma yang sudah berlaku dengan kebutuhan pelindungan hak-hak masyarakat yang mempunyai pengetahuan tradisional atau ekspresi budaya tradisional atas sumber daya genetik. Dengan demikian, pendekatan penelitian dilakukan melalui analisis bahan hukum primer, dalam hal ini terbatas pada hukum positif yang berlaku terkait dengan SDGPTEBT, hak asasi manusia (terutama hak masyarakat adat), hak kekayaan intelektual, dan penguasaan sumber daya alam. Selain itu buku ini juga merujuk pada bahan hukum sekunder termasuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, RUU tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, dan RUU tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 29-48
Author(s):  
Fathi Hanif

Abstrak Saat ini perlindungan jenis satwa atau hidupan liar diatur dalam instrumen hukum internasional seperti Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1973. Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya danperaturan pelaksanaan lainnya mengatur perlindungan jenis satwa atau hidupan liar di Indonesia. Hingga saat ini masih banyak kasus kejahatan yang berkaitan dengan perburuan dan perdagangan satwa atau hidupan liar yang dilindungi, seperti kasus penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya pada medio Maret 2015. Implementasi perundang-undangan bidang ini belum efektif dari sisi perlindungan satwa di habitatnya maupun menjerat maksimal pelaku kejahatan. Tulisan ini menyimpulkan bahwa instrumen hukum nasional yang melindungi satwa dan tumbuhan liar belum memiliki kelengkapan ketentuan yang mengacu pada CITES sepenuhnya, dan ancaman sanksi yang ada juga tidak menimbulkan efek jera pelaku kejahatan. Dibutuhkan revisi perundang-undangan dibidang konservasi, perlindungan satwa atau hidupan liar yang sejalan dengan perkembangan instrumen hukum internasional. Abstract The protection of wildlife stated in the international law instruments such as Convention on International Trade in as Critically Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) in 1973. Law No. 5 of1990 regardingNatural Resources Conservation and ItsEcosystems and related goverment regulations governprotection of wildlife in Indonesia. Recently, there are still many criminal cases related to poaching and trade of wildlife or protected animals, such as yellow-crested cockatoo smuggling cases in Surabaya on March 2015. Implementation of regulation and the law enforcement concerning wildlife is not effective to protect animals in their habitat. The legal instrument in the national leveltoprotect wildlife isnot complete and comprehensive yet,especially compared with the norms ofCITES and its regulations;andthe punishment did not make the deterrent effect to the perpetrators. There is aneed to push the goverment to make a revision the regulation regarding conservation and wildlife protection that are in line with the international law instruments.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 49-72
Author(s):  
Raynaldo Sembiring ◽  
Wenni Adzkia

AbstrakKejahatan atas satwa liar merupakan kejahatan yang bersifat transnasional dan terorganisasi yang telah mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem Indonesia. Perkembangan kejahatan atas satwa liar yang saat ini juga merupakan kejahatan teroganisasi, lintas negara dan berbasis elektronik, membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tidak lagi efektif dan telah gagal untuk mengatasinya. Kegagalan ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pada tataran praktek, rendahnya tuntutan Penuntut Umum dan putusan Majelis Hakim membuat tidak adanya efek jera bagi pelaku kejahatan atas satwa liar. Tulisan ini membahas secara spesifik mengenai perkembangan kejahatan atas satwa liar dan kegagalan penegakan hukum atasnya. Tulisan ini juga memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sebagai sarana untuk memberantas kejahatan atas satwa liar di Indonesia. AbstractWildlife Crime is a transnational and organized crime that has given the negative impact for Indonesia’s ecosystem. Evolution of wildlife crime as organized crime, transnational crime, and cyber crime makes Law No. 5 Year 1990 ineffective and has failed to combat it. This failure is caused by the lack of criminal sanction in Law No. 5 Year 1990. In the implementation, low of demand and verdict by prosecutor and judge couldn’t give the deterrent effect for the criminal. This paper discusses specifically about evolution of wildlife crime modus and the failure of law enforcement. This paper also gives input to revise Law No. 5 Year 1990 for combating wildlife crime in Indonesian context.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document