Books in Review: A Secular Age, by Charles Taylor. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007. 896 pp. $39.95 (cloth)

2008 ◽  
Vol 36 (3) ◽  
pp. 486-491 ◽  
Author(s):  
Elizabeth Shakman Hurd
1970 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 125-130
Author(s):  
Franz Magnis-Susesno

Charles Taylor—yang lahir pada 1931 di Kanada—adalah salah seorang filosof kontemporer berbahasa Inggris paling terkenal. Ia menjadi guru besar di Montreal dan mengajar juga di Oxford. Hampir 20 tahun sesudah dua jilid bukunya, Sources of the Self: The Making of Modern Identity (1989), memperoleh perhatian besar, Taylor menerbitkan buku A Secular Age, sebuah karya lebih raksasa lagi, yang oleh Robert N. Bellah disebut “salah satu buku terpenting semasa hidup saya.” Buku ini menceritakan sejarah sekularisasi di Barat dan dengan demikian juga sejarah per- kembangan spiritualitas intelektual Barat dalam 500 tahun terakhir.   Yang langsung mengesankan adalah luasnya pengetahuan Taylor. Taylor akrab dengan seluruh filsafat dan pemikiran yang mengungkapkan intelektualitas Barat. Uraiannya, di satu pihak, menarik garis-garis besar, di lain pihak, memperlihatkan garis-garis itu dengan penelurusan rinci terhadap apa yang ditulis oleh tokoh-tokoh intelektual, para filosof, teolog, sastrawan dan penyair. Yang juga menarik, Taylor memperlihatkan bagaimana “apa yang semula dipikirkan hanya oleh para elit, menjadi milik umum masyarakat-masyarakat seluruhnya” (hlm. 299).   Perkembangan yang ditelusuri Taylor betul-betul mengherankan. Dalam pertanyaan Taylor: “Apa yang berubah antara tahun 1500 di mana hampir tidak mungkin orang tidak percaya (pada Allah), dan tahun 2000 di mana tidak hanya terdapat banyak orang ateis yang bahagia, melainkan sebaliknya di lingkungan-lingkungan tertentu iman menantang lagi sebagai aliran amat kuat?” Bagaimana Eropa Kekristenan Latin— kekristenan yang pernah memakai bahasa Latin di Eropa Tengah dan Barat, dunia yang sejak abad ke-16 terbagi dalam Katolik dan Protestan— menjadi Barat di mana “iman, bahkan bagi mereka yang yakin, hanya merupakan salah satu kemungkinan bagi manusia di antara banyak kemungkinan lain?” (hlm. 3).   .............................   Kesimpulan dari uraian Taylor yang dapat ditarik adalah bahwa sekularisasi merupakan sebuah proses yang kompleks, yang menggagalkan segala penjelasan sederhana dan linear. Alam sosial tersekularisasi sendiri adalah kompleks. Di satu pihak, alam itu merupakan puncak humanisme eksklusif warisan Pencerahan, tetapi, di lain pihak, eksklusivisme itu ditantang oleh suatu “kelaparan spiritual” (hlm. 680) yang tetap terarah ke sesuatu di “seberang.” “Cerita dominan sekularisasi yang cenderung mempersalahkan agama-agama atas banyaknya kesusahan dunia kita lama-kelamaan akan semakin tidak dipercayai lagi” (hlm. 770). Namun, kalau agama mau mempertahankan diri maka wakil-wakilnya harus belajar menjadi rendah hati. Perlu ditambah bahwa Taylor sedikit pun tidak memasuki pertanyaan yang banyak dikemukakan di Indonesia dan dijawab secara berbeda-beda, yaitu, apakah perkembangan 500 tahun di dunia Kristianitas Latin (Katolik dan Protestan), jadi di “Barat,” dari dunia yang penuh dengan roh-roh dan di mana ateisme sepertinya mustahil menjadi sebuah dunia humanisme eksklusif di mana untuk sebagian makin besar warga kontemporer realitas Ilahi, realitas di “seberang,” dianggap tidak ada, atau sekurang-kurangnya tidak mempunyai fungsi atau hak normatif.   Buku Charles Taylor ini amat pantas dibaca dan betul-betul menantang. Kalau kita membacanya—yang tidak perlu secara tergesa-gesa—kita akan merasa mendapat wawasan yang luas, kita menjadi mengerti apa yang memotori modernitas. Buku ini betul-betul sebuah master piece. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).


Pneuma ◽  
2018 ◽  
Vol 40 (1-2) ◽  
pp. 17-36
Author(s):  
Wolfgang Vondey

Abstract Pentecostals do not fit the dominant narrative of a secular age constructed by Charles Taylor. Instead, Pentecostalism is a religion at play that engages with the secular without accepting its authority. A critical dialogue with Taylor’s foundational proposal of the central conditions of premodern life that have made room for our modern secular world demonstrates how and why these conditions are not met in Pentecostalism. The article then identifies the alternative mechanisms in place in Pentecostalism as a form of religion at play manifested in an enchanted worldview, sociospiritual attachment, the festival of Pentecost, the transformation of secular time, and a porous cosmos. A close examination of the notion of play in Taylor’s narrative illuminates in more detail the ill fit of Pentecostalism in the history of a secular age and reveals that Pentecostalism represents a condition of religion that resolves the tension between sacred and secular and that challenges the dominance of “secular” and “religious” as uncontested ideas of our modern world.


2013 ◽  
Vol 7 (3) ◽  
pp. 297-314 ◽  
Author(s):  
Robert Stephen Covolo

AbstractThis article examines two Christian thinkers who detect a close relationship between fashion and secularity. First, the article discusses Reformed theologian Abraham Kuyper’s suspicion that the French fashion of his day carried political, cultural and social capacities that reinforced secularization in nineteenth century Holland. Having considered Kuyper’s perspective, the article turns to contemporary Roman Catholic philosopher Charles Taylor’s understanding of fashion. Drawing on Taylor’s magnum opus, A Secular Age, the article traces fashion’s complicit relationship with secularity as a ‘fourth axis of simultaneity’. In spite of their very different historical, intellectual and confessional contexts, Kuyper and Taylor share a similar analysis of the secularizing power of fashion, thereby pointing a way forward for those seeking to understand the relationship between mode and modernité.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document