DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

110
(FIVE YEARS 0)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Stf Driyarkara - Diskursus

2580-1686, 1412-3878

2018 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 177-192
Author(s):  
F. Budi Hardiman

Abstrak: Perkembangan yang sangat cepat dalam teknologi komunikasi digital telah mengubah pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sudah saatnya filsafat merenungkan ciri manusia di era digital ini bukan sebagai homo sapiens, melainkan sebagai homo digitalis. Homo digitalis, berbeda dari sosok manusia pra-digital, mengalami perubahan tidak hanya dalam cara berkomunikasi, melainkan juga dalam cara merespons dunia dan menangkap kebenaran. Penulis memberi paparan fenomenologis yang kritis tentang kerumitan baru yang timbul akibat digitalisasi masyarakat. Dia berpendirian bahwa dampak revolusi digital bersifat ambivalen, yakni: membuka kebebasan-kebebasan baru dalam komunikasi, tetapi sekaligus juga melepas kebebasan alamiah manusia dalam bentuk brutalitas dalam dunia digital. Sebuah rekomendasi dan kesimpulan diberikan di bagian akhir tulisan ini.   Kata-kata kunci: Homo digitalis, kebenaran, digital state of nature, revolusi digital.   Abstract: The fast development of digital communication technology has changed the pattern of human adaptation to their environment. Such shift has prompted philosophy to contemplate on the nature of humans in the time of digital era not as homo sapiens but as homo digitalis. Homo digitalis, being different from the figure of humans in the pre- digital world, has seen changes not only in the way of communication but also in the way of responding to the world and capturing the truth. The writer will discuss the new complexity arising from the digital society through the lens of critical phenomenology. He asserts that the impact of digital revolution is ambivalent in nature, i.e.: giving access to freedom in communication on one hand, but unleashing human natural freedom that has driven brutalities in the digital world on the other hand. A recommendation is offered and conclusion drawn at the end of this paper. Keywords: Homo digitalis, digital communication, truth, new freedom, digital revolution.


2018 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 193-218
Author(s):  
Hieronimus Dei Rupa

Abstrak: Tujuan dari artikel ini adalah menginterpretasi dan mengafirmasi  bahwa  Ada  (das  Sein)  dalam  “pertanyaan  tentang Ada” (die Seinsfrage) dalam pemikiran Heidegger adalah univok sebagaimana konsep Ada itu univok dalam pemikiran Duns Scotus. Oleh karena itu, pertanyaan utama yang menuntun artikel ini adalah, bagaimana dapat ditunjukkan hubungan antara konsep Ada itu univok antara Dun Scotus dan Heidegger? Untuk memahami dengan baik tema ini, kita akan mengulasnya dalam empat bagian. Pertama, kita akan berkonsentrasi pada pengertian konsep ekuivok, analog, univok.   Kedua, kita fokus pada konsep analogi dan univok dalam pemahaman Abad Pertengahan. Bagaimana Duns Scotus memahami Ada itu univok akan dijelaskan pada bagian ketiga. Kemudian, kita akan mengelaborasi sebuah penafsiran Ada itu univok dalam pemi- kiran Heidegger pada bagian keempat. Pada akhirnya, konsep Ada itu univok dalam pemikian Heidegger terletak pada konsepnya tentang waktu.   Kata-kata kunci: Ekuivok, analog, univok, metafisika, Ada, Dasein, In- nerzeitigkeit, Zeitlichkeit, ekstasis, transendental.   Abstract:  The  scope  of  this  article  is  to  interpret  and  affirm  that Being (das Sein) in Heidegger’s “question of Being” (die Seinsfrage) is similarly univocal to Duns Scotus’ concept of the univocity of Being. Therefore, the central question which guides this article is, how can it point to the relationship between Duns Scotus and Heidegger in regards to the concept of the univocity of Being? To understand well this theme, we will explain it in four parts. First, we concentrate on the definitions of equivocity, analogy and univocity. Second,  we focus on the concepts of analogy and univocity in the Middle Ages. How Duns Scotus understands the univocity of Being will be pointed out in third part. After that, we will elaborate an interpretation of the univocity of Being in Heidegger’s thought in fourth part. In the end, concept of the univocity of Being in Heidegger’s thought is put in his concept of time.   Keywords: Equivocity, analogy and univocity, metaphysics, Being, Dasein, Innerzeitigkeit, Zeitlichkeit, ecstatic, transcendence.


2018 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 181-192
Author(s):  
Antonius Galih Aryanto

Abstract: The name “Phoebe” probably is not too familiar in the study of the New Testament before 90’s. However, in the recent study of the role of woman in the Bible in connection with the patronage system in the Greco-Roman society, Phoebe has an important role because she helps Paul in his preparation for the mission to Rome. Paul calls her as a sister, deacon, and patron. This research argues that Phoebe has a role as a benefactor and deacon within the patron-client system in the Roman society. Paul asks her to carry his letter to Rome in order that Christian community in Rome may help him for the future mission to bring the Gospel to Spain.   Keywords: Phoebe, patronage, deacon, benefactor, and reciprocity.   Abstrak: Nama “Febe” mungkin tidak begitu familiar dalam studi Perjanjian Baru sebelum tahun 90-an. Namun, dalam studi belakangan ini tentang peran perempuaan dalam Alkitab dalam kaitannya dengan sistem patronasi dalam masyarakat Yunani-Romawi, Febe memiliki peran penting karena dia membantu Paulus dalam persiapan misinya ke Roma. Paul menyebutnya sebagai saudari, diakon, dan pelindung. Penelitian ini hendak menunjukkan bahwa Phoebe memiliki peran sebagai donatur dan diakon dalam sistem patron-klien dalam masyarakat Romawi. Paulus memintanya untuk membawa suratnya ke Roma agar komunitas Kristen di Roma dapat menolongnya berkenaan dengan misi di masa depan yaitu mewartakan Injil ke Spanyol.   Kata-kata kunci: Phoebe, patronage, deacon, donatur, dan timbal balik.


2018 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 147-176
Author(s):  
E. Pranawa Dhatu Martasudjita

Abstrak: Dari pengamatan, tidak banyak tulisan teologis tentang sakramen tobat atau sakramen rekonsiliasi di lingkungan bahasa Indonesia selama ini. Begitu pula, ada kesan bahwa pemahaman umat Katolik mengenai sakramen tobat cukup terbatas. Dari sinilah artikel ini ingin memberi sumbangan pemikiran teologis melalui kekayaan dan kedalaman pandangan teologis Karl Rahner mengenai sakramen tobat. Dari penelitian penulis, sabda pengampunan Allah menjadi inti pemikiran Rahner tentang sakramen tobat. Dengan metode teologi transendental sebagaimana dikembangkan oleh Karl Rahner, penulis mengupas secara kritis pemahaman sabda pengampunan Allah melalui alur pemikiran sakramental Rahner. Rahner berpendapat bahwa  manusia  memiliki  pengalaman  dasar  akan  dosa-kesalahan yang tak dapat dihapus oleh diri sendiri, dan justru karena itulah manusia senantiasa mendambakan sabda pengampunan Allah sebagai pemberian diri Allah (Selbstmitteilung Gottes) yang berpuncak pada wafat dan kebangkitan Kristus. Melalui Gereja, sabda pengampunan Allah itu dihadirkan melalui aneka macam bentuk, sedangkan yang khusus dan istimewa melalui sakramen tobat. Tulisan ini ditutup dengan penyampaian poin-poin relevansi pandangan Rahner tersebut bagi Gereja sekarang ini. Kata-kata kunci: Sabda pengampunan Allah, sakramen tobat, sakramen  rekonsiliasi,  teologi  sakramental,  teologi  transendental, belas kasih Allah.   Abstract:  Theology  of  Sacrament  of  reconciliation  has  not  been widely written and developed in Indonesia, and therefore the general understanding among the faithful. This article is to contribute, particularly by presenting Karl Rahner’s theology on the sacrament of reconciliation. Rahner focused on the forgiving word of God. Employing his transcendental method, this article is presenting a critical study on the understanding of Rahner’s forgiving word of God as well as his sacramental theology. Rahner showed that human beings themselves aware and know of their experience of sin or guilt and could not just get out of it, and because of that human beings themselves are longing for forgiveness and God’s forgiving word (Selbstmitteilung Gottes) revealed per exellentiam in the death and resurrection of Christ. Disciples of Christ gathered as people of God or church make present God’s forgiving word here and now in various forms, yet especially in the sacrament of reconciliation. The article shall conclude with points of relevance for the church today. Keywords: God’s forgiving word, sacrament of penance, sacrament of reconciliation, sacramental theology, transcendental theology, mercy of God.


2018 ◽  
Vol 17 (2) ◽  
pp. 219-240
Author(s):  
Christanto Sema Rappan Paledung

Abstrak: Artikel ini membahas Teologi Hari Kedelapan sebagai sum- ber berteologi yang solid untuk mempercakapkan peran gereja dalam ruang publik. Teologi Hari Kedelapan menegaskan bahwa pada Hari Kedelapan yakni hari Kebangkitan Kristus adalah permulaan dunia baru. Dengan demikian, gagasan ini mencakup percakapan liturgis, es- katologis, eklesiologis, penciptaan, dan sebagainya. Percakapan dalam makalah ini juga melibatkan konsep person dan eros dari Christos Yan- naras. Yannaras menegaskan bahwa person merupakan konstitusi yang relasional. Sebab itu, kehadirannya hanya dapat diwujudkan dalam gerak yang erotik. Untuk menegaskan kehadiran gereja dalam ruang publik, saya berargumen bahwa dengan konsep person dan eros, Hari Kedelapan merupakan gerak erotik Allah kepada dunia.   Kata-kata kunci: Hari Kedelapan, eskatologi, eklesiologi, person, eros, teologi publik.   Abstract: This article discusses Theology of the Eighth Day as a sol- id theological source to promote the role of the church in the public sphere. The theology asserts that the Eighth Day as the day the Res- urrection of Christ is the beginning of a new world. Thus, this idea includes liturgy, eschatology, ecclesiology, creation, etc. Conversations in this paper also involve the concept of person and eros from Christos Yannaras. Yannaras emphasized thatperson is a relational constitution. Therefore, its presence can only realize in erotic movements. To underline the presence of the church in the public sphere, I argue that with the concepts of person and eros, The Eighth Day is God›s erotic motion to the world.   Keywords:  The  Eighth  Day,  eschatology,  ecclesiology,  person,  eros, public theology.


2018 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 143-144
Author(s):  
Franz Magnis-Suseno

Buku ketiga  (suntingan Alphonsus Tjatur Raharso dan Paulinus Yan Olla 2017) memuat 20 makalah dari  Hari  Studi  tahun 2017 STFT Widya Sasana.  Tulisan-tulisan ini semua mengangkat, dari  pelbagai segi  dan dengan cara-cara yang  berbeda, tantangan-tantangan bagi umat Katolik yang  berasal dari  kenyataan bahwa umat Katolik  adalah minoritas kecil dalam suatu bangsa yang  amat  majemuk. Atau,  lebih tepat,  dari  kenya- taan  bahwa saat ini kebhinekaan dan  toleransi mengalami “ujian  berat.” Tulisan-tulisan ini dibagi tiga.   .............................................................     Tiga tulisan terakhir kembali membahas kehadiran Gereja  (Katolik)  di ruang publik. Sesudah berfokus pada bagaimana Gereja dalam lima abad pertamanya memastikan identitasnya dalam lingkungan budaya yang asing,  Antonius Denny Firmatno, dengan meloncat 1400 tahun, me- nunjuk bagaimana Gereja pasca  Vatikan II makin sadar bahwa ia berada di  ruang publik, maka  bahwa sangat penting Gereja  memperlihatkan diri  sesuai  dengan identitasnya yang  sebenarnya. Raymundus I Made Sudhiarsa membahas kecenderungan berbahaya agama-gama, termasuk Gereja,  untuk mau  mengamankan identitas mereka dengan menutup diri  terhadap dunia luar.  Tulisan  bagus  dan  mendalam ini membahas hal  identitas dan  “parokialisme” (suatu catatan: sebenarnya istilah “parokialisme” tidak  mengenai sikap teologis-ideologis-fanatik dsb., me- lainkan mengenai keterbatasan wawasan “alami,” jadi barangkali lebih baik diganti dengan “ketertutupan” saja), mekanisme kambing hitam serta penolakan terhadap perbedaan, perlunya bergerak dari  alienasi ke kola- borasi. Pius Pandor menutup kumpulan tulisan ini dengan berfokus pada patologi ruang publik yang cenderung mendorong agama-agama ke arah fundamentalisme dan  pembenaran kekerasan daripada  membangun dialog  dan  toleransi. Kekuatan buku ini adalah kekayaan dan  komplek- sitas sudut-sudut yang terangkat dalam membahas tantangan-tantangan yang  harus dihadapi Gereja  sebagai partisipan di  ruang publik, serta bahwa pembaca dirangsang untuk  berpikir sendiri (Franz  Magnis- Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).


2018 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 140-142
Author(s):  
Franz Magnis-Suseno

Buku  kedua suntingan Raymundus Sudhiarsa dan  Paulinus Yan Olla (2015) memuat duapuluh tulisan — sumbangan dosen-dosen STFT Widya  Sasana pada hari Studi 2015 — yang berfokus pada dua dokumen tulisan kunci  Paus  Fransiskus: “Evangelii Gaudium”  (2013)  dan “Misericodiae Vultus” (2015). Hari  Studi  itu  mengangkat pertanyaan bagaimana menjawab tantangan agar  Gereja  Indonesia menjadi “gem- bira dan  berbelaskasih.” Tulisan-tulisan ini dibagi dalam empat kelom- pok: Tinjauan historis, tinjauan biblis, tinjauan filosofis dan sosio-kultural, dan  tinjauan  teologis-pastoral, disusul penutup. Saya  membatasi diri pada beberapa catatan saja. Dari empat tulisan “tinjauan historis” yang langsung sangat menarik adalah tulisan pertama (oleh  Edison  R. L. Tinambunan) tentang kenyataan bahwa kristianitas telah  sampai ke Sumatra lebih  dari  seribu  tahun lalu,  dan  dibawa terutama oleh  kaum awam. Cukup menarik apa yang kemudian ditulis oleh Armada Riyanto tentang dua  penulis sejarah  Gereja  Indonesia, Martinus Muskens dan Karel Steenbrink, disusul tulisan tentang Gereja di zaman pendudukan Jepang.  Apa  yang  ditulis oleh  Kristoforus Bala tentang peran devosi pada Ibu  Maria  dalam evangelisasi di  Nusa  Tenggara bagi  banyak pembaca Indonesia barangkali masih  baru.  Dari empat tulisan “tinjauan biblis-teologis” dua  mengenai Perjanjian Lama.      ........................................................................     Dari  tiga  tulisan penutup yang  pertama, dari  Merry  Teresa  Sri Rejeki, menjelaskan dua  dokumen yang  menjadi fokus  tulisan-tulisan jilid ini: “Evangelii Gaudium” dan “Misericordiae Vultus.” Seberikutnya Piet  Go  menjelaskan secara  skematis mengapa iman  Gerejani  perlu “bergembira” dan “berbelas-kasih.” Buku ditutup dengan “Sukacitaku,” puisi  St. Teresia  dari  Kanak-kanak Yesus. Sebagai  kesimpulan: buku ini — meskipun ada  beberapa kelemahan, terutama uraian-uraian teoretis yang  agak  berlebihan dan  absennya perhatian pada sekian  kontroversi baik  dalam masyarakat maupun dalam Gereja  berkaitan dengan hal- hal  yang  dibahas — amat  kaya,  mencerahkan dan  bisa  memperdalam pengertian tentang iman  Gereja  serta  betapa penting dan  perlu Gereja Indonesia mengikuti ajakan  Paus  Fransiskus untuk memancarkan kegembiraan dan belaskasihan Ilahi ke dalam masyarakat (Franz Magnis- Suseno,  Guru  Besar  Ilmu Filsafat Emeritus,  Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,  Jakarta).


2018 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 55-78
Author(s):  
Sunaryo

Abstrak: Dalam artikel ini penulis mengeksplorasi gagasan kota utama yang  diajukan  oleh  Abu  Nashr al-Farabi  (870-950 M), seorang filsuf Muslim di abad ke-10. Gagasan al-Farabi mengenai kota utama banyak penulis ambil  dari  karya  utamanya yang  sangat terkenal, Mabdi r Ahl al-Madinah al-Fdhilah yang  secara  harafiah berarti  “Dasar-dasar Pandangan Warga  Kota Utama.” Pandangan al-Farabi dalam karya  ini banyak dipengaruhi oleh dua filsuf Yunani, yakni Plato dan Aristoteles. Kota utama adalah kota  yang  warganya mengerti hakikat kebenaran (teoritis)  dan  juga  memiliki kemampuan bertindak secara  moderat (tawassuth) dengan mempertimbangkan tempat, waktu, pelaku dan juga alasan mengapa hal itu perlu dilakukan (phronesis). Keutamaan ini bisa mengantarkan para warganya untuk mencapai kebahagiaan (al-sa’dah). Kebahagiaan adalah tujuan hidup yang paling utama dan paling tinggi bagi manusia. Bagi al-Farabi,  dalam upaya mewujudkan kota  utama, peran filsuf raja menjadi sangat penting karena dia yang akan mendidik para warga untuk mengerti dan bisa bertindak sesuai dengan nilai-nilai keutamaan.   Kata-kata Kunci:  Kota utama, kebahagiaan, emanasi, neoplatonisme, penyatuan, phronesis.   Abstract: In this article  I will explore  al-Farabi’s idea  of virtuous city. Abu Nashr Al-Farabi  is a Muslim  philosopher who lived in 870 to 950. The idea of virtuous city much refers to his master piece, Mabdi r Ahl al-Madnah al-Fdhilah, which literally means “the principles of the views  of citizens in virtuous city.” Al-Farabi’s concept  of virtuous city in this book  is much  influenced by two  Greek  philosophers, i.e. Plato  and Aristoteles. The virtuous city is the city in which  the virtuous citizens live. The virtuous citizens are those who understand the nature of truth and have virtuous character (phronesis). This virtue will carry the citizens to happiness (al-sa’  dah). The happiness is the ultimate goal for all human beings. According to al-Farabi, to make virtuous city happen, the role of philosopher-king is very important. He will teach and educate the people to understand the nature of truth and  act in accordance with  virtuous character.   Keywords:  Virtuous  City, happiness, emanation, Neoplatonism, union, phronesis.


2018 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 102-136
Author(s):  
Tanius Sebastian

Abstrak: Tulisan berikut membahas pemikiran hukum Anglo-Amerika yang dikenal sebagai  filsafat hukum. Dua pokok  yang dibahas adalah masalah metodologi dan  debat  Hart/Dworkin. Inti pertanyaan yang dikaji di sini berkenaan dengan hakikat filsafat hukum. Untuk itu lang- kah  yang  diambil adalah dengan menelusuri situasi  debat  Hart/ Dworkin dan sesudahnya sebagai suatu debat metodologis dan kemudian menggunakannya untuk mengurai pertanyaan tadi. Debat tersebut telah memicu suatu palingan metodologis dalam filsafat hukum analitik yang lantas  mengubah fokus  dan  makna dari  kegiatan melakukan filsafat hukum, yakni  dari  refleksi  atas  hakikat hukum (dan  hubungannya dengan moralitas) menjadi refleksi atas hakikat kegiatan itu sendiri. Ber- dasarkan telaah kritis terhadap konstelasi dan tren populer dari sejumlah yang ide yang dikembangkan seputar eksistensi debat  Hart/Dworkin, termasuk publikasi terbaru teks kuliah Dworkin di Harvard Law Review yang menanggapi Postscript Hart, tulisan ini mengemukakan argumen bahwa wacana filsafat hukum kontemporer menyentuh ranah kritik ter- hadap dua  tesis metafisis,  epistemologis, dan etis yang tampak sejajar, yakni  dikotomi fakta  dengan nilai  dan  pemisahan hukum dengan moralitas.   Kata-kata Kunci:  Metodologi filsafat  hukum, debat  Hart/Dworkin, hukum dan  moralitas, filsafat  hukum analitik, palingan metodologis, metodologi normatif, metodologi deskriptif.   Abstract: This paper presents an exploration of the Anglo-American legal thought, better  known as jurisprudence. A subject matter of it is two interrelated themes, i.e. the problem of methodology and  the “Hart/Dworkin debate”. The main  question addressed here  concerning the nature of jurisprudence. It takes an inquiry to the Hart/Dworkin debate situation and its aftermath as a methodological debate and whilst use it to scrutinize that question. The debate has been stirred up the so called methodological turn in analytical jurisprudence, thus vary the focus and meaning of the activity  of doing  jurisprudence, from a reflection  of the nature of law (and its relationship to morality) to a reflection of the nature of that activity  itself. Based on the critical examination of constellation and popular trend of some ideas which developed around the existence Hart/Dworkin debate, including the recent  publication of Dworkin’s lost text in Harvard Law Review replying to Hart’s Postscript, this paper argues that  the  contemporary discourse of jurisprudence attains the significance of a criticism of two kinds of metaphysical, epistemological, and  ethical  theses  which  are  apparently parallel, i.e. the  fact/value dichotomy and the separation of law and morality.   Keywords: methodology of jurisprudence, Hart/Dworkin debate, law and  morality, analytic  jurisprudence, methodological turn,  normative methodology, descriptive methodology.


2018 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 137-139
Author(s):  
Franz Magnis-Suseno
Keyword(s):  

Berikut  ini diperkenalkan tiga  buku yang  ditulis oleh  para  dosen Sekolah  Tinggi  Filsafat  dan  Teologi  Widya  Sasana  di  Malang tentang bagaimana Gereja Katolik  perlu menempatkan diri dalam ruang publik Indonesia.   Fokus  buku pertama, tulisan Prof.  Dr.  Armada Riyanto  (2014), adalah ajaran  sosial  Gereja  Katolik,  jadi  ajaran  mengenai bagaimana Gereja  Katolik  memahami panggilannya dalam masyarakat yang sekaligus menjadi ruang publiknya. Sepintas alur  buku ini dapat mem- bingungkan karena penulis suka  melancong ke pelbagai bidang sam- pingan, apalagi ia tidak  menjelaskan susunan bukunya. Namun kekaya- an  buku ini  justru  terletak dalam luasnya acuan,  penjelasan pelbagai latar belakang, serta perhatian pada konteks-konteks ajaran sosial Gereja yang  diangkat penulis. Dengan demikian pembaca dibantu  dalam mencari bagaimana umat Katolik  Indonesia dapat memberikan sum- bangannya bagi  bangsanya dalam segala  pergulatannya. Bagian  kedua, mulai  dari  bab ke-10, memasuki situasi  umat Katolik  Indonesia sebagai minoritas yang sepertinya masih  “kurang memiliki” (187). Bertolak  dari  catatan bahwa waktu Congregatio Missionis (Romo-romo CM) mengam-bil alih wilayah Jawa  Timur  dari  romo-romo Yesuit  hanya ada  40 umat Katolik  Jawa tercatat (hal.  203), bab  11 menjelaskan kesulitan yang  dialami Gereja Katolik sejak dari permulaan abad ke-19 dalam bergiat di Hindia Belanda. Namun kemudian dijelaskan bagaimana orang  Katolik  Jawa, di antara- nya Pak Kasimo, sebelum Kemerdekaan sudah berjuang sebagai nasionalis Indonesia tulen.  Bagian  ketiga,  dimulai dari  bab  12, membahas sifat dialogal ajaran  sosial  Gereja  dalam pelbagai dimensi. Bahwa  iman  dan teologi  Gereja  secara  hakiki  bersifat  dialogal merupakan kesadaran teologis  (dan  sosiologis) baru.  Daripada hanya berpegang teguh pada suatu ajaran  yang  sudah membatu menjadi tradisi, lalu  dibawa begitu saja ke dalam dunia, Gereja menyadari bahwa iman  maupun teologinya selalu  bergerak dalam medan masyarakat di mana  Gereja  berhadapan dengan segala  macam pemikiran dan  tanta-ngan. Dengan sifat dialogal dimaksud bahwa iman  dan teologi  Gereja mau tak mau  terwujud dalam menghadapi tantangan-tantangan itu. Kekuatan buku Prof.  Armada ini adalah bahwa ia menempatkan ajaran  sosial  Gereja  yang  pokok-pokoknya sudah sering  diuraikan ke dalam pelbagai konteks, dengan implikasi-implikasi dan  acuan  pada pelbagai pengalaman Gereja.  Pembaca menemukan banyak petunjuk bagaimana ajaran  sosial  Gereja  Katolik  dapat menjadi inspirasi bagi umat Katolik Indonesia. Ada juga beberapa kelemahan. Tidak ada daftar nama.  Dan  barangkali cakupan uraiannya terlalu luas.  Misalnya uraian panjang lebar  tentang paham Platon  dan  Aristoteles tentang keadilan sebenarnya kurang relevan, begitu pula  uraian tentang perkembangan pemikiran filosofis  tentang demokrasi. Padahal pertanyaan  sangat relevan, yang  muncul di  banyak negara, bagaimana sebuah minoritas berpartisipasi dalam sistem  demokrasi tidak  didiskusilan. Mengapa fungsi  suatu Partai  Katolik  di Indonesia tidak  diangkat, padahal seku- rang-kurangnya sudah tiga  kali menjadi debat  besar  dan  panas dalam umat Katolik  Indonesia: 1960 di  zaman demokrasi terpimpin, 1971 sesudah pemilihan umum pertama di bawah presiden Suharto, dan 1999 di  masa  reformasi. Betul,  persepsi “kemiskinan struktural”  dibuka dengan Rerum Novarum (h. 24), tetapi istilah  itu sendiri tidak  ditemukan di dalamnya, melainkan berasal dari teologi pembebasan. Karena penulis menganggap “pluralisme” tak  punya arti  di  luar  “pluralitas,” penulis tidak  masuk ke dalam kontroversi tajam  tentang pluralisme di Indone- sia. Fatwa  MUI tentang pluralisme tidak  didiskusi-kan. Uraian panjang tentang pendidikan Katolik  yang  sangat optimis tinggal normatif. Padahal dalam kenyataan Gereja  Katolik,  juga  di  Indonesia, biasanya justru  mempertahankan  pegangan eksklusif atas  pendidikan. Dalam kaitan ini  seharusnya penolakan UU Sisdiknas — dengan keharusan memberikan pelajaran agama kepada para  siswa  sesuai  dengan agama mereka — oleh sebagian besar penanggap Katolik didiskusikan. Namun kekurangan-kekurangan ini tidak  menghilangkan bahwa buku ini amat memperkaya pustaka Katolik  berbahasa Indonesia tentang panggilan Gereja,  juga  panggilan Gereja  Indonesia, dalam masyarakat (Franz Magnis-Suseno,  Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,  Jakarta).    


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document