REKONTEKSTUALISASI PEMAKNAAN JIHÂD DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLÂM
Resonansi istilah maupun seruan jihâd sungguh terasa lebih “menggetarkan” nurani kaum Muslim, terlebih bagi pemeluk agama lain, daripada penggunaan kosakata lainnya yang bermakna serupa. Apalagi, jika istilah atau seruan itu diiringi dengan pekik-suara Allâhu Akbar!!! tiga kali, seolah-olah genderang perang-suci agama baru saja ditabuh dan pasukan mulai dikomando menuju the killing field. Tidak jarang, teriakan keras Allâhu Akbar pun diserupakan dengan kesiapan ber-jihâd, dalam arti berperang secara fisik melawan orang-orang yang “mempertontonkan” perilaku munkar, batil, kâfir, dan dhalim dalam segala bentuk, level, maupun konteksnya sesuai dengan klaim-persepsif kebenaran sepihak pada golongan tertentu. Dalam realitasnya, para pelaku aksi-aksi kekerasan seringkali menggunakan istilah jihâd sebagai dasar-pembenar atas tindakan yang beraneka motif. Persoalannya, apakah jihâd itu “berwajah” tunggal? Berlaku untuk semua konteks? Identik dengan kekerasan atau peperangan? Atau masih adakah ruang tersisa untuk memaknakannya kembali menurut ragam konteksnya sebagai perspektif baru yang mencerahkan dan membebaskan umat dari belenggu yang bernuansa kengerian