Estimate of sustainable yield of blue shark (Prionace glauca) in the Indian Ocean using data-poor approach

2017 ◽  
Vol 24 (5) ◽  
pp. 1099 ◽  
Author(s):  
Zhe GENG ◽  
Jiangfeng ZHU ◽  
Meng XIA ◽  
Lulu MA
2019 ◽  
Vol 211 ◽  
pp. 238-246 ◽  
Author(s):  
I. Andrade ◽  
D. Rosa ◽  
R. Muñoz-Lechuga ◽  
R. Coelho

2021 ◽  
Vol 41 ◽  
pp. 101583
Author(s):  
Zhe Geng ◽  
Yang Wang ◽  
Richard Kindong ◽  
Jiangfeng Zhu ◽  
Xiaojie Dai

2021 ◽  
Vol 322 ◽  
pp. 01009
Author(s):  
Fathur Rochman ◽  
Gussasta Levi Arnenda ◽  
Arief Wujdi ◽  
Roy Kurniawan

Each fish species tends to choose a suitable environment suitable for its survival and reproduction horizontally and vertically. Blue shark (Prionace glauca) is the dominant catch of pelagic sharks by-catch in the Eastern Indian Ocean longline tuna fishery, with about 70% of the total sharks caught in this fisheries. This study aims to provide the information and the vertical analysis distribution of blue sharks based on temperature and depth in the Indian Ocean. The scientific observer collected 2,951 set-by-set longline fishing data based on Research Institute For Tuna Fisheries (RITF) from January 2006 to December 2018, on which the present analysis was made. The mini logger was used to measure the vertical distribution of blue sharks in the longline fisheries. This result indicated that blue shark was caught between 75.18-445.46 m depth, with 84% of which live at thermocline area (70-300 m depth), and 16% lived in underlayer area (>300 m depth). Blue sharks distributed in the underlayer area have a larger body size than those in the thermocline area with a size >180 cmFL compared to 50-170 cmFL in the thermocline area.


2012 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 83-92 ◽  
Author(s):  
N Rabehagasoa ◽  
A Lorrain ◽  
P Bach ◽  
M Potier ◽  
S Jaquemet ◽  
...  

2017 ◽  
Vol 14 (4) ◽  
pp. 371
Author(s):  
Dharmadi Dharmadi ◽  
Suprapto Suprapto ◽  
Agustinus Anung Widodo

Perikanan rawai tuna memiliki kontribusi cukup besar terhadap hasil tangkapan ikan cucut (Requiem shark sp.) di perairan Samudera Hindia. Hasil tangkapan rawai tuna sebagian besar didaratkan di 2 pendaratan ikan utama yaitu Pelabuhan Perikanan Pelabuhan Ratu dan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Kegiatan penelitian untuk mengetahui komposisi dan fluktuasi hasil tangkapan ikan cucut (Requiem shark sp.) dominan pada rawai tuna permukaan berbasis di 2 lokasi pendaratan ikan tersebut dilakukan pada tahun 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan cucut (Requiem shark sp.) pada rawai tuna permukaan didominansi oleh jenis ikan cucut karet atau selendang (Prionace glauca) antara 40 sampai dengan 90%, sedangkan komposisi jenis ikan cucut lain seperti ikan cucut lanjaman (Carcharhinus falciformis dan Carcharhinus sorrah), cucut paitan (Alopias superciliosus), cucut tikusan (Alopias pelagicus), dan cucut mako (Isurus sp.) antara 3 sampai dengan 30%. Hasil tangkapan ikan cucut (Requiem shark sp.) terhadap hasil tangkapan total rawai tuna permukaan antara 5 sampai dengan 25% pada tahun 2004 dari rata-rata 85 unit kapal rawai tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Hasil tangkapan ikan cucut (Requiem shark sp.) tertinggi terjadi pada bulan Juli sampai dengan Agustus. Hasil tangkapan ini berkaitan dengan kondisi cuaca (Requiem shark sp.) pada saat nelayan melakukan penangkapan ikan di laut. Tuna long lines fisheries have more contributed on the catch of shark (Requiem shark sp.) in the Indian Ocean. Most of catch from tuna long lines landed at two main landing sites of tuna long line which operated in the Indian Ocean were Pelabuhan Ratu and Cilacap. This study was conducted at that two landing sites during 2004. The result showed that shark (Requiemshark sp.) catch composition on tuna long line was dominated by blue shark, Prionace glauca (40 to 90%), while other sharks i.e. silky shark (Carcharhinus falciformis), spot tail shark (Carcharhinus sorrah), big eye thresher (Alopias superciliosus), pelagic thresher (Alopias pelagicus), and mako shark (Isurus sp.) between 3 to 30% from the total catch of shark (Requiem shark sp.). Percentage catch of sharks (Requiem shark sp.) againts total catch of tuna surface long line during 2004 was ranging 5 to 25% from everage of 85 unit of tuna long line boat that operated in the Indian Ocean. Catch fluctuation related with the weather conditon when the fishers are fishing activity at sea. The high catch of shark (Requiem shark sp.) was occur on July until August.


2019 ◽  
Vol 4 (3) ◽  
pp. 122-127
Author(s):  
Yuwei Fan ◽  
Zhe Geng ◽  
Jiangfeng Zhu ◽  
Xiaojie Dai ◽  
Kindong Richard

Author(s):  
. Darmawan ◽  
Aditya Setianingtyas ◽  
M. Fedi A. Sondita

<p align="center"><strong><em>ABSTRACT</em></strong><strong><em></em></strong></p><p class="Abstractisi">Catch allocation scheme generally establish based on country’s historic catch data.  Growing membership from coastal states in the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), raise issue about the importance of geographical position in determining a catch allocation criteria.  In 2009, Scientific Committee of IOTC estimated that landings of yellowfin tuna and bigeye tuna had nearly or even exceeded its maximum sustainable yield (MSY).  Therefore, in 2010, IOTC adopted resolution to establish a system and criteria on allocation of catch for yellow fin and bigeye tuna and invited member countries to submit proposal. Indonesia proposes criteria on historic catch, economic dependency toward tuna, coastal state status, bio-ecological significance of the fishing ground, IOTC membership and level of compliance. Japan, which represents the state long-distance fishing, proposes historic catch, sustainable management plan, IOTC membership, level of compliance, financial contribution, contribution to research and data collection, and utilization of allocated quota.Objective of the research is to analyse comparation of both proposals with regards to coastal states’ rights and jurisdiction in accord with UNCLOS 1982 and resource management rights concept in Schlager and Ostrom (1992).  The research used a qualitative approach in which literature and report reviews had been conducted as data collection method, strengthened with depth interviews of resource persons, particularly Indonesia’s delegates and other relevant parties. Data obtained were analyzed descriptively using simulation calculations according to the proposed criteria. Results show that Indonesian proposed criteriaprovide advantages for coastal states, but will be disadvantaged for Japan and other distant fishing countries.  It needs an approach and further deliberation to reach agreement on tuna catch allocation criteria in the IOTC.</p><p class="TubuhTulisanAll"><strong><em>Keywords:</em></strong><strong><em> </em></strong><em>catch allocation criteria, coastal states</em><em>, management rights</em><strong></strong></p><p class="TubuhTulisanAll" align="center"><strong> </strong></p><p class="TubuhTulisanAll" align="center"><strong>ABSTRAK</strong></p><p class="Abstrakisi">Skema alokasi kuota tangkapan seringkali ditentukan berdasarkan catatan sejarah hasil tangkapan armada tiap negara. Meningkatnya keanggotaan <em>Indian Ocean Tuna Commission</em> (IOTC) yang berasal dari negara pantai di Samudera Hindia, menjadikan kriteria alokasi tangkapan berdasarkan posisi geografis menjadi isu yang sangat penting.  Pada tahun 2009, stok tuna sirip kuning (<em>yellowfin</em>) dan tuna mata besar (<em>bigeye</em>) di Samudera Hindia diduga telah mendekati atau bahkan melebihi perkiraan nilai <em>maximum sustainable yield</em> (MSY) nya.  Oleh sebab itu tahun 2010, IOTC mengeluarkan resolusi untuk menyusun sistem dan kriteria alokasi tangkapan dan meminta usulan proposal. Kriteria yang diusulkan Indonesia meliputi sejarah penangkapan, ketergantungan ekonomi terhadap tuna, posisi negara pantai, signifikansi perairan negara, keanggotaan IOTC dan tingkat kepatuhan. Adapun Jepang yang mewakili negara penangkap ikan jarak jauh mengusung kriteria sejarah penangkapan, rencana perikanan berkelanjutan, keanggotaan IOTC, tingkat kepatuhan, kontribusi keuangan, kontribusi pada riset dan pendataan serta tingkat pemanfaatan alokasi kuota. Penelitian ini bertujuan membandingkan kriteria kedua usulan tersebut dari sudut pandang hak-hak negara pantai dalam konvensi hukum laut internasional dan konsep kepemilikan sumber daya ikan (Schlager dan Ostrom 1992). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dimana data dan informasi diperoleh melalui kajian pustaka dan wawancara terhadap ketua atau anggota delegasi Indonesia serta pihak-pihak terkait lainnya. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan simulasi perhitungan sesuai kriteria yang diusulkan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria yang diusulkan Indonesia lebih menguntungkan bagi Indonesia, tetapi membuat Jepang dan negara penangkap ikan jarak jauh sulit untuk menerimanya. Diperlukan pendekatan dan diskusi lebih lanjut untuk mencapai kesepakatan kriteria alokasi tangkapan tuna di IOTC.</p><strong>Kata kunci: </strong>kriteria alokasi tangkapan, negara pantai, hak pengelolaan


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document