Sanjiwani: Jurnal Filsafat
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

68
(FIVE YEARS 68)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

2722-9459, 1978-7006

2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 173
Author(s):  
Mery Ambarnuari ◽  
Hari Harsananda

<p>Kitab suci merupakan jalan untuk mempelajari ajaran dari suatu agama. Agama Hindu memiliki kitab suci yang disebut dengan <em>Veda</em>, <em>Veda</em> disini bukan merujuk pada sebuah kitab, namun <em>Veda</em> terdiri dari banyak kitab yang sudah dikelompokkan atau sudah dikodifikasikan. Munculnya fenomena konflik masyarakat Hindu Bali dengan aliran sampradaya mewajibkan kita untuk menggali kembali sistem filsafat yang ada dalam agama Hindu. Istilah <em>Dvaita</em>, <em>Visistadvaita</em>,  dan <em>Advaita</em>, menjadi istilah-istilah yang dikaji lebih mendalam lagi untuk menganalisis aliran yang sesuai dengan filsafat-filsafat tersebut. <em>Śvetāśvatara Upaniṣad</em> merupakan salah satu kitab suci yang akan dibahas ajarannya dalam tulisan ini. Paham <em>advaita</em> <em>Vedanta</em> menjiwai <em>Upaniṣad</em> ini, segala sesuatu yang ada merupakan Tuhan, sedangkan yang lainnya bersifat <em>maya</em>. Adapun paham panteisme dan monisme yang ada secara bersamaan dalam <em>Śvetāśvatara Upaniṣad</em>. Panteisme berkaitan dengan imanensi sedangkan monisme berkaitan dengan transendensi. Hal ini menunjukkan ajaran dalam <em>Śvetāśvatara Upaniṣad</em> erat kaitannya dengan ajaran-ajaran <em>tattwa</em> dalam teks <em>lontar</em> yang ada di Bali, salah satunya yaitu <em>lontar Tattwa Jnana</em> yang dimana memiliki konsep yang serupa dengan yang ada dalam <em>Śvetāśvatara Upaniṣad</em>. Yoga merupakan sarana untuk memurnikan sang <em>atman</em> agar dapat bersatu kembali dengan <em>brahman</em>.</p><p> </p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 221
Author(s):  
I Ketut Muada

<p>The ritual of ruwatan in Balinese Hindu society basically removes or cleanses oneself from dirt, which is practiced almost the same in general throughout Bali. In ruwatan using wayang kulit media, there are two types of performing arts which contain the function and meaning of ruwatan, such as; puppet show gedog (weak puppet) and puppet show Peteng. The source of the pangruwatan play presented by the puppeteers refers to the ruwatan standard although in practice it changes according to the situation and conditions of the performance itself. The play taken in the wayang gedog is Sudhamala, while in the shadow puppet show at night it is Sapuhleger. Ruwatan or in Java known as murwakala has a broad meaning not only a literary work and pakeliran but its function and philosophy, it turns out that it refers to the micro and macro essence of humans as being creative, intellect and intention. This research specifically reveals problems regarding; the form of the play, the function and meaning of spiritual philosophy, as well as the role of government in relation to ritual rituals. In revealing this, the researchers used qualitative methods, as well as several theories that complement this research.</p><p> </p><p>Ritual<em> ruwatan</em> pada masyarakat Hindu Bali pada dasarnya membuang atau pembersihan diri dari kotoran, yang pelaksanaannya hampir sama pada umumnya diseluruh Bali. Dalam <em>ruwatan</em> dengan media wayang kulit, ada dua jenis seni pertunjukan yang mengandung fungsi dan makna ruwatan seperti; pertunjukan wayang <em>gedog</em> (wayang lemah) dan pertunjukan wayang <em>Peteng.</em>  Sumber lakon <em>pangruwatan</em> yang disajikan oleh para dalang mengacu pada pakem <em>ruwatan</em> walaupun dalam pelaksanaannya berubah menurut situasi dan kondisi pertunjukan itu sendiri. Lakon yang diambil dalam wayang <em>gedog</em> adalah <em>Sudhamala</em> sedangkan, dalam pertunjukan wayang kulit pada malam hari adalah <em>Sapuhleger</em>. <em>Ruwatan</em> atau di Jawa dikenal dengan <em>murwakala </em>mempunyai makna yang luas tidak hanya sebuah karya sastra dan pakeliran akan tetapi fungsi dan filosofinya, ternyata mengacu pada esensi mikro dan makro manusia sebagai insan yang berdaya <em>cipta, budi </em>dan <em>karsa</em>. Penelitian ini khusus mengungkap permasalahan tentang; bentuk lakon, fungsi dan makna filosopi ruatan, serta peranan pemerintah terkait ritual ruatan. Dalam mengungkap hal tersebut peneliti memakai metode kualitatif, serta beberapa teori-teori yang melengkapi penelitian ini.</p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 159
Author(s):  
Ida Bagus Putu Adnyana

<span>Penelitian ini merupakan sebuah diskursus yang mencoba untuk menkgkaji dan menganalisis ketidakseimbangan (<em>disequilibrium</em>) antara citra dan realita etika masyarakat Indonesia berdasarkan pada perspektif filsafat moral dan studi fenomenologi dalam media sosial Instagram. Semula citra bangsa Indonesia merupakan bangsa yang humanis, ramah dan sopan. Namun, seiring kemajuan teknologi membuat masyarakat Indonesia mulai mengesampingkan nilai-nilai luhur moralitas dan etika dalam hidup sehari-hari. Sehingga membuat citra Indonesia kita mengalami perubahan menjadi negara yang tidak sopan berdasarkan hasil laporan dari Microsoft. <em>Disequilibrium</em> citra dan ralita etika masyarakat Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kemajuan teknologi utamanya dalam bidang media sosial. Secara konseptual teknologi bukanlah penyebab dari degradasi moral masyarakat Indonesia akan tetapi teknologi turut menjadi mediator yang menyebabkan masyarakat Indonesia mengesampingkan nilai-nilai luhur moralitas yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan studi fenomenologi dalam mengkaji dan menganalisis fenomena atau peristiwa yang terjadi di lapangan. Studi yang dilakukan adalah pada aktivitas masyarakat Indonesia dalam kehidupan maya di media sosial salah satunya di Instagram. Degradasi moral dan etika yang terjadi pada masyarakat Indoensia merupakan bentuk melemahnya pendidikan dan pengarajan moral dan etika yang diberikan. Sehingga penting bagi masyarakat Indoensia untuk menekankan kembali nilai-nilai luhur filsafat moral yang terdapat dalam sila-sila Pancasila. Agar dapat mengembalikan citra bangsa Indonesia yang humanis, ramah dan sopan. </span>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 233
Author(s):  
Anak Agung Raka Asmariani

<p>Humans are social creatures and in social life and have various complex problems. Various problems that exist are very difficult to be solved. Sometimes it is very difficult for humans to focus themselves to find what is really sought in this life so that a thought arises what is the purpose of humans living in this world? In this study Vedanta philosophy is able to answer this question. This study discusses "Human Goals and the Way to Achieving It According to Advaita Vedanta". This research is a qualitative research Herneutics then the data will be analyzed using descriptive and interpretative methods.</p><p>This study found that the human goal is to achieve happiness, life and alive is a human goal towards a higher goal. In the teachings of Advaita Vedanta it is emphasized that to achieve the highest goal, namely Brahman itself, there are several ways that humans can take, namely: 1). Understanding Life and alive, 2). Understanding Reincarnation is a way to repair bad karma in previous lives in the hope that human goals will be achieved. 3). The four paths to the ultimate goal are: Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga and Raja Yoga.</p><p> </p><p>Manusia adalah mahluk sosial dan dalam kehidupan sosial sudah pasti manusia memiliki berbagai permasalahan yang kompleks. Berbagai permsalahan yang ada sangat sulit untuk diselesaikan oleh sebagian orang bahkan terkadang manusia sangat sulit untuk memfokuskan dirinya untuk mencari sesungguhnya yang dicari dalam kehidupan ini sehingga muncul sebuah pemikiran apakah tujuan manusia hidup di dunia ini? Dalam penelitian ini filsafat Vedanta mampu menjawab pertanyaan ini. Penelitian ini membahas mengenai “Tujuan Manusia Dan Jalan Untuk Mencapainya Menurut Advaita Vedanta”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif Herneutika selanjutnya data akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan interpretatife.</p><p>Penelitian ini menemukan bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan, hidup dan kehidupan itu adalah merupakan sebuah tujuan manusia menuju sebuah tujuan tertinggi. Dalam ajaran <em>Advaita Vedanta</em> ditekankan bahwa untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu Brahman itu sendiri ada beberapa hal jalan yang dapat ditempuh oleh manusia yaitu: 1). Memahami Hidup dan Kehidupan, 2). Memahami Reinkarnasi adalah jalan untuk memperbaiki karma buruk padamasa kehidupanyang terdahulu dengan harapan tujuan manusia akan dapat tercapai. 3). Empat jalan mencapai tujuan tertinggi yaitu: <em>Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga</em> dan <em>Raja Yoga.</em></p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 186
Author(s):  
Ni Wayan Sumertini

<p><em>Yoga is a way to connect oneself to God. The term ‘yoga’ can be found in various sruti and smerti texts. Specifically, yoga is described in Indian philosophy (darsana), otherwise known as the yoga sutras composed by Maharsi Patanjali. Patanjali's teachings emphasize devotion to God (Isvara). Only by Bhakti can Yogis (one who practice the discipline of yoga) attain eternal happiness free from any disease or suffering (klesa). Patanjali systematically compiles the discipline that must be carried out by Yogis, namely by implementing the Astanga Yoga discipline which emphasizes Bhakti to God by reciting the holy script OM as a symbol of God in the form of Nirguna Brahman. This can be achieved through Raja yoga which is divided into two parts. First, bahiranga includes Yama, niyama, Asana, Pranayama and pratyahara. This is called indirect or external help. Second, antaranga includes Dharana, Dhyana and Samadhi, namely direct help from within.</em></p><p><em>Yoga adalah jalan untuk menghubungkan diri kepada Tuhan, kata yoga dapat ditemukan di berbagai teks sruti maupun smerti. Secara spesifik yoga dijelaskan dalam filsafat India (darsana),  atau dikenal dengan yoga sutra yang disusun oleh Maharsi Patanjali. Ajaran Patanjali menekankan tentang Bhakti kepada Tuhan (Isvara). Hanya dengan Bhakti para Yogi (seseorang yang menjalankan disiplin yoga) dapat mencapai kebahagiaan abadi yang tidak terikat dari segala penyakit atau penderitaan (klesa). Patanjali menyusun secara sistematis tentang disiplin yang harus dilakukan oleh para Yogi, yaitu dengan melaksanakan disiplin Astanga Yoga yang di dalamnya menekankan Bhakti kepada Tuhan dengan mengucapkan aksara suci OM sebagai simbol Tuhan dalam wujud Nirguna Brahman. Hal tersebut dapat ditempuh melalui Raja yoga  yang dibagi menjadi dua bagian. Pertama, bahiranga meliputi Yama, niyama, Asana, Pranayama dan pratyahara. Ini disebut pertolongan-pertolongan yang tak langsung atau yang datang dari luar. Kedua, antaranga meliputi Dharana, Dhyana dan Samadhi, yakni pertolongan-pertolongan langsung dari dalam.</em></p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 136
Author(s):  
Putu Eka Sura Adnyana ◽  
Ni Nyoman Suryani

<p align="center"><em>Abstract</em></p><p><em>Indian culture has a lot of influence on the religious and social activities of the Hindu community in the archipelago. One of them is the use of animals in the religious social activities of the Hindu community in the archipelago. The similarity of the concept of Vedic teachings and their implementation in the Land of the Archipelago encouraged the ancestors to fight for Hinduism to be recognized in Indonesia. Recognition of Hinduism begins with Hindu intellectual ideas on the island of Bali with full of twists and turns, the ups and downs of the struggles of the ancestors until Hinduism is recognized as a religion in Indonesia. The syncretism of Vedic teachings and ancestral teachings has occurred for centuries, both from the 5 theories of the entry of Hinduism to Indonesia, from the process of the Indians traveling to the archipelago known as the Bali Yatra, and from the mangjawaken byasa mata process carried out by the king of Kediri, namely Dharma Wangsa. Teguh in the IX century AD. The recognition of Hinduism in Indonesia encouraged Hindu intellectuals at that time to immediately formulate Hindu religious concepts for the life of the nation and state, such as the name of the highest entity, the concept of carrying out daily prayers, holy days, organizations, and so on. etc. This indicates the importance of understanding the Hindu red coat in Indonesia.</em></p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 149
Author(s):  
I Putu Agus Aryatnaya Giri ◽  
Ni Luh Ardini ◽  
Ni Wayan Kertiani

<p>Hubungan erat manusia dengan alam, bukanlah hanya sekedar hubungan biasa. Manusia adalah mikrokosmos dan alam semesta ini adalah makrokosmos. Jika makrokosmos terganggu kelestariannya maka akan berdampak signifikan bagi kelangsungan mikrokosmos pada diri manusia. Sikap setiap manusia terhadap lingkungannya tentunya menjadi bervariasi karena karakter dan kepentingan yang berbeda. Ada manusia yang merasa berkuasa penuh atas planet bumi ini sehingga ia menaklukkan lingkungan dengan membabat hutan, menambang mineral-mineral kekayaan bumi, menebang pohon di hutan, mengarungi lautan dan memanfaatkan energi sumber daya alam yang ada untuk kehidupan. Kesadaran ekologis perlu ditanamkan sejak dini. Anak-anak harus tahu  apa yang akan diperbuat mereka terhadap sekelilingnya. Pendidikan karakter ekologis sejatinya menjadikan siswa/ generasi muda Hindu yang cerdas dan bermartabat. Cerdas karena senantiasa diajarkan tentang lingkungan dan upaya melestarikannya. Bermartabat, karena manusia yang berkarakter ekologis berpandangan jauh kedepan, kearah nasib generasi setelahnya, yang juga berhak mendapat warisan alam yang baik, yang dapat membuat mereka hidup wajar, seperti generasi sebelumnya. Generasi muda yang berkarakter ekologis akan senantiasa memperjuangkan nasib sesamanya, manusia yang ada di sekelilingnya. Selain dipahami oleh siswa, <em>Tri Hita Karana</em> sebagai landasan filosofis dibalik pendidikan karakter ekologis harus pula dipahami dan dipraktekkan secara terintegrasi oleh orang tua dan  para guru  dengan mengembangkan suasana positif di sekolah dan di rumah, serta memberikan motivasi kepada anak-anaknya untuk mencintai lingkungan.</p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 202
Author(s):  
I Gede Suwantana

<p><em>Saivagama is a teaching which refers to Siva as Absolute Reality. Saivagama Nusantara, namely the Saiva teachings that developed in Indonesia, describes Siva with various names and attributes, such as in the Bhuwana Kosa it is called Rudra, Vrhaspati Tattva calls it Ishvara, and various negation names such as sunya, paramasunya, paramasiva and others. Several Saiva Nusantara texts generally discuss the Absolute Reality into three main groups, namely the existence of the Absolute Reality (Siva), the emanation of the Absolute Reality, and the Reabsorption of the Absolute Reality. Existentially Siva is described as Nirguna and Saguna. In principle Siva is characterless. However, when the active principle of Himself brings creation, then Siva is both immanent and transcendent at the same time. While in creation, Siva was shackled by various factors related to the material aspect. Meanwhile, the reabsorption aspect of absolute Reality describes the pralaya aspect, where all elements are returned to their highest aspect. Every being born evolutionarily is directed towards this process of reabsorption.</em></p><p><em><em>Saivagama</em> adalah sebuah ajaran yang menjadikan<em> Siva</em> sebagai Realitas Absolut. Saivagama Nusantara, yakni ajaran Saiva yang berkembang di wilayah Indonesia mendeskripsikan Siva dengan berbagai nama dan sifat, seperti dalam teks Bhuwana Kosa disebut Rudra, Vrhaspati Tattva menyebutnya Ishvara, serta berbagai sebutan negasi seperti sunya, paramasunya, paramasiva dan yang lainnya. Beberapa teks Saiva Nusantara secara umum membahas tentang Realitas Absolut ke dalam tiga gugusan utama, yakni eksistensi Realitas Absolut (Siva), emanasi Realitas Absolut, dan Reabsorpsi Realitas Absolut. Secara eksistensi Siva digambarkan sebagai Nirguna dan Saguna. Secara prinsip Siva tidak bersifat. Namun, ketika prinsip aktif dari diri-Nya menghadirkan ciptaan, maka Siva bersifat immanent maupun transcendent secara bersamaan. Ketika berada di dalam ciptaan, Siva dibelenggu oleh berbagai factor yang berhubunan dengan aspek material. Sementara itu, aspek reabsorpsi Realitas absolut menguraikan tentang aspek pralaya, dimana semua unsur dikembalikan ke aspek tertingginya. Setiap makhluk yang dilahirkan secara evolutif diarahkan menuju proses reabsorpsi ini.</em></p>


2021 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 127
Author(s):  
Gede Agus Siswadi

<p>Membicarakan tentang Tuhan memang tidak akan menemui akhir, karena sesungguhnya bagaimanapun juga manusia mempunyai kecenderungan untuk mengakui adanya yang transenden. Kecenderungan ini, tidak lepas dari berbagai kelemahan yang melekat pada diri manusia. Pertanyaan menarik dari filsafat ketuhanan adalah apakah Tuhan memang ada atau hanya sekadar ilusi atau proyeksi manusia. Artikel ini berupaya untuk menelusuri serta mencatat bukti-bukti terkait dengan adanya Tuhan. Hasil dari tulisan ini adalah (1) argumen ontologis yang menunjukkan Tuhan ada berdasarkan definisi tentang Tuhan, (2) argumen kosmologis yang menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta ini serta gerak alam yang sangat teratur, (3) argumen desain, didasarkan pada Tuhan adalah pendesain yang cerdas, (4) argumen moral dijelaskan bahwa Tuhan merupakan hasil pemikiran yaitu tidak masuk akal adanya perintah moral, kalau tidak Tuhan yang mengatur perintah moral tersebut, (5) argumen teleologis yang didasarkan pada tujuan kebaikan.</p>


2021 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 64
Author(s):  
Putu Eka Sura Adnyana
Keyword(s):  

<p><em>Man is never separated from the desires in the fulfillment of his life. The development of life also affects the form of human desire. The influence of materialism is sometimes human hedonism which is sometimes incompatible with Hindu ethics. But Epicurean Hedonism has a different view to hedonism in general. This paper aims to describe Epikuros's thoughts related to Hedonism. The pleasure-oriented attitude of hedonism is different from Epikuros hedonism that not only seeks material pleasure but also seeks spiritual pleasure. Spiritual pleasure can make man calm and wise, such situations are commonly called anarakxia. The hedonism taught by Epikuros aligns with the teachings on Hindu ethics that not only pursue earthly pleasures but are led to try to control themselves from earthly pleasures in order to achieve the happiness of life.  The benefits of this paper can contribute to the understanding of the intersection between Epicurean thought and Hindu ethical views.</em></p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document