scholarly journals Using Case-Based Reasoning to Support Alternative Dispute Resolution

Author(s):  
Davide Carneiro ◽  
Paulo Novais ◽  
Francisco Andrade ◽  
John Zeleznikow ◽  
José Neves
2014 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
Author(s):  
Waluyadi ,

<p align="center"><strong><em>Abstract</em></strong></p><p><em>The purpose of this reseach is to describe the reality of peace at investigation levels,  then compared to islah according to Islamic law as the reason of criminal removing, to find / to know the relevance. Based on the relevance, it possible become material for the legislators to formulate islah as a model of law enforcement at the level of investigation. This research is the normative research supported by empirical research. The data used was primary and secondary data. Data was collected by means of study documentation and interviews. Data were analyzed quatitatively dan and presented quatitatively. The research showed that the completion of criminal case based on the agreement between perpetrator and victim, along the case have not reached the judge. If the agreement is violated, they agreed to use the formal law. Criminal case which are resolved with peace/islah personalized and value of the loss is relatively small. Islam placing islah as an alternative the completion of criminal matters, along the case have not reached the judge. In the literature and practice, settling disputes with peace  known as Alternative Dispute Resolution (ADR), which is based on Restorative Justice Theory. Al Qur’an has set peace/islah as a model the completion of criminal matters, long before these theories arises.  Peace/ islah in the completion of a criminal case at the level of investigation relevant to satisfy the principle of fast, simple, and inexpensive.</em></p><p><strong><em>Keyword : </em></strong><em>Islah, Islamic Law, Relevance and Investigation</em></p><p align="center"><strong>Abstrak</strong></p><p>Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan realitas perdamaian pada tingkat penyidikan, selanjutnya akan dibandingkan dengan islah menurut hukum Islam sebagai alasan penghapus pidana, untuk diketahui/ ditemukan relevansinya. Berdasarkan relevansi tersebut, dimungkinkan menjadi bahan bagi pembentuk undang-undang  untuk menformulasikan islah sebagai model penegakan hukum pidana pada  tingkat penyidikan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif  yang didukung dengan penelitian  empiris. Data yang digunakan mencakup data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data  dilakukan dengan cara studi dokumentasi dan wawancara. Data dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan penyelesaian perkara pidana dengan perdamaian pada tingkat penyidikan mendasarkan kesepakatan pelaku dan korban. Apabila kesepakatan itu dilanggar, mereka sepakat untuk menggunakan hukum formal. Perkara pidana yang diselesaikan dengan perdamaian/ islah, bersifat personal dan nilai kerugiannya relatif kecil. Islam menempatkan perdamaian/islah sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, sepanjang perkara tersebut belum sampai ke tangan hakim. Dalam literatur dan praktik,  penyelesaian perkara dengan perdamaian disebut <em>Alternative Disput Resolution </em>(ADR) yang mendasarkan pada teori <em>Restorative Justice. Al-Qur’an </em>telah menetapkan Perdamaian/ Islam sebagai model penyelesaian perkara pidana, jauh sebelum teori-teori itu muncul<em>. Perdamaian/ Islah  </em>dalam penyelesaian perkara pidana ditingkat penyidikan, relevan untuk pemenuhan asas cepat, sederhana dan biaya ringan.</p><p><strong>Kata Kunci: </strong>Islah, Hukum Islam, Relevansi dan Penyidikan</p>


2017 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 115
Author(s):  
Cut Memi

ABSTRAKPasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan.Kata kunci: kompetensi absolut, arbitrase, pengadilan. ABSTRACTArticle 3 of Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution states that the district court is unlawful to decide dispute of parties bound by arbitration agreements, but to date, such absolute competence dispute between arbitration tribunal and court of law is still occurring. As an example, as well as the focus of discussion in this analysis is the case between PT B against PT CTPI. This study uses normative legal research methods. Based on Court Decision Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, it was decided that the District Court of Central Jakarta has the authority to adjudicate the case. In fact, this decision is subsequently filed for an extraordinary request for review in the Supreme Court based on Court Decision Number 238 PK/PDT/2014. On the other hand, the case is also arbitrated by Indonesia National Board of Arbitration (BANI) by Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 confirming its authority to adjudicate the same case. The absolute competence dispute between the two parties need to be resolved by determining which party is actually authorized in settling the case. Based on the analysis in this paper, it can be concluded that the case between PT B against PT CTPI is the authority of arbitration tribunal (BANI) to arbitrate, not court of law. Keywords: absolute competence, arbitration tribunal, court of law.


2012 ◽  
Vol 36 (3) ◽  
pp. 789-826 ◽  
Author(s):  
Davide Carneiro ◽  
Paulo Novais ◽  
Francisco Andrade ◽  
John Zeleznikow ◽  
José Neves

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document