scholarly journals The Role of Perceptions for Community-Based Marine Resource Management

2016 ◽  
Vol 3 ◽  
Author(s):  
Katharina Beyerl ◽  
Oliver Putz ◽  
Annette Breckwoldt
2017 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 175
Author(s):  
Ratna Indrawasih

Secara teoritis, praktek pengelolaan sumberdaya laut secara co-management lahir sebagai kritik terhadap pengelolaan yang bersifat sentralistik, seperti yang selama ini dipraktekkan di Indonesia dan community-based management. Kedua praktek pengelolaan sumberdaya laut ini memiliki kelemahan, yang diantaranya disebabkan oleh ketiadaan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat (user group). Praktek co-management sebagai alternatif untuk mendorong terjadinya sinergi antar semua stakeholder terkait dalam pengelolaan sumberdaya laut. Penelitian ini mencoba mempelajari penerapan Co-fish di Kabupaten Lombok Timur- Nusa Tenggara Barat, yaitu pengelolaan sumberdaya laut yang dilakukan dengan pendekatan co-management dengan melibatkan stakeholder terkait. Bagaimana mekanisme dan dampaknya terhadap masyarakat binaannya serta bagaimana kekuatan dan kelemahannya yang didasarkan pada prinsip pendekatan co-management. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Tittle: Co-management of Marine Resource : Lesson Learnt from the Management Model of Co-Fish in Lombok Timur District, Nusa Tenggara Barat Province.Theoritically, the practice of marine resource management was created as a criticied of centralistic management wich being, that was practiced in Indonesia for a long time , and community-based management. Both of these practices of marine resource management have weaknesses, caused by the inexistance of cooperation between government and society (user group). actice of co-management is an alternative option to push a cooperation among all of related stakeholder in marine resourcemanagement. The research to study the implementation of Co-Fish in Lombok Timur District, Province of Nusa Tenggara Barat. Marine resources management was carried out by co-management approach involving related srakeholders. The mechanism and impact of the implementation of Co-fish to the society, and how the strengths and weaknesses of Co-fish based on principal of co-management approach were analsed with qualitative approach.


2018 ◽  
Vol 32 (1) ◽  
pp. 376-405 ◽  
Author(s):  
Joeli Veitayaki ◽  
Esaroma Ledua ◽  
Akosita Nakoro ◽  
Hyun Pyo Hong ◽  
Deukhoon Peter Han ◽  
...  

Kebudayaan ◽  
2018 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 58-70
Author(s):  
Ratna Indrawasih

AbstractNowadays, the existence of local knowledge is facing the challenge and the threat of relegation, even towards extinction. It’s like local knowledge related to marine resource management in Central Maluku and Buton laden with maritime culture. This article discusses what is happening with the local knowledge in Buton, particularly in the Village Wasuemba, District Wabula, related to the management of marine resources, why the need for revitalization of customary institutions. The data used in the writing of this article is part of the research results Establishment of Marine Protected Areas (MPAs) On Coremap program Waterway The Mastered Indigenous Peoples: A Case Study in the village of Wasuemba, Buton, Southeast Sulawesi. Research was done with a qualitative approach. The results showed that the local wisdom in the management of natural resources (marine) under threat of extinction caused by the weakening of the role of traditional institutions. Therefore, need to revitalize traditional institutions in order to reaffirm indigenous marine resource management, thereby building back marine culture are endangered. AbstrakSaat ini eksistensi kearifan lokal sedang menghadapi tantangan dan ancaman degradasi, bahkan menuju kepunahan. Hal itu seperti kearifan lokal terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut yang ada di Maluku Tengah dan Buton yang sarat dengan budaya bahari. Artikel ini mendiskusikan apa yang terjadi dengan kearifan lokal yang ada di Kabupaten Buton, khususnya di Desa Wasuemba, Kecamatan Wabula, terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut, serta mengapa perlunya revitalisasi lembaga adatnya. Data yang digunakan dalam penulisan artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) pada program Coremap di Perairan Yang Dikuasai Adat: Studi Kasus di Desa Wasuemba, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan teknik wawancara mendalam terhadap beberapa orang key informan dan observasi..Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam (laut) mengalami ancaman kepunahan yang disebabkan oleh melemahnya peranan lembaga adat. Oleh karena itu. perlu dilakukan revitalisasi lembaga adat agar dapat menguatkan lagi kearifan lokal pengelolaan sumberdaya laut, sehingga terbangun kembali budaya bahari yang terancam punah tersebut.


Sarsia ◽  
2001 ◽  
Vol 86 (6) ◽  
pp. 405-410 ◽  
Author(s):  
Jarl Giske ◽  
Geir Huse ◽  
Jarle Berntsen

2020 ◽  
Vol 37 (1) ◽  
pp. 59
Author(s):  
Kartika Sari Septanti ◽  
NFN Saptana

<p>Lowland conversion to non-agriculture use improves along with economic growth. Various attempts have been exerted by the government to reduce lowland conversion. Local wisdoms throughout the regions in the country are potential to control lowland conversion. This paper aims to explore the role of local wisdoms in Indonesia and other countries in controlling lowland conversion. Some local wisdoms in Indonesia potentials for lowland conversion control are : tunggu tubang, mundang biniak, oloran sawah, Suku Samin, Buyut Cili, tradisi Ngarot, Kasepuhan Sinar Resmi, Suku Baduy, Subak, Suku Dayak, and pangale hutan. Some measures to take for empowering those local wisdoms, are: (i) incorporating local wisdoms into school education curriculum; (ii) developing a community-based natural resource management system, namely increasing participation of local people in land resource management.</p><p> </p><p>Abstrak</p><p>Konversi lahan sawah ke nonsawah marak terjadi seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan laju konversi lahan sawah ke nonsawah, namun belum menunjukkan hasil yang optimal. Indonesia memiliki kekayaan kearifan lokal yang tersebar di seluruh nusantara yang berpotensi menghambat tingginya laju konversi lahan sawah ke nonsawah. Tulisan ini membahas kearifan lokal di Indonesia serta di beberapa negara yang telah dan akan dikembangkan untuk mempertahankan lahan sawah. Beberapa contoh kearifan lokal di Indonesia antara lain: tunggu tubang, mundang biniak, oloran sawah, Suku Samin, Buyut Cili, tradisi Ngarot, Kasepuhan Sinar Resmi, Suku Baduy, Subak, Suku Dayak, dan pangale hutan. Tantangan kearifan lokal pada masa depan semakin berat karena adanya pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, serta perubahan sosial masyarakat yang mendesak lunturnya nilai-nilai kearifan lokal. Beberapa strategi untuk mempertahankan kearifan lokal dapat dilakukan dengan cara: (1) memasukkan ke dalam kurikulum pendidikan;  (2) mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas, yaitu peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya lahan.</p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document