mori ogai
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

57
(FIVE YEARS 11)

H-INDEX

2
(FIVE YEARS 0)

2021 ◽  
Vol 8 (1) ◽  
pp. 49-72
Author(s):  
Dwi Anggoro Hadiutomo
Keyword(s):  

Penelitian terkait bahasa tidak hanya dapat dilakukan dengan mengambil objek bahasa di masa kini saja. Penelitian dengan objek bahasa di masa lalu juga sangat menarik untuk dilakukan, dan hingga saat ini masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian mengenai kajian penggunaan bahasa Jepang di masa lalu dengan menjadikan dua karya sastra, yakni Seinen yang merupakan karya Mori Ogai dari zaman Meiji dan Rashoumon yang merupakan karya Akutagawa Ryunosuke dari zaman Taisho sebagai sumber data. Kedua sastrawan tersebut merupakan sastrawan terkemuka pada masanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana pola ungkapan dake dan nomi digunakan pada masa lalu. Hasilnya akan sangat berguna untuk mengidentifikasi perkembangannya hingga pemakaiannya saat ini. Penelitian dengan teori linguistik bandingan historis yang dipadukan dengan teori tata bahasa terkini tentang pola ungkapan dake dan nomi seperti ini dapat dilakukan terhadap karya yang dihasilkan oleh masyarakat pengguna bahasa pada masa lalu dalam kurun waktu tertentu. Metode penelitian yang diterapkan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik bagi unsur langsung untuk melihat dengan detail struktur penggunaan kedua pola ungkapan. Analisis penggunaan kedua pola ungkapan dalam kalimat-kalimat di kedua karya sastra tersebut dapat ditemukan dan dipahami bagaimana keduanya digunakan dalam struktur kalimat di masa tersebut. Sebagai hasilnya, kedua karya sastra tersebut lebih banyak menggunakan pola ungkapan dake dan nomi dalam gaya penulisan tidak formal. Kata kunci: dake; karya sastra; nomi; Rashoumon; Seinen    


2021 ◽  
Vol 5 ◽  
pp. 151-160
Author(s):  
David Murra Morales
Keyword(s):  

Este artículo propone analizar “El gran descubrimiento” (大発見), un cuento poco conocido de Mori Ōgai que fue publicado por primera vez en la revista Kokoro no hana en 1909. En él, Ōgai recuenta de forma ficcional algunas de sus experiencias como estudiante de intercambio en Alemania entre 1884 y 1888. El narrador problematiza el término 発見 (hakken) y lo pone en contraste con su equivalente en inglés “discover”, iniciando su relato con una reflexión metalingüística sobre dicho concepto para así proponer que los términos discover e invent son en realidad ambiguos dentro del sistema de pensamiento occidental.   Los contrastes entre Occidente y Japón en la literatura abundan en el período Meiji a raíz de una problemática de individuación vs. asimilación con respecto a las influencias extranjeras. Ōgai deja entrever, tanto en el estilo como en la temática de su relato, una postura política con respecto a este dilema.   Me propongo explorar una nueva lectura a partir de esta reflexión que arroje pistas sobre cómo opera el humor de la narración y cuáles son los valores e ideales que subvierte. Para este propósito compararé la estructura del relato con la forma teatral popular del rakugo y analizaré con más detalle la parodia que hace Ōgai del método científico y del positivismo europeo.


Author(s):  
Wolfgang Schamoni
Keyword(s):  

Author(s):  
Matthew Königsberg
Keyword(s):  

2019 ◽  
Vol 7 (2) ◽  
pp. 99-102
Author(s):  
Ribeka Ota
Keyword(s):  

Novel ini merupakan karya lama, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1911, dengan judul aslinya adalah “Gan”.  Pengarang Mori Ogai (1862 – 1922) adalah salah seorang sastrawan terkemuka pada Era Meiji, yang sering disejajarkan dengan Natsume Soseki, pengarang “Wagahai wa Neko dearu”, “Botchan”, dan lain-lain.  Baik Ogai maupun Soseki adalah tokoh yang sangat besar dalam dunia sastra Jepang klasik modern, karya-karya mereka masih menarik perhatian banyak pembaca sampai hari ini.  Gan” (Angsa Liar) adalah novel serial yang dimuat di majalah sastra “Subaru” dari tahun 1911 – 1913.  Narator cerita ini adalah seorang mahasiswa kedokteran di Universitas Kedokteran.  Ia menceritakan tentang teman kosnya yang bernama Okada, mahasiswa kedokteran yang rupawan dan berperilaku baik, dan seorang wanita muda yang cantik, namanya Otama alias “perempuan di Tanjakan Muenzaka”.  Okada suka jalan-jalan di sekitar kosnya dan hampir setiap hari berjalan melalui Tanjakan Musenzaka.  Di situlah Okada bertemu dengan Otama dan terpesona pada kecantikannya.  Okada belum tahu siapa wanita itu, namun ternyata Otama adalah gundik dari seorang rentenir yang kaya raya.  Otama menjadi gundik demi menyelamatkan ayahnya yang sudah tua dari kemiskinan.  Selama hidup sebagai gundik, Otama yang semula bersifat lugu dan penurut mulai terbuka matanya dan menyadari pentingnya mengukuhkan jati dirinya sebagai seorang perempuan. Dan Otama pun mulai tertarik pada Okada yang sering melewati depan jendelanya…  


2019 ◽  
Vol 51 (1) ◽  
pp. 57-100
Author(s):  
Stefan Keppler-Tasaki ◽  
Seiko Tasaki

Abstract This is a study of the alleged “singular reception career”1 that Goethe experienced in Japan from 1889 to 1989, i. e., from the first translation of the Mignon song to the last issues of the Neo Faust manga series. In its path, we will highlight six areas of discourse which concern the most prominent historical figures resp. figurations involved here: (1) the distinct academic schools of thought aligned with the topic “Goethe in Japan” since Kimura Kinji <styled-content>,</styled-content> (2) the tentative Japanification of Goethe by Thomas Mann and Gottfried Benn, (3) the recognition of the (un-)German classical writer in the circle of the Japanese national author Mori Ōgai <styled-content></styled-content>, as well as Goethe’s rich resonances in (4) Japanese suicide ideals since the early days of Wertherism (Ueruteru-zumu <styled-content></styled-content>), (5) the Zen Buddhist theories of Nishida Kitarō <styled-content></styled-content> and D. T. Suzuki <styled-content></styled-content>, and lastly (6) works of popular culture by Kurosawa Akira <styled-content></styled-content> and Tezuka Osamu <styled-content></styled-content>. Critical appraisal of these source materials supports the thesis that the polite violence and interesting deceits of the discursive history of “Goethe, the Japanese” can mostly be traced back, other than to a form of speech in German-Japanese cultural diplomacy, to internal questions of Japanese national identity.


2019 ◽  
Vol 13 (2) ◽  
pp. 16-20
Author(s):  
Guillaume Fagniez
Keyword(s):  

Ende 1987 widmete die Bayerische Staatsbibliothek München dem berühmten japanischen Schriftsteller Mori Ôgai (1862-1922) eine Austellung, in der neben anderen Zeugnissen seines Lebens auch verschiedene Dokumente seiner zur Zeit seines Aufenthalts in Deutschland ausgebrochenen Kontroverse zwischen ihm und dem deutschen Geologen Edmund Naumann (1854-1927) gezeigt wurden. Unter diesen fand sich die japanische Fassung einer Stellungnahme des Philosophen Karl Löwith zu dieser Kontroverse. In Sendai, wo Löwith seit 1936 an der kaiserlichen Universität unterrichtete, hatte der Kunsthistoriker Daigorô Sawayanogi seinem deutschen Kollegen die zwei gegen Naumann gerichteten Artikel Ôgais vorgelegt. Im Januar 1938 schrieb Löwith an Sawayanogi einen 9-seitigen Text, der seine «Randbemerkungen» zu den Aufsätzen Ôgais zusammenfasste.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document