Millati Journal of Islamic Studies and Humanities
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

52
(FIVE YEARS 23)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Iain Salatiga

2540-9964, 2541-3627

2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 65-80
Author(s):  
M. Zia Al-Ayyubi

Tulisan ini merupakan ulasan pemikiran salah seorang sarjanawan Barat yang bernama Anna M. Gade tentang tilawah. Anna M. Gade sendiri merupakan seorang profesor pada bidang Studi Lingkungan di Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat. Dalam salah satu karyanya, ia spesifik menunjukkan dalam judulnya “The Quran Recitation”, yang berarti tilawah  al-Quran. Ketika disebut tilawah  al-Quran (bacaan  al-Quran), tentu ini terdapat keterkaitan dengan qira’ah al-Quran yang secara bahasa sama-sama menunjukkan arti bacaan  al-Quran. Untuk permasalah tersebut, Gade menjelaskan bahwa tilawah merupakan salah satu bagian dari qira’ah, karena cakupan dari qira’ahyang lebih umum dari pada tilawah. Selain itu, Gade juga menjelaskan tilawah pada sisi pendeskripsian  al-Quran terhadap tilawah, praktik, keindahan, hingga kompetisi tilawah  al-Quran.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 51-64
Author(s):  
Lina Kushidayati ◽  
Moh Rosyid

Manuskrip ini bertujuan untuk mendeskripsikan usaha penulis dalam memberi pemahaman kepada delapan kelompok penghayat kepercayaan di Kabupaten Kudus beserta respon Muslim terhadapnya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif deskriptif mengunakan metode wawancara dan observasi. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstituni No. 97/PUU-XIV/20016 yang menyatakan bahwa penghayat kepercayaan setara dalam hal keagamaan. Sehingga, mereka kemudian mengubah kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka menjadi penghayat kepercayaan. Menggunakan tanda strip (-) pada KTP mereka merupakan salah satu wujud penolakan bagi penghayat kepercayaan Persada dan Samin. Sebaliknya, keenam kelompok penghayat kepercayaan tetap menulis Islam sebagai agama mereka karena menurut mereka, dengan mengubah agama mereka dapat menimbulkan beberapa keresahan meliputi (1) penolakan pada pemakaman umum, (2) perlakuan diskriminatif bagi anak-anak mereka yang mencari pekerjaan, dan (3) kesulitan dalam mencari pasangan hidup, terutama bagi penghayat kepercayaan wanita. Selain itu, keberadaan mereka dianggap sebagai organisasi spiritual yang tidak terkait dengan status keagamaan.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 81-97
Author(s):  
Aida Hayani ◽  
Aris Armeth Daud Al Kahar

Artikel ini membahas ritual katoba di Muna. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap simbol-simbol dalam ritual, serta mengetahui perubahan dinamis yang terjadi dalam tradisi komunitas ritual katoba di Muna. Jenis penlitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik reduksi, tampilan, dan verifikasi data. Teori simbol Victor Turner digunakan untuk menganalisis makna simbolik yang terkandung dalam ritual katoba. Selain itu, teori dinamika perubahan dapat digunakan untuk melihat permasalahan-permasalahan yang muncul dalam ritual katoba di era kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat makna dalam ritual katoba.. Makna tersebut berasal dari artikel simbolik (aspek materialistis dari ritual katoba) dan aksi simbolik (aspek non-objek) di setiap tahapannya. Perubahan dinamis yang terjadi di masyarakat Muna berpengaruh terhadap pelaksanaan ritual katoba. Selain itu, kehadiran lembaga pendidikan formal ternyata mampu menggeser atau menggantikan peran ritual katoba di tengah-tengah masyarakat Muna.


2020 ◽  
Vol 5 (1) ◽  
pp. 34-50
Author(s):  
Siti Mutiah Setiawati

Pada 2 Desember 2018 jutaan Muslim di seluruh negeri berkumpul di Jakarta dan bertemu di jantung ibu kota Indonesia, Monumen Nasional dan sekitarnya (Monas). Ini bukan yang pertama karena setidaknya dua peristiwa serupa yang dikenal sebagai peristiwa 212 dan 411 pernah terjadi sebelumnya, juga di tempat yang sama. Meskipun, pertemuan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh pemimpin agama terkemuka, dari pidato, simbol, dan pesan yang dikirim ke publik, lebih tepat disebut sebagai acara politik yang berdasarkan sentimen keagamaan daripada pertemuan atau ritual keagamaan. Tujuan akhir dari pertemuan tersebut adalah, sangat mungkin, untuk memberikan tekanan politik pada rezim. Dengan demikian, apa yang mereka harapkan bahwa peristiwa politik sebesar itu diliput oleh media massa dan diekspos di seluruh dunia. Sementara itu, media massa telah enggan untuk membuat liputan tersebut. Menanggapi perilaku politik media yang tidak biasa, umat Islam yang mendukung tekanan politik terhadap rezim cenderung mengoptimalkan penggunaan media sosial yang lebih sulit dikendalikan. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena komunikasi politik Indonesia, pola hubungan antara Media, Negara, dan Komunitas Islam, dan juga untuk menjawab mengapa Media Indonesia menjadi perilaku satu sisi sesaat sebelum pemilihan nasional yang populer disebut "demokratis pesta" terjadi . Metode penelitian meliputi penelitian kualitatif, yaitu data primer spesifik yang dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan, kemudian ditafsirkan untuk menemukan generalisasi. Wawancara dengan para ahli dilakukan untuk menganalisis kasus-kasus tertentu.


2019 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 117-136
Author(s):  
Rohmansyah Rohmansyah

When viewed from the aspect of the definition of the jilbāb (long, loose-fit outer garment worn by some Muslim women), the issue of jilbāb is a social-religious problem that is often used as a material for discussion among experts of fiqh (Islamic jurisprudence) and tafsir (exegesis, interpretation), both classic and contemporary. This research focuses on the interpretation of the jilbāb in the Quran Surah al-Aḥzab verse 59 based on the view of al-Tabari. The researcher conducts a critical study of his thoughts by using the library research method and the sociological-historical approach. The findings proved that al-Tabari was a very careful person in interpreting the Quran based on the hadith (the record of the words, actions, and the silent approval of the Islamic prophet Muhammad) and the atsar (the words or actions) of the sahabah (the companions of the prophet). The jilbāb, according to him, was something that covered the head, face, and one of the eyes (the left one). Such interpretation of al-Tabari certainly cannot be separated from the aspects of socio-historical phenomena that occurred in the past where the Abbasid Caliphate’s seizure of territory took place to have implications for human freedom, especially for women. Such a condition of insecurity for a woman that made al-Ṭabari interpreted jilbāb as such in order to protect women. However, if the definition of jilbāb is contextualized today, then it is no longer relevant because the conditions are safe, and women are free to fulfill their needs. Still, a woman must maintain her honor and cover her aurat (intimate parts in Islam), except for something that can be seen which are the palm of the hands, and the face.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document