scholarly journals Sistemas de preparo do solo, plantas de cobertura e produtividade da cultura da mandioca

2008 ◽  
Vol 43 (3) ◽  
pp. 327-332 ◽  
Author(s):  
Auro Akio Otsubo ◽  
Fábio Martins Mercante ◽  
Rogério Ferreira da Silva ◽  
Clovis Daniel Borges

O objetivo deste trabalho foi avaliar os efeitos do uso de plantas de cobertura e de sistemas de preparo do solo, no desenvolvimento e na produtividade da cultura da mandioca (Manihot esculenta Crantz). O trabalho foi conduzido em Argissolo Vermelho, sob sistema convencional de preparo do solo, e em cultivo mínimo sobre palhada de mucuna-cinza (Stizolobium cinereum Piper & Tracy), sorgo granífero [Sorghum bicolor (L.) Moench] e milheto [Pennisetum americanum (L.) K. Schum.]. Aos dezoito meses após o plantio da mandioca, foram avaliados: altura de plantas, produção de massa de matéria seca da parte aérea, número de raízes tuberosas, produtividade, percentagem de matéria seca e de amido nas raízes tuberosas e índice de colheita. Observou-se que o sistema convencional de preparo do solo pode ser substituído, na cultura da mandioca, pela prática do cultivo mínimo, associada ao uso de coberturas vegetais, por promover incrementos significativos na produtividade da cultura, especialmente, quando se utiliza o milheto como planta de cobertura. O uso de plantas de cobertura no pré-cultivo de mandioca, em sistema de preparo mínimo do solo, representa uma alternativa eficiente para um melhor manejo dessa cultura.

2015 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
Author(s):  
C.G.E Sitorus ◽  
Sunyoto Sunyoto ◽  
Muhammad Syamsoel Hadi ◽  
Muhammad Kamal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kerapatan tanaman, perbedaan varietas, dan interaksi antara tingkat kerapatan tanaman dan varietas tanaman sorgum terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaaan BPTP (Balai Pengkajian TeknologiPertanian) Natar, Lampung Selatan, pada bulan Agustus 2014 sampai November 2014. Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok, dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah varietas yang terdiri dari varietas Numbu, Keller dan Wray. Faktor kedua adalah kerapatanan tanaman yang terdiri dari kerapatan satu, sua, tiga, dan empat tanaman per lubang tanam. Petak percobaan pada penelitian ini berukuran 5 m x 4 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan tanaman mempengaruhi komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubi kayu. Varietas tanaman sorgum berpengaruh pada beberapa komponen pertumbuhan tanaman sorgum dan secara nyata mempengaruhi hasil tanaman sorgum. Varietas Numbu memberikan hasil yang terbaik bila dibandingkan dengan Varietas Keller dan Wray. Kombinasi antara varietas dan kerapatan tanaman berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum. Penggunaan Varietas Numbu dengan kerapatan 2 tanaman/ lubang menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding dengan kedua lainnya, dan penggunaan Varietas Keller dengan kerapatan 1 tanaman/ lubang menunjukkan bobot berangkasan tertinggi (410 gram per tamanan) dibandingkan yang lainnya.


2014 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
Author(s):  
Anggita Rahmawati ◽  
Muhammad Muhammad Kamal ◽  
Sunyoto Sunyoto

Sorgum (Sorghum bicolor [L]. Moench) adalah tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Sistem tumpangsari sorgum dan ubi kayu merupakan cara untuk mengoptimalisasi penggunaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditanam secara tumpangsari dan monokultur dengan ubi kayu dan mengetahui pengaruh genotipe pada pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan BPTP Lampung di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian dilaksanakan pada November 2012 sampai April 2013. Dalam penelitian ini adalah lima genotipe sorgum yang digunakan yaitu Batan S3, Batan S12, Keller, Wray dan Numbu. Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas Kasetsat. Perlakuan disusun secara faktorial dengan rancangan petak terbagi dalam rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS) dengan tiga kali ulangan. Data dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah perlakuan dengan uji BNJ pada taraf 5%. Petak utama adalah pola pertanaman sorgum dan anak petak adalah 5 genotipe sorgum. Dengan demikian jumlah petak dalam percobaan adalah 30 petak percobaan. Pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam secara monokultur lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanama secara tumpangsari. Berdasarkan berat biji per malai perbedaan hasil tanaman sorgum pola tanam tumpangsari (30,74 g) dan monokultur (37,26 g) adalah 17,5%. Berdasarkan rata-rata bobot biji per malai dan jumlah biji permalai hasil tanaman sorgum genotipe yang paling baik jika ditanam secara pola pertanaman tumpangsari dan monokultur secara berurutan, yaitu Numbu, Batan S3, Batan S12, Wray dan Keller dengan bobot biji per malai masing-masing genotipe yaitu 58,41 g, 36,04 g, 32,97 g, 21,04 g dan 21,53 g.


2015 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
Author(s):  
Apri Ariyanto ◽  
Muhammad Syamsoel Hadi ◽  
Muhammad Kamal

Tumpangsari tanaman sorgum dengan tanaman ubi kayu merupakan usaha pemanfaatan ruang kosong pada tanaman ubi kayu untuk meningkatkan penggunaan lahan. Persaingan cahaya matahari antartanaman yang ditumpangsarikan merupakan permasalahan dalam sistem ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola intersepsi cahaya matahari tiga varietas sorgum pada tingkat kerapatan tanaman berbeda pada sistem tumpangsari dengan ubi kayu. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Desa Negara Ratu Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dari bulan Agustus sampai November 2014. Percobaan disusun secara faktorial (4x3) dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah kerapatan tanaman (p), dan faktor kedua adalah varietas sorgum (g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kerapatan empat tanaman perlubang tanam memiliki persentase intersepsi cahaya matahari tertinggi, (2) intersepsi cahaya matahari ketiga varietas sorgum menunjukkan pola yang relatif sama pada berbagai umur pengamatan (3) interaksi antara varietas dengan kerapatan tanaman memberikan perbedaan intersepsi cahaya matahari tanaman sorgum pada tumpangsari dengan ubi kayu pada umur 5 dan 7 mst dan (4) persentase intersepsi cahaya matahari tanaman sorgum nyata berkorelasi negatif dengan jumlah biji per malai, bobot biji per malai, bobot biji per m 2, bobot 100 butir, dan bobot brangkasan kering.


2015 ◽  
Vol 3 (3) ◽  
Author(s):  
Anggi Anggrestyas Siwi ◽  
Muhammad Kamal ◽  
Sunyoto Sunyoto

Sorgum merupakan tanaman serealia sumber karbohidrat yang cukup penting bagi penduduk dunia. Alternatif pengembangan sorgum yaitu dengan melakukan pola tanam tumpangsari dan dengan pengaturan kerapatan tanaman. Hasil penelitian Pithaloka (2014) menunjukkan bahwa sorgum yang ditanam monokultur dengan kerapatan tinggi (3-4 tanaman per lubang) menghasilkan produksi biji per satuan luas lahan lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan tanaman (1-2 tanaman per lubang). Tujuan dari penelitan ini adalah (1) Mengetahui tingkat kerapatan tanaman terbaik untuk keragaan daun, pertumbuhan biji dan daya berkecambah benih sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubikayu; (2) Mengetahui pengaruh perbedaan varietas terhadap keragaan daun, pertumbuhan biji dan daya berkecambah benih sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubi kayu; (3) Mengetahui pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap keragaan daun, pertumbuhan biji, dan daya berkecambah benih sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubikayu. Perlakuan disusun secara faktorial (3X4) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kerapatan tanaman terhadap keragaan daun, pertumbuhan biji dan daya berkecambah benih sorgum tergantung pada varietas. Pada kerapatan tanaman rendah (1 dan 2 tanaman per lubang) varietas Numbu memiliki jumlah biji/tanaman tertinggi dibandingkan dengan varietas Keller dan Wray, sementara pada daya berkecambah varietas Wray tertinggi dibandingkan dengan varietas Numbu dan Keller.


1995 ◽  
Vol 22 (1) ◽  
pp. 1 ◽  
Author(s):  
HG Jones ◽  
DO Hall ◽  
JE Corlett ◽  
A Massacci

When field-grown sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) and millet (Pennisetum americanum (L.) Leeke) plants are subjected to drought, the speed of stomatal closure in response to darkness is enhanced in comparison with the speed observed in well-irrigated control plants. This shade-induced closure is most apparent at early stages of desiccation and is not rapidly reversible. These results need to be considered when developing protocols for the measurement of photosynthetic light response curves in the field. The sensitivity to crop water status of this stomatal closure response potentially provides a very valuable means for detection of the early stages of soil drying, and may also provide opportunities for screening different varieties for their adaptation to drought conditions.


2002 ◽  
Vol 31 (3 suppl) ◽  
pp. 1491-1500 ◽  
Author(s):  
João Restle ◽  
Cledson Roso ◽  
Valmir Aita ◽  
José Laerte Nörnberg ◽  
Ivan Luiz Brondani ◽  
...  

Foi avaliado o desempenho de novilhos de corte, durante a fase de recria, em capim-elefante (Pennisetum purpureum Schum.) cv. Taiwan A-146, papuã (Brachiaria plantaginea (Link) Hitchc), sorgo forrageiro (Sorghum bicolor (L.) Moench) cv. AG 2501C e milheto (Pennisetum americanum (L.) Leeke) cv. comum. O período total de pastejo foi de 143 dias para a pastagem de capim-elefante e 98 dias para as demais pastagens. O sistema de pastejo foi o contínuo com lotação variável. O teor de proteína bruta na massa de forragem foi de 5,43; 10,08; 9,95; e 10,58% e a digestibilidade in vitro da matéria seca, de 50,93; 55,85; 54,56; e 54,81% para capim-elefante, papuã, sorgo e milheto, respectivamente. Houve diferença significativa no ganho de peso médio diário, que foi de 0,928; 1,054; 1,121; e 1,188 kg, para o capim-elefante, papuã, sorgo e milheto, respectivamente. Não houve diferença significativa na carga animal entre as pastagens, sendo de 1682, 1634, 1389 e 1514 kg de PV/ha, e no ganho de peso vivo, que foi de 774, 668, 570 e 640 kg de PV/ha para as pastagens de capim-elefante, papuã, sorgo e milheto, respectivamente. A utilização de pastagens cultivadas de verão, manejadas corretamente, permite altos ganhos de peso por animal e por área, constituindo-se em uma excelente alternativa para intensificar a produção de bovinos de corte.


2020 ◽  
Vol 9 (10) ◽  
pp. e069108377
Author(s):  
Alexandra Fabielle Pereira Viana ◽  
Jonatas Cattelam ◽  
Patrícia Machado Martini Cattelam ◽  
John Lenon Klein ◽  
Sander Martinho Adams ◽  
...  

Espécies de pastagem anual de verão são utilizadas no Brasil para fornecer forragem em épocas desfavoráveis e/ou atender categorias mais exigentes. Objetivou-se avaliar os parâmetros produtivos da forragem e o desenvolvimento de novilhos (195,0±13,40 kg; 14±0,19 meses) em pastagens de milheto ou sorgo forrageiro. Os tratamentos consistiram em: Pastagem de sorgo (Sorghum bicolor L. Moench) e Pastagem de milheto (Pennisetum americanum Leeke). O delineamento experimental foi de blocos ao acaso. O período experimental foi de 84 dias, subdivido em três períodos de avaliação. A pastagem de milheto proporcionou maior oferta de lâminas foliares (3,64 vs. 1,98 kg MS/100 kg de peso corporal), porém as demais características não diferiram entre as espécies forrageiras (P>0,05). A evolução de peso e estrutura corporal dos novilhos foi semelhante entre as forrageiras, assim como, a produtividade animal por unidade de área (P>0,05). Os períodos de avaliação influenciaram significativamente a produção vegetal e animal (P<0,05). O avanço no ciclo de utilização das pastagens resultou em piora na estrutura da forragem, com menor oferta de lâminas foliares, surgimento acentuado de espécies espontâneas e redução na produtividade da forragem. Houve evolução de peso e escore corporal com o avanço dos períodos de pastejo, com diferença significativa a cada 28 dias (P<0,05). Sorgo forrageiro e milheto apresentam parâmetros produtivos similares, mostrando-se como boas opções alimentares para novilhos em crescimento. O avanço no ciclo produtivo acarreta modificações na estrutura da pastagem, reduzindo a produtividade por área.  


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document