scholarly journals Hak Asasi Manusia atau Hak Manusiawi?

Jurnal HAM ◽  
2021 ◽  
Vol 12 (3) ◽  
pp. 521
Author(s):  
Carolus Boromeus Kusmaryanto

Terjemahan human rights ke dalam bahasa Indonesia adalah tidak tepat. Ada dua istilah yang saling berkaitan yakni human rights (hak manusiawi) dan fundamental human rights (hak asasi manusia). Sayangnya, dua istilah tersebut itu diterjemahkan persis terbalik.Istilah “Human rights” dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan memakai istilah “fundamental human rights.” Terjemahan yang salah ini berdampak besar pada pemahaman dan penerapan human rights. Artikel ini berusaha untuk mengoreksi kesalahan terjemahan itu dengan menunjukkan perbedaan makna antara hak manusiawi dengan hak asasi manusia. Artikel ini juga memberikan panorama baru bahwa hak asasi manusia itu yang paling fundamental adalah hak hidup. Pelanggaran hak manusiawi itu tidak otomatis menjadi suatu kejahatan apabila pelanggaran hak manusiawi itu dilakukan dengan alasan untuk mempertahankan hak asasi manusia yakni hak hidup. Jadi, dalam bahasa Indonesia, human rights seharusnya diterjemahkan menjadi hak manusiawi dan bukan “hak asasi manusia” sehingga terdapat keselarasan antara terminologi dan maknanya.

2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 69
Author(s):  
Lita Paromita Siregar

<em>In accordance with Law Number 5 of 1999 concerning Competition Law, every corporate action that causes monopoly must be notified to the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) in less than 30 (thirty) days. However, not all entrepreneurs are aware of this provision. As consequence of the delay, entrepreneurs are potentially subject to wide range of sanctions starting from warning letter, fines, to the worst scenario which is the cancellation of the corporate action. Law Number 40 of 2007 concerning Company Law governs that all corporate action including mergers, acquisition and consolidation should be drawn in form of notarial deed and the Notary has an access to report such action to the Minister of Law and Human Rights if necessary. While the entrepreneurs appear before the Notary to make merger, acquisition or consolidation deed, the Notary may advise the entrepreneurs to notify KPPU if such merger is potentially fulfill certain condition under Law No.5 of 1999. However, Notary must also be aware that his role is limited by his responsibility to keep private information disclosed by the party before him. In connection with those conditions, this research provides elaboration on how Notary should take a role in merger action and his limitation in it.</em><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT: </strong>Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha mengatur bahwa dalam hal terjadi aksi korporasi yang menyebabkan monopoli, maka pelaku usaha wajib untuk memberikan pemberitahuan atas peristiwa tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Akan tetapi, tidak semua pelaku usaha memahami ketentuan ini. Oleh sebab itu, pada beberapa kasus pelaku usaha dikenai sanksi yang bervariasi, mulai dari surat teguran, denda dalam jumlah besar, hingga pembatalan<em> </em>aksi korporasi tersebut. Sehubungan dengan kondisi ini, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa setiap aksi korporasi yang meliputi penggabungan, peleburan dan pengambilalihan akuisisi harus dituangkan persetujuannya oleh para pemegang saham dalam suatu akta notariil dan dilaporkan oleh Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia apabila diperlukan. Sehubungan dengan pengaturan tersebut, maka setiap kali para pelaku usaha hadir di hadapan Notaris untuk membuat akta<em> </em>atas aksi korporasi, Notaris dapat mengambil peran untuk mencegah terjadinya keterlambatan pemberitahuan tersebut melalui pemberian penyuluhan kepada para penghadap. Akan tetapi, Notaris juga harus tahu bahwa perannya tersebut juga terbatas pada kewajibannya untuk menjaga informasi dari para pihak yang menghadapnya. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengelaborasi peran Notaris dalam mencegah keterlambatan pemberitahuan tersebut sejauh mana peran yang dapat diambil Notaris sehubungan dengan hal tersebut.</p>


Author(s):  
Herry Wahyudi

<p>The issue of human rights is a problem of great concern in the European Union.  Previous alliances faced problems related to human rights in the areas of geopolitics and geo-economics.  The ECHR (European Convention of Human Rights) is present as a regime carrying out human rights values that were previously influenced by COE (The Convention of Europe) in the European Union. The development of the ECHR as a human rights regime in the European Union is very dependent on the conditions of the EU member states themselves, which were previously fragmented into fascist and communism systems and must be transformed into democratic liberals. Data in this research will be explored through literature method (library research). The process of developing the ECHR as a human rights regime should be analyzed through an international regime approach using the theory of regime-interplay which will examine the ECHR process as  one of the influential human rights regimes in the European Union.</p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstract</strong>: Isu Hak Asasi Manusia adalah masalah yang sangat diperhatikan di Uni Eropa. Aliansi negara-negara Eropa sebelumnya menghadapi masalah yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia yang dihubungkan dengan aspek geo-politik dan geo-ekonomi di kawasan tersebut. ECHR (Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia) hadir sebagai rezim yang menjalankan nilai-nilai HAM yang sebelumnya dipengaruhi oleh COE (Konvensi Eropa) di Uni Eropa. Perkembangan ECHR sebagai rezim hak asasi manusia di Uni Eropa sangat tergantung pada kondisi negara-negara anggota UE sendiri, yang sebelumnya terfragmentasi menjadi sistem fasisme dan komunisme, dan harus ditransformasikan menjadi sistem liberal. Data dalam penelitian ini akan dianalisa melalui metode literatur (studi pustaka). Proses pengembangan ECHR sebagai rezim Hak Asasi Manusia dianalisis melalui pendekatan rezim internasional menggunakan teori <em>regime-interplay</em> yang akan menelaah proses ECHR sebagai salah satu rezim HAM yang berpengaruh di Uni Eropa.</p>


2009 ◽  
Author(s):  
Ramesh Kumar Tiwari
Keyword(s):  

2018 ◽  
Author(s):  
Justine Lacroix ◽  
Jean-Yves Pranchère
Keyword(s):  

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document