Notary Journal
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

10
(FIVE YEARS 10)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Pelita Harapan

2797-0213, 2776-6616

2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 133
Author(s):  
Felicia Darlene

<em>One of the sectors being developed by the Indonesian government is economic growth, which impact on increasing Limited Liability Companies. Provisions that contain procedures for managing a Limited Liability Company are regulated in Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies (UU PT), one of which is the procedure for dismissing members of the Board of Directors. Article 105 of the Company Law stipulates that the dismissal of a member of the Board of Directors is taken after the person concerned is given the opportunity to defend himself. Furthermore, regarding legal protection for the dismissal of members of the Board of Directors who violate the provisions of the Company Law. The Law on Judicial Power regulates the absolute competence of each judiciary. With absolute competence, each judicial body has different jurisdiction to judge. The method used in this study is normative juridical. The results and conclusions of this study are that the dismissal of members of the Board of Directors without any prior self-defense in the GMS is invalid if the members of the Board of Directors object to his dismissal. Legal protection for members of the Board of Directors who are dismissed not in accordance with the provisions of the Company Law is to file a lawsuit to the District Court.<br /><br /></em><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT:</strong><p>Salah satu sektor yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi, yang berdampak pada meningkatnya Perseroan Terbatas. Ketentuan yang memuat tata cara pengurusan Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), salah satunya adalah tata cara pemberhentian anggota Direksi. Dalam Pasal 105 UU PT diatur bahwa keputusan pemberhentian anggota Direksi diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. Selanjutnya mengenai perlindungan hukum atas pemberhentian anggota Direksi yang melanggar ketentuan UU PT. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai kompetensi absolut setiap peradilan. Dengan adanya kompetensi absolut, maka setiap badan peradilan mempunyai yurisdiksi mengadili yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberhentian anggota Direksi dengan tanpa didahului adanya pembelaan diri dalam RUPS adalah tidak sah jika anggota Direksi keberatan atas pemberhentian dirinya. Perlindungan hukum bagi anggota Direksi yang diberhentikan tidak sesuai dengan ketentuan UUPT adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 200
Author(s):  
Astrid Unggul Pawestri

Overlapping and problems arise because of the issuance of the certificate of management rights Number 91/Sungai Selincah in the name of PT Pelindo II.  That HPL certificate overlaps HGB certificates owned by PT RAI, HGB certificate Number 100/Sei Selincah and HGB certificate Number 101/Desa Sei Selincah. BPN issued PT Pelindo II's HPL certificate on January 6, 2012. With the issuance of the HPL certificate of PT Pelindo II, which overlaps HGBs of PT RAI, BPN was unable to extend PT RAI's HGB certificate for those two plots of land previously owned by PT RAI, prompting PT RAI to file a lawsuit in court. The research employs a normative juridical research methodology that includes a statutory analysis, a case study, and a conceptual analysis. Findings of the research show that the issuance of PT Pelindo II's HPL certificate was following applicable regulations (UUPA, UUCK, PP 24/1997, and PP 18/2021), and no provisions were violated. However, PT Pelindo II's HPL Certificate that overlaps the PT RAI's HGB has administrative defects. Regarding the judge's decisions and legal considerations, the District and High Court's was not following the provisions of Article 27 paragraph (1) PP 40/1996, which was still applicable at that time. The Cassation and Judicial Review's decisions in Supreme Court demonstrate the cancellation of the District and High Court's decision due to the judge's negligence in applying the law as specified in the applicable laws and regulations.<p>BAHASA INDONESIA ABSTRACT:</p><p>Terdapatnya tumpang tindih dan permasalahan atas penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 91/Sungai Selincah seluas 23.500 m² milik PT Pelindo II yang mana sertifikat HPL tersebut bersinggungan dan tumpang tindih dengan sertifikat HGB Nomor 100/Sei Selincah dan sertifikat HGB Nomor 101/Desa Sei Selincah milik PT RAI. Atas terbitnya sertifikat HPL PT Pelindo II di atas HGB PT RAI tersebut BPN tidak bisa menerbitkan perpanjangan sertifikat HGB PT RAI atas kedua bidang tanah tersebut yang pada akhirnya mendorong PT RAI untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian mengenai penerbitan HPL atas nama PT Pelindo II yang diterbitkan di atas tanah yang sudah terdapat sertifikat HGB atas nama PT RAI ditinjau dari UUPA, UUCK, PP 24/1997, dan PP 18/2021 menunjukkan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak ada ketentuan yang dilanggar. Namun demikian, penerbitan Sertifikat HPL PT Pelindo II di atas HGB PT RAI tersebut memiliki cacat administratif. Selanjutnya mengenai amar dan pertimbangan hukum hakim dalam putusan Pengadilan Negeri tingkat pertama dan tingkat banding di Pengadilan Tinggi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) PP 40/1996 yang masih berlaku saat itu. Pada putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung menunjukkan adanya pembatalan atas putusan putusan Pengadilan Negeri tingkat pertama dan tingkat banding di Pengadilan Tinggi dikarenakan adanya kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum sebagaimana ketentuan peraturan-perundangan.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 155
Author(s):  
Mayang Sary Br Lubis ◽  
Budiman Ginting ◽  
Tengku Keizrina Devi Anwar ◽  
Detania Sukarja

<p>The transfer of shares in a limited liability company (LLC) is conducted in several ways based on article 57 UU PT, one of which is through inheritance. According to article 57 ayat (2) UU PT, the devolution process does not have to meet requirements contained in article 57 ayat (1) UU PT. In regards to that, this research analyzes the transfer of shares based on the right of inheritance in limited liability companies, considerations and the decisions of judges in the settlement of the Disctrict Court No. 146/PDT/2018/PT BTN regarding the process of the transfer of shares and examines the legal certainty of the heirs who do not receive a portion of the share inheritance. The research method used is normative judical research. This research is analytical juridical. Data collection techniques are carried out through library research conducted with document studies. The data obtained are qualitatively analyzed and concluded deductively. Based on the juridical analysis of the transfer of shares that did not get of the other heirs in the Decision of the District Court No. 146/PDT/ 2018/PT BTN, the panel of judges contended that in the case, the process of transferring share has contained unlawful acts which may result in disadvantage to other heirs, in this case the Notary should provide a good legal counseling to the appearers and pay close attention to the required documents so that will not result in losses to other people in the futures.</p><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT:</strong></p><p>Pengalihan saham pada perseroan terbatas dilakukan dengan beberapa cara dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), salah satunya adalah melalui pewarisan. Sesuai dengan pasal 57 ayat (2) UU PT, proses pewarisan tidaklah harus memenuhi syarat yang ada pada pasal 57 ayat (1) UU PT. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menganalisis mengenai pengalihan saham berdasarkan hak waris pada perseroan terbatas, pertimbangan dan putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 146/PDT/2018/PT BTN berkenaan dengan bagaimana proses pengalihan saham tersebut serta membahas mengenai kepastian hukum terhadap para ahli waris yang tidak mendapatkan bagian terhadap harta warisan berupa saham. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini bersifat yuridis analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui <em>library research</em> yang dilakukan dengan studi dokumen. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif. Berdasarkan analisis yuridis pengalihan saham yang tidak mendapatkan persetujuan para ahli waris lainnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 146/PDT/2018/PT BTN, Majelis Hakim berpendapat bahwa proses pengalihan saham yang ada pada kasus ini mengandung perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian terhadap ahli waris lainnya, seharusnya Notaris pada kasus ini haruslah memberikan penyuluhan hukum yang baik terhadap para penghadap dan memperhatikan dokumen yang diperlukan secara teliti agar tidak menimbulkan kerugian kepada orang lain di kemudian hari.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 182
Author(s):  
Clara Vania Arianto

<p>In a land sale and purchase transaction, if the conditions for making a Sale and Purchase Deed by a Land Deed Official cannot be fulfilled, the parties can make a Commitment of Sale and Purchase Agreement by a Notary as a preliminary agreement to bind the parties. In practice, the making of a Commitment of Sale and Purchase Agreement is often accompanied by Absolute Power of Attorney which cannot be revoked. This Absolute Power of Attorney often creates legal problems because its use is prohibited by the prevailing laws and regulations. The formulation of the problems studied in this research mainly concerns about the regulation of the Notary’s authority in making deeds that use Absolute Power of Attorney in land sale and purchase transactions and the Notary’s responsibility regarding cancellation of a deed due to the use of Absolute Power of Attorney. The research methods used are juridical normative with empirical juridical support. Research results show that Notary is authorized to make a Commitment of Sale and Purchase Agreement accompanied by Absolute Power of Attorney. In addition, the Notary cannot be sued to give a responsibility for the cancellation of the deed. According to the law, making of the deed is valid. This is because the use of Absolute Power of Attorney is not a prohibited act, as long as its use meets the requirements stipulated by statutory regulations and based on legally justifiable reasons.</p><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT:</strong></p><p>Dalam rangka pelaksanaan jual beli tanah, apabila syarat-syarat pembuatan Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah belum dapat dipenuhi, maka biasanya akan dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di hadapan Notaris sebagai perjanjian pendahuluan untuk mengikat para pihak. Pada pembuatan PPJB dengan objek tanah, biasanya terdapat pemberian kuasa yang berisi ketentuan tidak dapat dicabut kembali atau dikenal sebagai kuasa mutlak. Pemberian kuasa mutlak ini sering menimbulkan permasalahan yang berakibat akta menjadi batal demi hukum karena penggunaannya merupakan hal yang dilarang oleh peraturan yang berlaku. Rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini pada pokoknya menyangkut pengaturan tentang kewenangan Notaris dalam pembuatan akta yang menggunakan kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah dan tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibatalkan karena menggunakan kuasa mutlak. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan dukungan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Notaris berwenang untuk membuat PPJB yang disertai dengan pemberian kuasa mutlak. Selain itu, Notaris tidak dapat dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban atas dibatalkannya akta yang dibuatnya. Secara hukum, pembuatan akta tersebut adalah sah. Sebab, pemberian kuasa mutlak bukan merupakan tindakan yang dilarang, sepanjang penggunaannya memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 116
Author(s):  
Novia Gunawan ◽  
Tjempaka Tjempaka

<p>The land was the state's authority to govern the giving and use of land to the people so that the land would be used for the greatest measure of civic prosperity requiring a sure law and protection of the law among peoples. While wisdom regarding land civilty governed by the state exists in reality often does not establish order and certainty of law. For example the case example on ruling Supreme Court number 658 PK/Pdt/2017 in the two hedges of the same land as the different rights, Dirman was using the building rights and John as his property which turned John's property into an object of dispute at the State Enterprises Court. How can legal protection be provided for land buyers who lost their rights through land sale that was once an object of national governance court dispute at the State Enterprises Court? How would the deed of ownership of the deed of the land deed be formed between bacce and Gunadi and Gunadi and John? The authors examine the problem using normative legal methods and use interviews as backup data. Studies reveal that legal protection is obtained if land buyers can prove their rights in court and Land deed deed official only responsible for the purchase papers made between Gunadi and John because they were consciously created that the land was in dispute over the state governance court.</p><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT:</strong></p><p>Tanah merupakan kewenangan Negara untuk mengatur pemberian dan penggunaan tanah kepada masyarakat agar tanah dimanfaatkan bagi pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tuntutan kepastian hukum serta perlindungan hukum antar masyarakat. Meskipun kebijaksanaan mengenai kemanfaatan tanah yang diatur oleh negara ada tetap saja dalam realita sering tidak terjadinya ketertiban dan kepastian hukum. Seperti contoh kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017 yaitu terbitnya dua sertipikat atas tanah yang sama dengan hak yang berbeda, Dirman Pardosi dengan Hak Guna Bangunan dan John dengan Hak Miliknya yang ternyata tanah milik John sedang menjadi objek sengketa di PTUN. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pembeli tanah yang kehilangan hak akibat jual beli atas tanah yang pernah menjadi objek sengketa PTUN? Bagaimana bentuk tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat antara Bacce dengan Gunadi dan Gunadi dengan John Tandiari? Penulis meneliti masalah tersebut dengan menggunakan metode hukum normatif dan menggunakan wawancara sebagai data penunjang. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perlindungan hukum akan didapatkan jika pembeli tanah dapat membuktikan hak mereka di Pengadilan dan PPAT bertanggung jawab hanya pada akta jual beli yang dibuat antara Gunadi dan John karena dibuat secara sadar bahwa tanah sedang dalam sengketa PTUN.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 69
Author(s):  
Lita Paromita Siregar

<em>In accordance with Law Number 5 of 1999 concerning Competition Law, every corporate action that causes monopoly must be notified to the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) in less than 30 (thirty) days. However, not all entrepreneurs are aware of this provision. As consequence of the delay, entrepreneurs are potentially subject to wide range of sanctions starting from warning letter, fines, to the worst scenario which is the cancellation of the corporate action. Law Number 40 of 2007 concerning Company Law governs that all corporate action including mergers, acquisition and consolidation should be drawn in form of notarial deed and the Notary has an access to report such action to the Minister of Law and Human Rights if necessary. While the entrepreneurs appear before the Notary to make merger, acquisition or consolidation deed, the Notary may advise the entrepreneurs to notify KPPU if such merger is potentially fulfill certain condition under Law No.5 of 1999. However, Notary must also be aware that his role is limited by his responsibility to keep private information disclosed by the party before him. In connection with those conditions, this research provides elaboration on how Notary should take a role in merger action and his limitation in it.</em><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT: </strong>Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha mengatur bahwa dalam hal terjadi aksi korporasi yang menyebabkan monopoli, maka pelaku usaha wajib untuk memberikan pemberitahuan atas peristiwa tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Akan tetapi, tidak semua pelaku usaha memahami ketentuan ini. Oleh sebab itu, pada beberapa kasus pelaku usaha dikenai sanksi yang bervariasi, mulai dari surat teguran, denda dalam jumlah besar, hingga pembatalan<em> </em>aksi korporasi tersebut. Sehubungan dengan kondisi ini, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa setiap aksi korporasi yang meliputi penggabungan, peleburan dan pengambilalihan akuisisi harus dituangkan persetujuannya oleh para pemegang saham dalam suatu akta notariil dan dilaporkan oleh Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia apabila diperlukan. Sehubungan dengan pengaturan tersebut, maka setiap kali para pelaku usaha hadir di hadapan Notaris untuk membuat akta<em> </em>atas aksi korporasi, Notaris dapat mengambil peran untuk mencegah terjadinya keterlambatan pemberitahuan tersebut melalui pemberian penyuluhan kepada para penghadap. Akan tetapi, Notaris juga harus tahu bahwa perannya tersebut juga terbatas pada kewajibannya untuk menjaga informasi dari para pihak yang menghadapnya. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengelaborasi peran Notaris dalam mencegah keterlambatan pemberitahuan tersebut sejauh mana peran yang dapat diambil Notaris sehubungan dengan hal tersebut.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 89
Author(s):  
Adisty Citra ◽  
Chandra Silaen

<p><em>The development of the creative industry in Indonesia is a supporting factor for entrepreneurs to increase their working capital in order to develop their business. The increase of capital can be done by applying for a loan from the bank. In accordance with prudential principles in banking, one of the important factors that must be included in credit agreement is collateral. Creative industry players, usually can only provide Intellectual Property Rights (HKI), specifically Copyright, as collateral. Since Copyright is classified as intangible movable object, Copyright can be used as collateral by fiduciary basis. The aim of this research is to review the basis of regulations regarding Copyright as a fiduciary security and its implementation at BTPN. As a normative juridical research, this research is based on the analysis of legal norms, from the Civil Code, Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary, Law Number 28 of 2014 concerning Copyright and any other related regulations. From this research, it can be concluded that further regulations is still required to regulate Copyright as collateral. In addition, an appraisal institution is also needed to ensure that the economic value of Copyright can be used as collateral security with the loan value.<strong></strong></em><strong><em> </em></strong></p><p><strong><em></em></strong><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT: </strong>Perkembangan industri kreatif di Indonesia menjadi faktor pendorong pelaku usaha untuk meningkatkan modal kerja guna mengembangkan usahanya. Peningkatan modal ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan kredit kepada bank. Sesuai dengan prinsip kehati-hatian bank, salah satu faktor penting yang harus ada dalam perjanjian kredit adalah jaminan. Para pelaku industri kreatif biasanya hanya bisa menyerahkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya Hak Cipta, sebagai jaminan. Karena Hak Cipta tergolong benda bergerak tidak berwujud, maka Hak Cipta dapat dijadikan jaminan fidusia. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji landasan peraturan mengenai Hak Cipta sebagai jaminan fidusia dan implementasinya pada bank BTPN. Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini berdasarkan pada analisis norma-norma hukum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta peraturan-peraturan terkait lainnya. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih dibutuhkan adanya peraturan khusus yang mengatur lebih lanjut mengenai Hak Cipta sebagai jaminan kredit. Selain itu, diperlukan pula lembaga <em>appraisal</em>untuk memastikan nilai ekonomi Hak Cipta dapat digunakan sebagai jaminan kredit secara sepadan dengan nilai utangnya.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 19
Author(s):  
Susi Susantijo ◽  
Shinta Pangesti ◽  
Robbyson Halim

<em>In practice, there often occurrs defective procedure when holding a Private Limited Company’s (PLC’s) General Meeting of Shareholders (GMS), which later stated in Deed of the Meeting Resolutions by a Notary. Regarding the defective procedure in GMS, shareholders will surely suffer losses because their rights are violated, especially minority shareholders. Two problems that arise and examined in this study are: How is the legal protection for minority shareholders in a PLC’s GMS? and How is the responsibility of the Notary for making Deed of the Meeting Resolutions from an Extraordinary GMS containing the defective procedures in a PLC? This research is normative legal research. Based on the research conducted, it can be concluded that legal protection for minority shareholders in PLC’s GMS, has been quite well regulated in Laws of the Republic of Indonesia number 40 of 2007 concerning Limited Liability Company. On the other hand, the responsibility of the Notary for making Deed of the Meeting Resolutions from an Extraordinary GMS containing the defective procedures in an LLC is a liability limited to formal truth or formal requirements. Regarding the material truth, it is not the responsibility of the notary but is the responsibility of the legal subject who performed the legal action. Notary in carrying out his position also requires having thoroughness and carefulness in doing any legal action, including making Deed of the Meeting Resolutions.</em><strong><em></em></strong><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT: </strong>Dalam praktek, sering sekali terjadi penyelenggaraan RUPS PT Tertutup yang mengandung cacat prosedur, yang kemudian dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat oleh Notaris. Terhadap adanya penyelenggaraan RUPS yang mengandung cacat prosedur, para pemegang saham pasti akan mengalami kerugian karena hak-hak mereka dilanggar, khususnya para pemegang saham minoritas. Dua rumusan masalah yang timbul dan diteliti dalam penelitian ini adalah: Bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas dalam RUPS PT Tertutup? serta Bagaimana pertanggungjawaban Notaris atas pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat dari penyelenggaraan RUPS Luar Biasa yang mengandung cacat prosedur pada PT Tertutup? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas sehubungan dengan penyelenggaraan RUPS dalam PT Tertutup sudah cukup baik diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Di samping itu, pertanggungjawaban Notaris atas pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat dari penyelenggaraan RUPS Luar Biasa yang mengandung cacat prosedur pada PT Tertutup merupakan pertanggungjawaban sebatas pada syarat formal atau kelengkapan formal. Kebenaran materiil bukan tanggung jawab notaris, melainkan masing-masing subjek hukum yang melakukan. Notaris dalam menjalankan jabatannya juga dituntut memiliki ketelitian dan kehati-hatian dalam melakukan setiap perbuatan hukum, termasuk pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Sherly Meilintan Surya ◽  
Hendy Apriyandi

<em>Indonesia is an archipelago where the tourism sector plays important roles to create jobs and increase economic growth. Derawan Islands, Maratua Island and the small islands around them have beautiful underwater landscape, located in Berau Regency, East Kalimantan. Many buildings established in the form of hotels and resorts located on the seashore are built to protrude into the sea or even use sea space or space above the sea. Hotels and resorts in the Derawan Islands have land rights in the form of Ownership Right and a small portion is Use Right. This research aims to study and analyze the utilization of space above the sea for tourism resort building in Derawan Islands in terms of applicable laws and regulations in Indonesia. This research is a qualitative research with normative juridical methods and uses deductive analysis. From the result of this research, it is concluded that utilization of space for tourism resort building that is located above the sea in Derawan Islands violates article 4 paragraph 1, article 4 paragraph 2 and article 16 paragraph 2 of Basic Agrarian Law. The object of land rights is only land and people can own it where the scope is only ground or earth surface. Tourism resort builidings that do not have location permits and management permits violate article 47 of Maritime Law and might be subject to criminal sanctions according to article 49 of Maritime Law.</em><p><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT: </strong>Indonesia adalah negara kepulauan di mana sektor pariwisata memiliki peranan penting untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kepulauan Derawan, Pulau Maratua dan gugusan-gugusan pulau kecil di sekitarnya memiliki pemandangan bawah laut yang indah yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Bangunan berupa hotel dan <em>resort</em> banyak didirikan di pinggir pantai, kemudian dibangun sampai menjorok ke laut atau bahkan menggunakan ruang laut atau berada di atas laut. Hotel dan <em>resort</em> di Kepulauan Derawan tersebut memiliki hak atas tanah berupa Hak Milik dan sebagian kecil merupakan Hak Pakai. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pemanfaatan ruang di atas laut untuk bangunan <em>resort</em> pariwisata di Kepulauan Derawan dikaitkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Analisis yang digunakan adalah deduktif analitis. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa pemanfaatan ruang di atas laut untuk bangunan <em>resort</em> pariwisata di Kepulauan Derawan tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) UU Pokok Agraria karena yang menjadi objek hak atas tanah adalah hanya tanah darat di mana yang dapat dihaki oleh orang hanya permukaan bumi yang disebut dengan tanah. Bangunan <em>resort</em> pariwisata yang tidak memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan maka melanggar Pasal 47 UU Kelautan serta dapat diberikan sanksi pidana menurut Pasal 49 UU Kelautan.</p>


2021 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 49
Author(s):  
Bella Nova Iskandar

<p><em>Recently, various types of disputes can arise in the community. In resolving these disputes, the disputing parties are given the freedom to choose the dispute resolution forum according to their wishes. Non-court dispute resolution schemes are strengthened by Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Juridically, the mechanism of brand dispute resolution can be done through litigation in the Commercial Court, as well as non-litigation by using an alternative mechanism for dispute resolution, either through arbitration, negotiation, mediation, conciliation, or other ways agreed upon by both parties of the dispute. The final result of the parties' dispute settlement agreement is resolution which is poured into a form of peace treaty made before a Notary. To see the position of the notarial deed in resolving disputes over brand deletions outside court, especially in the dispute over the "X" trademark between PT CPS and the inheritors of HK’s trademark, research is needed on the certainty of the enforceability and power to bind a peace agreement made before a Notary. In this study, the type of research used is normative legal research with law and case approach. From the result of this study, it can be concluded that the peace agreement between the parties was made in the form of a deed of peace before the Notary and binds the parties as a law for the parties and has perfect proof power.</em><strong><em> </em></strong></p><p><strong><em></em></strong><strong>BAHASA INDONESIA ABSTRACT: </strong>Dewasa ini berbagai macam sengketa dapat timbul dalam masyarakat. Dalam menyelesaikan sengketa, para pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa sesuai dengan keinginannya. Skema penyelesaian sengketa di luar pengadilan diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Secara yuridis, mekanisme penyelesaian sengketa merek dapat dilakukan melalui litigasi di Pengadilan Niaga atau non litigasi dengan menggunakan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, baik melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, maupun cara-cara lain yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Hasil akhir dari kesepakatan penyelesaian sengketa para pihak adalah perdamaian yang dituangkan ke dalam bentuk akta perdamaian yang dibuat di hadapan Notaris. Untuk melihat kedudukan akta Notaris dalam penyelesaian sengketa penghapusan merek di luar pengadilan, khususnya dalam sengketa merek “X” antara PT CPS dan ahli waris almarhum HK, diperlukan penelitian mengenai kepastian keberlakuan dan kekuatan mengikat perjanjian perdamaian yang dibuat di hadapan Notaris. Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan kasus. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perdamaian di antara para pihak dibuat dalam bentuk akta perdamaian di hadapan Notaris mengikat para pihak seperti layaknya undang-undang bagi para pihak dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.</p><p> </p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document