Eksistensi hidup dan pelanyanan hamba Tuhan masa kini menghadapi tantangan pluralitas, yaitu fakta adanya perbedaan suku, bangsa, warna kulit dan bahasa. Keragaman itu menjadi kekayaan sekaligus potensi konflik dalam komunitas. Secara internal, telah cukup lama gereja-gereja mengisolasi diri dalam komunitas-komunitas eksklusif dari suku, bangsa, bahasa dan daerahnya masing-masing. Namun dengan semakin mengglobalnya masyarakat dunia, maka tidak dapat dihindari terjadinya percampuran suku dan bangsa dalam gereja. Sebagai contoh, di GKJ Rawamangun tidak hanya orang Jawa yang menjadi jemaat, melainkan juga orang Batak, Timor, Minahasa, dll. Di GKP Majalengka ada pendeta berdarah Minahasa di tengah jemaat yang mayoritas dari suku Batak. Amanat Agung Tuhan Yesus sudah menegaskan bahwa semua orang Kristen bertanggung jawab untuk menjadikan semua suku (bangsa) murid-Nya (Mat 28:19-20). Dalam konteks pluralitas ini, hamba Tuhan dituntut memiliki kemampuan mengidentifikasi aspek-aspek perbedaan yang ada sebagaimana dikemukakan oleh Hesselgrave,“Effectiveness in Christian cross-cultural counseling and helping, as in all cross-cultural counseling, depend upon the ability to correctly identify and interpret universal, group-specific, and idiosyncratic factor which both counselor and counselees bring to the counseling situation”. Keragaman harus dikelola dengan baik agar tercipta kehidupan harmonis dan kondusif bagi pertumbuhan iman yang sehat.