business judgment rule
Recently Published Documents


TOTAL DOCUMENTS

145
(FIVE YEARS 50)

H-INDEX

5
(FIVE YEARS 1)

2021 ◽  
pp. 461-474
Author(s):  
Roderich C. Thümmel

2021 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 1191-1202
Author(s):  
Ghani Satria Hartanto ◽  
Dewi Kania Sugiharti ◽  
Anita Afriana

Proyek besar dalam rangka pembangunan menyebabkan BUMN mengalami kesulitan keuangan, bahkan merugi, input atau keuntungan yang diperoleh dari pembangunan lebih sedikit daripada output atau biaya yang telah digunakan, dalam hal ini direksi bertanggungjawab atas pengelolaan atau pengurusan perusahaan dengan baik mungkin, walaupun dibayang-banyangi oleh berbagai risiko, diantaranya risiko bisnis, maka dari itu direksi perlu melakukan mitigasi risiko agar dapat melaksakan tugas dan fungsinya dengan sebaik mungkin dan memaksimalkan pencapaian maksud dan tujuan pendirian BUMN. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang lebih mengutamakan penelitian kepustakaan. Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif. Tahap penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan penelitian lapangan. Hasil penelitian menyimpulkan kerugian yang dialami oleh BUMN yang melakukan kegiatan infrasturktur adalah sulit untuk dihindari, apalagi dalam konteks perusahaan yang maksud dan tujuan adalah mencari keuntungan dan optimalisasi mitigasi risiko dapat terwujud ketika direksi mengimplementasikan prinsip-prinsip terkait tugas dan fungsi direksi, terutama prinsip fiduciary duty sebagaimana mestinya, dengan begitu sekalipun keputusan yang diambil mengakibatkan kerugian bagi BUMN.


2021 ◽  
Vol 16 (2) ◽  
pp. 192-203
Author(s):  
Nur Rohim Yunus ◽  
Latipah Nasution

Abstract, State assets in the form of shares of business entities are not state assets, but have been transformed into business entity assets. Likewise, government officials who become Directors/Commissioners and other shareholders have an equal position with private shareholders. The Board of Directors in carrying out their duties and authorities has the authority and protection in every business decision making, but this does not escape supervision through the BJR (Business Judgment Rule) principle, as contained in the Limited Liability Company Law. This study uses a qualitative research method with a statutory approach. The purpose of this study is to understand the criteria for state finances in SOEs and the legal consequences of financial losses and supervision of SOEs. The results of the study stated that the implementation of BJR on the Board of Directors of SOEs could be carried out after fulfilling the terms and conditions of the enactment of BJR. BJR can be implemented because a legal entity is actually subject to the Limited Liability Company law. Keywords: Supervision of SOEs ion; Business Judgment Rules; State Finance   Intisari: Kekayaan negara yang berbentuk saham dari badan usaha bukan merupakan kekayaan negara, tetapi telah bertransformasi menjadi kekayaan badan usaha. Demikian terhadap pejabat pemerintah yang menjadi Direksi/Komisaris dan pemegang saham lainnya memiliki kedudukan yang setara dengan pemegang saham swasta. Direksi dalam menjalankan tugas dan wewenang memiliki kewenangan dan perlindungan dalam setiap pengambilan keputusan bisnis, namun ini tak luput dari pengawasan melalui prinsip BJR (Business Judgment Rule), sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan perundang-undangan. Tujuan penelitian untuk dapat memahami kriteria keuangan negara pada BUMN dan akibat hukum kerugian keuangan dan pengawasan pada BUMN. Hasil penelitian menyatakan bahwa implementasi BJR terhadap Direksi BUMN dapat dilakukan setelah memenuhi syarat dan ketentuan berlakunya BJR. BJR dapat diimplementasikan karena badan usaha berbadan hukum sejatinya tunduk pada undang-undang Perseroan Terbatas. Kata Kunci: Pengawasan BUMN; Business Judgment Rule; Kuangan Negara


2021 ◽  
Vol 29 ◽  
pp. 441-458
Author(s):  
Konrad Węgliński

Z dniem 1 lipca 2021 r. katalog spółek handlowych na gruncie prawa polskiego został rozszerzony o nowy typ spółki, jakim jest prosta spółka akcyjna. W założeniu prosta spółka akcyjna ma stanowić nowoczesną formę niepublicznej spółki kapitałowej przeznaczonej w szczególności do realizacji innowacyjnych przedsięwzięć oraz tzw. startupów. Przepisy regulujące funkcjonowanie prostej spółki akcyjnej zawierają nowatorskie rozwiązania na tle dotychczasowych spółek funkcjonujących w polskim prawie, w tym m.in. możliwość swobodnego kształtowania przez akcjonariuszy wewnętrznej organizacji spółki poprzez wybór monistycznego albo dualistycznego systemu organów spółek, a także uregulowanie cywilno-prawnej odpowiedzialności członków organów prostej spółki akcyjnej za szkody wyrządzone spółce zgodnie z zasadą biznesowej oceny sytuacji (ang. business judgment rule). Celem artykułu jest omówienie zasad ponoszenia cywilnoprawnej odpowiedzialności piastunów organów prostej spółki akcyjnej wobec spółki ze szczególnym uwzględnieniem odmienności w stosunku do regulacji dotyczących odpowiedzialności funkcjonariuszy spółki z ograniczoną odpowiedzialnością (art. 293 § 1 k.s.h.) oraz spółki akcyjnej (art. 483 § 1 k.s.h.). W artykule podjęto także próbę oceny najdonioślejszego legislacyjnego novum wprowadzonego do polskiego prawa wraz z wejściem w życie przepisów o prostej spółce akcyjnej, jakim jest unormowanie zasady biznesowej oceny sytuacji w art. 300(125) § 2 k.s.h.


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 72
Author(s):  
Muhammad Akram Syarif Hayyi ◽  
Muhammad Said Karim ◽  
Aminuddin Ilmar

The objective of this study was to hold directors accountable for company losses, the existence of business judgment rule in positive law, and the application of Business Judgment Rule as Legal Protection of the Board of Directors in Corruption Cases. The data obtained was presented analytically descriptively where the facts were described and later analyzed based on the laws and rules applicable in Indonesia as well as the theories. The accountability of the directors of State-Owned Enterprises for the company’s losses could be classified as acts that harm the state’s finances that include administrative, civil, and criminal responsibilities. The existence of business judgment rule doctrine in positive law had been regulated in Article 97 paragraph (5) of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies but had not been regulated technically related to the procedures for its application. The application of the business judgment rule doctrine as the protection of directors of State-Owned Enterprises in corruption cases should be used as material for consideration related to the removal of the defendant’s fault.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 23-33
Author(s):  
Rizky Novian Hartono ◽  
Sriwati ◽  
Wafia Silvi Dhesinta Rini1

Abstract— State-Owned Enterprises that act as an agent of development and business entity for the country are the concrete forms to reach the welfare state goal. Persero, as the example of state-owned enterprises will surely experience advantages and disadvantages due to the dynamic condition of the business world. With the various regulations that regulate state-owned enterprises itself, created a disharmony form of liability to the directors about the business loss. This research aims to identify do the loss of the state-owned enterprises would classified as state financial losses in the perspective of doctrine business judgment rule. This research using statute approach and conceptual approach shows that there is a dualism view about the position of separated-state wealth in the scope of state finances resulting in different interpretations of the meaning of state financial losses by the law enforcers. This dualism view caused a disharmony form of liability that asked to the Directors of Persero when that occur losses because according to the Section 2 and Section 3 Law Number 20 of 2001 jo Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption, the directors would probably asked the liability for the alleged of corruption because causing state financial losses, on the other side according to the Section 97 verse 5 Law number 40 of 2007 concerning Company there is an exception to the directors so they would not be able to be charges. Furthermore, losses that happened in the state-owned enterprises can not only occur as a result of abuse of power but are result of business risks so the directors can be protected by the doctrine of business judgment rule from criminal charge. Keywords: persero state-owned enterprises, state financial losses, business risks, business judgment rule   Abstrak—BUMN sebagai pelaku perekonomian nasional yang memiliki peran ganda yakni sebagai agent of development sekaligus sebagai business entity, merupakan salah satu bentuk konkret perpanjangan tangan negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara yakni memajukan kesejahteraan umum. Layaknya sebuah perusahaan, BUMN Persero sebagai salah satu bentuk BUMN pasti akan mengalami keuntungan maupun kerugian akibat dinamisnya dunia bisnis. Menjadi sebuah problematika ketika kerugian yang dialami oleh BUMN Persero tersebut dihadapkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi BUMN, baik dalam ranah hukum publik maupun dalam ranah hukum privat. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apakah kerugian yang dialami oleh BUMN dapat diklasifikasikan sebagai kerugian keuangan negara dalam perspektif doktrin business judgment rule. Melalui penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode statute approach dan conceptual approach ditemukan bahwa adanya dualisme pandangan kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan dalam lingkup keuangan negara sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran makna kerugian keuangan negara oleh aparat penegak hukum. Dualisme pandangan ini berdampak pada ketidakharmonisan bentuk pertanggungjawaban yang dimintakan kepada Direksi BUMN Persero ketika terjadi kerugian pada tubuh BUMN sebab berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Direksi BUMN Persero dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas dugaan tindak pidana korupsi karena menyebabkan kerugian keuangan negara namun berdasarkan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat pengecualian agar Direksi BUMN tidak dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi. Lebih jauh, kerugian pada BUMN tidak hanya dapat terjadi akibat dari adanya penyalahgunaan wewenang melainkan akibat dari adanya risiko bisnis sehingga doktrin business judgment rule dapat diterapkan untuk memberikan perlindungan bagi direksi dari tuntutan pidana.. Kata kunci : badan usaha milik negara, kerugian keuangan negara, risiko bisnis, business judgment rule


2021 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 1-14
Author(s):  
Robin Panjaitan ◽  
Martono Anggusti ◽  
Roida Nababan

Penelitian ini ditujukan untuk memahami penerapan business judgement rule pada direksi yang menjalankan fungsi pengurusan Perseroan dan Perlindungan Hukum terhadap direksi dalam pengurusan perusahaan melakukan kebijakan yang merugikan perusahaan dikaitkan  pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan penelitian terhadap pendekatan perundang-undangan. Sumber data berdasarkan data primer, sekunder dan tersier yang dianalisis secara yuridis deskriftif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Business Judgement Rule memberikan perlindungan hukum bagi direksi dan pejabat perseroan dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan, selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi tersebut dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, serta dalam lingkup tanggung jawab dan wewenangnya


2021 ◽  
Vol 66 (6) ◽  
pp. 220-227
Author(s):  
Carsten Schirrmacher ◽  
Nicolas Hildebrandt

2021 ◽  
Vol 2020 (3) ◽  
Author(s):  
Stephen M. Bainbridge

In an important recent contribution to the short-termism debate, Professors Michal Barzuza and Eric Talley challenge what they call an “emerging consensus in certain legal, business, and scholarly communities . . . that corporate managers are pressured unduly into chasing short-term gains at the expense of superior long-term prospects.” See Michal Barzuza & Eric Talley, Long-Term Bias, 2020 COLUM. BUS. L. REV. 104. Instead, Barzuza and Talley contend that “corporate managers often fall prey to long-term bias—excessive optimism about their own long-term projects.” This article is an invited comment on Barzuza and Talley’s article. Subject to various quibbles raised herein, I broadly concur with Barzuza and Talley’s argument that corporate directors and officers can be biased towards long-term projects and, accordingly, may reject short-term projects offering higher returns. But what law reforms follow logically from their conclusion, if any? With respect to judicial review, I want to differ with Barzuza and Talley on three points. First, I believe Barzuza and Talley overstate the risk of judicial intervention. Second, they fail adequately to distinguish between directors and managers, even though that distinction is central to the application of Delaware law. Third, I believe their analysis implies that judges should retain the deference to director decisionmaking inherent in doctrines such as the business judgment rule and intermediate review. With respect to encouraging shareholder activism, I argue that the responsibility for policing managerial hyperopia (or myopia, for that matter) should be assigned to the board of directors, not the shareholders. Heterogenous shareholders lack the proper incentives and knowledge to properly police management.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document