Media Dermato Venereologica Indonesiana
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

82
(FIVE YEARS 82)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Perdoski

2656-7482, 0216-0773

2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Azalia Bahat ◽  
Roro Inge Ade

Keloid merupakan respons abnormal terhadap penyembuhan luka. Keloid disebabkan oleh ketidakseimbangan respons transforming growth factor-beta (TGF-β) dan interleukin dalam sintesis dan degradasi kolagen. Pilihan terapi untuk keloid dapat dibagi menjadi metode bedah atau nonbedah. Terapi laser menggunakan pendekatan nonablatif pulsed dye laser (PDL) dan Neodymium-doped Yttrium Aluminum Garnet (Nd:YAG)], ablatif, dan fractional. PDL terbukti mengurangi ukuran skar sebesar 72% tanpa disertai rekurensi bermakna. Sedangkan laser Nd:YAG dapat mereduksi ukuran keloid ±10% dari ukuran sebelumnya dalam waktu empat minggu. Laser CO2 memiliki efek destruktif pada epidermis dan sebagian dermis dengan memanfaatkan energi kalor sehingga terjadi remodeling jaringan.Sementara itu, laser fractional menunjukkan angka kepuasan pasien sebesar 96,7% dan penguranganVancouver scar scale yang signifikan. Terapi laser dapat dipertimbangkan sebagai salah satu modalitas terapikeloid. Terapi ini memiliki unggul dalam mereduksi keloid dalam waktu singkat dengan efek sampingminimal.


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Mimin Oktaviana ◽  
Satya Wydya Yenny ◽  
Yenny Raflis

Melasma merupakan kelainan kulit hipermelanosis dengan penyebab multifaktor. Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk memprediksi prognosis buruk dan potensi kegagalan pengobatan. Indikator tersebut adalah fenotip kulit III-VI, predisposisi genetik, pengobatan melasma jangka panjang ≥2 tahun, riwayat intervensi dan prosedur sebelumnya, diobati oleh ≥2 dokter, pengobatan sendiri dengan steroid jangka panjang, okronosis dan melasma tipe campuran. Dengan diketahuinya prognosis buruk pada pasien maka jenis pengobatan dan edukasi pada pasien dapat ditentukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil indikator prognosis buruk pada pasien melasma di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS dr. M. Djamil Padang selama Januari 2015 hingga Desember 2017. Metode penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap rekam medis pasien dengan mencatat jenis kelamin, jenis melasma dan indikator prognosis buruk. Hasil yang didapatkan dari 59 pasien melasma, 49,17% berusia 24 - <44 tahun, dan 96,61% adalah perempuan. Tipe melasma yang paling sering adalah tipe campuran (42,37%). Indikator prognosis buruk yang terbanyak adalah fenotipe kulit III-VI (100%), diikuti oleh melasma yang diobati oleh ≥2 dokter (76,27%) dan predisposisi genetik (62,71%). Dapat disimpulkan fenotipe III-IV, diobati oleh ≥2 dokter, dan predisposisi genetik adalah indikator untuk prognosis buruk terbesar pada melasma.Kata kunci: indikator prognosis buruk, melasma


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Lidwina Annisa ◽  
Wresti Indriatmi ◽  
Irma Bernadette

Tumor daerah genital jarang dilaporkan. Berbeda dengan tumor lain, tumor daerah genital seringkali menimbulkan masalah untuk fisik, mental dan kesehatan seksual pasiennya. Tumor daerah genital menjadi terlambat didiagnosis karena lesi awal tidak disadari oleh pasien. Selain itu, pasien cenderung tidak mengeluhkan karena perasaan malu. Keterlambatan diagnosis dan tata laksana dapat berakibat cukup fatal yaitu prosedur pengangkatan genitalia parsial ataupun total yang tentunya akan menyebabkan gangguan fungsi. Selain itu, dapat berakibat pada morbiditas fisik, mental dan seksual serta mortalitas, terutama akibat metastasis tumor. Tinjauan pustaka ini akan membahas tumor daerah genital yang bersifat jinak, pra-kanker, dan ganas dengan angka prevalensi cukup tinggi, di antaranya keratosis seboroik, polip fibroepitel, karsinoma sel skuamosa in situ, dan karsinoma sel skuamosa. Pengetahuan mengenai gambaran klinis tumor daerah genital menjadi sangat penting terkait deteksi dan diagnosis dini penyakit. Diharapkan pengenalan dan diagnosis dini tumor daerah genital dapat mencegah morbiditas dan mortalitas akibat keterlambatan diagnosis. Penanganan tumor daerah genital seringkali membutuhkan kerjasama multidisiplin dalam upaya penanganan pasien secara holistik.Kata kunci: metastasis, pra-kanker, tumor genital, tumor jinak, tumor ganas,


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Yulia Eka Suryani ◽  
Sri Lestari ◽  
Ennesta Asri
Keyword(s):  

Xantelasma merupakan bentuk xanthoma kulit yang paling sering ditemui, ditandai dengan plak meninggi atau mendatar, berwarna kekuningan dan umumnya terjadi pada kelopak mata bagian atas (xantelasma palpebrarum). Xantelasma sering menjadi penanda kelainan kolesterol serum dan peningkatan risiko aterosklerosis. Xantelasma biasanya muncul pada 50% pasien dengan hiperlipidemia. Akan tetapi xantelasma juga dapat muncul pada pasien dengan konsentrasi lipid plasma normal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi xantelasma di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr. M. Djamil Padang periode Januari 2013–Desember 2017. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menganalisis rekam medis pasien xantelasma di RSUP dr. M. Djamil Padang periode Januari 2013–Desember 2017. Dari sepuluh pasien xantelasma yang datang berobat, perempuan lebih banyak daripada laki-laki, separuh pasien xantelasma awitan penyakit kurang dari satu tahun dan usia pasien berkisar antara 24-<44 tahun. Dari hasil laboratorium didapatkan hiperlipidemia pada tujuh kasus dan dua pasien dengan keterlibatan penyakit sistemik yaitu diabetes melitus dan hipertensi. Sebagian besar penanganan xantelasma di RSUP dr. M. Djamil dilakukan dengan eksisi.Kata kunci: hiperlipidemia, xantelasma


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Hayra Diah Avianggi ◽  
Intan Nurmawati Putri ◽  
Muslimin ◽  
Retno Indar Widayati
Keyword(s):  

Karsinoma sel basal (KSB) tercatat sebanyak 75% dari semua kanker kulit. Data epidemiologis dunia menunjukkan peningkatan insidensi KSB 3-10% dalam setahun, hal ini diduga berkaitan dengan penipisan lapisan ozon (2% dalam 20 tahun terakhir) dan perubahan gaya hidup. Karsinoma sel basal (KSB) dapat menyebabkan cacat kosmetik maupun cacat fungsional sehingga diperlukan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat. Seorang perempuan 72 tahun, dengan keluhan benjolan yang semakin membesar kemudian menjadi borok di pelipis kiri sejak satu tahun. Riwayat sering terpajan sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ulkus dengan diameter 3 cm dan krusta. Temuan histopatologik menunjukkan sel ganas dengan inti hiperkromatik dan tepi palisade. Penatalaksanaan dengan bedah eksisi, flap rotasi dan skin graft. KSB jarang bermetastasis, namun dapat mendestruksi jaringan di dekatnya. Studi epidemiologi memberikan fakta bahwa patogenesis KSB dapat terjadi melalui efek imunologik dan karsinogenik. Gambaran histopatologik penting untuk menentukan varian KSB. Prognosis quo ad vitam bonam, ad sanam dubia ad bonam, ad kosmetikam dubia ad bonam.Kata kunci: Bedah eksisi, flap rotasi, karsinoma sel basal, skin graft


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Monica Rosalind Kawilarang ◽  
Maria Patricia Dian ◽  
Luh Made Mas

Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Transmisi kusta terjadi akibat kontak erat berkepanjangan antara seseorang yang rentan dengan pasien kusta multibasillar yang belum diterapi. Pada empat sampai 8% kasus, gambaran klinis hanya terdapat keterlibatan saraf, tanpa lesi kulit dengan apusan sayat kulit negatif. Kondisi ini dikenal sebagai kusta neural. Baku emas penegakkan diagnosis adalah biopsi saraf. Ketika biopsi saraf sulit dilakukan, maka penemuan klinis, epidemiologis, dan perubahan elektroneuromiografi dianggap cukup untuk diagnosis kusta neural. Terapi disesuaikan kriteria WHO, dianggap tipe pausibasillar atau multibasillar bergantung saraf yang terkena. Seorang laki-laki, 37 tahun, datang dengan kelemahan pada tangan kanan sejak tiga tahun yang lalu. Delapan tahun yang lalu, pasien sekamar dengan penderita kusta yang belum diterapi. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status dermatologis pada tangan kanan didapatkan claw hand. Pemeriksaan saraf didapatkan penebalan nervus ulnaris dextra, penurunan sensibilitas pada lateral tangan kanan, jari ke-4 dan ke-5. Pemeriksaan voluntary muscle test didapatkan kelemahan otot yang dipersarafi oleh nervus ulnaris dextra. Pemeriksaan monofilamen Semmes-Weinstein didapatkan warna ungu pada dorsum dan plantar manus dextra bagian lateral. Apusan sayat kulit dari kedua telinga, siku dan lutut tidak didapatkan basil tahan asam. Pemeriksaan elektroneuromiografi menunjukan neuropati tipe campuran pada nervus ulnaris kanan. Pasien didiagnosis sebagai kusta neural dengan cacat kusta tingkat 2 dan mendapat terapi multi-drug treatment untuk tipe pausibasillar.Kata kunci: kusta, kusta neural, neuropati nervus ulnaris


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Eva Krishna Sutedja ◽  
Putri Reno Sori ◽  
Dina Fatmasari ◽  
Vina Feriza
Keyword(s):  

Dermatofibroma merupakan tumor jinak dengan predileksi pada tungkai bawah. Lesi dapat berupa papul atau nodul, soliter atau multipel, dan berwarna merah muda hingga kecoklatan. Dermatofibroma biasanya asimtomatis, meskipun beberapa lesi mungkin terasa gatal atau nyeri. Kelainan kulit ini terutama dibentuk oleh kolagen dan fibroblas yang tersusun tidak teratur. Dermatofibroma asimtomatis tidak memerlukan terapi. Namun, pada kasus simtomatis dan lesi yang sering mengalami trauma diperlukan terapi. Salah satu terapi dermatofibroma berupa injeksi steroid intralesi. Dilaporkan sebuah kasus dermatofibroma pada seorang laki-laki usia 39 tahun dengan keluhan kulit berupa nodul eritematosa yang kadang terasa gatal. Pemeriksaan dermoskopi, menunjukkan gambaran peripheral pigment network dan central white area, serta pemeriksaan histopatologis mendukung diagnosis dermatofibroma. Pasien diterapi dengan injeksi triamsinolon asetonid (TA) 10 mg/ml intralesi, perbaikan klinis mulai tampak satu minggu setelah terapi berupa lesi kulit menjadi lebih kecil dan hilangnya gatal. Setelah 7 minggu terapi, lesi kulit menjadi rata dan meninggalkan bercak hiperpigmentasi. Dermatofibroma simtomatis yang diterapi dengan injeksi TA intralesi memberikan hasil yang baik.Kata kunci: dermatofibroma, injeksi intralesi, kortikosteroid, triamsinolon asetonid


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Indira Dharmasamitha ◽  
Made Swastika Adiguna

Vitiligo adalah gangguan pigmentasi didapat yang ditandai dengan lesi putih yang tidak berpigmen pada kulit dan rambut karena kehilangan fungsi melanosit. Sekitar 50% pasien vitiligo menunjukkan awitan sebelum usia 18 tahun, sehingga seringkali menimbulkan masalah di bidang pediatrik, baik dalam diagnosis maupun tata laksana. Penegakan diagnosis vitiligo umumnya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, namun dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis ataupun mencari penyakit komorbiditas. Fototerapi diberikan hanya pada pasien anak dengan vitiligo yang tetap stabil dan tidak responsif terhadap terapi topikal. Terdapat beberapa perbedaan dalam hal indikasi dan dosis yang diberikan pada fototerapi anak dan dewasa. Perkembangan dan temperamen/perilaku anak harus dinilai termasuk mempertimbangkan kecemasan, ketakutan terhadap ruangan tertutup, dan kemampuan untuk tetap diam selama perawatan, sehingga penatalaksanaannya perlu perhatian khusus. Rata-rata pemberian fototerapi pada anak dapat sampai 12-24 bulan. Oleh sebab itu efek samping pemberian fototerapi jangka panjang penting disampaikan kepada orang tua.Kata kunci: anak, fototerapi, vitiligo


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Hasri Dewi Made ◽  
Wardhana Made ◽  
Sanjiwani Prima

Pemfigus termasuk ke dalam kelompok penyakit autoimun, yang ditandai oleh bula mukokutaneus yang menyerang keratinosit antigen sebagai target dari autoantibodi, yang menyebabkan terjadinya akantolitik dan pembentukan bula. Tanpa penanganan yang tepat kondisi ini dapat menjadi fatal karena hilangnya fungsi barier epidermis, menyebabkan kehilangan cairan dan terjadinya infeksi sekunder. Seorang pasien laki-laki usia 58 tahun, dengan keluhan utama luka pada seluruh tubuh dan berbau tidak sedap, terdapat riwayat sariawan 2 bulan sebelumnya. Pada pemeriksaan dermatologi, di seluruh tubuh didapatkan makula hiperpigmentasi dan erosi multipel,ditutupi krusta coklat kehitaman. Di sakrum, didapatkan ulkus soliter, dasar kotor, ditutupi dengan jaringan nekrotik. Pemeriksaan kultur dasar luka didapatkan Providentia stuartii, dari hasil subkultur terisolasi Staphylococcus aureus yang merupakan kuman methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA). Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran akantolitik yang menyisakan sel-sel basal epidermis kemungkinan bula suprabasal (mengarah pada gambaran pemfigus vulgaris). Diagnosis pada kasus ini pemfigus vulgaris yang disertai dengan infeksi MRSA. Terapi yang diberikan antibiotik sistemik, steroid, perawatan luka dan terapi suportif lainnya.Kata kunci: MRSA, pemfigus vulgaris, steroid


2019 ◽  
Vol 46 (4) ◽  
Author(s):  
Windy Keumala Budianti ◽  
Shafira Anindya ◽  
Arlha Aporia Debinta ◽  
Endi Novianto ◽  
Eyleny Meisyah Fitri ◽  
...  

Psoriasis merupakan peradangan kulit kronik dengan dasar genetik. Untuk mencapai remisi dan kualitas hidup yang baik, pilihan terapi disesuaikan dengan kebutuhan perorangan pasien. Tipe dan derajat keparahan psoriasis perlu ditentukan guna memilih tata laksana yang sesuai karena memengaruhi keberhasilan terapi, masa remisi, serta tingkat morbiditas. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian tata laksana psoriasis berdasarkan derajat keparahan dengan menggunakan Panduan Praktik Klinis (PPK) RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Studi retrospektif ini mengambil subjek seluruh pasien baru psoriasis di Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM periode Oktober 2017 – Oktober 2018. Keparahan psoriasis dinilai dengan skor body surface area (BSA) dan psoriasis area severity index (PASI). Sebanyak 32 di antara 35 pasien (91,4%), skor BSA dan/atau PASI terdokumentasi pada rekam medis, dan 30 di antara 32 pasien (93,8%), mendapatkan pilihan terapi sesuai dengan tipe psoriasis atau skor BSA dan/atau PASI. Kepatuhan pasien sangat penting sehingga pemilihan tata laksana psoriasis perlu mempertimbangkan kenyamanan pasien terkait efek samping pengobatan, kemudahan pasien untuk mengakses fasilitas, dan aspek ekonomi. Kesesuaian terapi tidak mencapai 100% karena kontraindikasi pemberian terapi standar, penolakan pasien, dan ketidaktersediaan obat misalnya metotreksat. Sebanyak 93,8% pasien psoriasis di RSCM telah ditata laksana sesuai dengan PPK RSCM dan PERDOSKI.Kata Kunci: BSA, PASI, psoriasis, tata laksana


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document