Jurnal Sentris
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

81
(FIVE YEARS 81)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 1)

Published By LPPM UNPAR

0216-5031

2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 132-151
Author(s):  
Arrizal Anugerah Jaknanihan ◽  
Muhammad Anugrah Utama ◽  
Felice Valeria Thessalonica

Diskursus dalam isu migrasi di Asia Tenggara umumnya didominasi oleh perspektif keamanan. Involuntary migration, baik pengungsi maupun pencari suaka, kerap dipandang sebagai ancaman keamanan dan ekonomi negara penerima, terutama sejak Krisis Pengungsi Asia Tenggara pada 2015. Meskipun demikian, beberapa negara seperti Indonesia, Thailand, dan Malaysia cenderung bersikap akomodatif terhadap pengungsi. Kondisi tersebut kontras mengingat di Asia Tenggara, hanya Kamboja, Timor Leste, dan Filipina yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Tulisan ini berupaya untuk menganalisis upaya penanganan pengungsi tersebut sebagai fenomena ‘diplomasi migrasi,’ yaitu utilisasi kebijakan migrasi negara untuk memenuhi tujuan diplomasi serta diplomasi masyarakat sipil untuk memengaruhi kebijakan negara. Cakupan riset ini ialah analisis di tingkat kawasan (Asia Tenggara) yang berfokus pada dua aktor yaitu negara-negara anggota ASEAN dengan aktor-aktor non-negara, khususnya masyarakat sipil. Melalui kerangka teori Diplomasi Migrasi dan Multi-Track Diplomacy, tulisan ini berargumen bahwa terdapat upaya diplomasi migrasi di Asia Tenggara yang dilangsungkan melalui dua jalur utama, yaitu secara formal melalui negara dan informal melalui masyarakat sipil yang memengaruhi negara. Diplomasi migrasi dilakukan secara berkesinambungan melalui interaksi antara dua aktor tersebut. Selain untuk membentuk citra baik, kebijakan pengungsi juga turut meningkatkan posisi tawar negara untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik lainnya. Pada bagian akhir, tulisan ini merekomendasikan kebijakan yang lebih akomodatif dengan memberi sokongan kepada organisasi internasional dan kelompok masyarakat sipil yang melakukan penanganan terhadap pengungsi secara lebih otonom. Kata kunci: Pengungsi, Rohingya, Diplomasi Migrasi, Asia Tenggara, Masyarakat Sipil


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 121-131
Author(s):  
Rifqi Ananta Haidar ◽  
Fenti Agustina

Pandemi covid-19 telah mengagetkan seluruh dunia dan berdampak pada banyak sektor di negara-negara salah satunya sektor pendidikan. Proses belajar siswa telah berubah dari pembelajaran tradisional menjadi proses pembelajaran berbasis online. Di Indonesia telah dilaksanakan sejak 16 Maret 2020. Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat untuk memastikan proses pembelajaran siswa tetap berjalan, terutama dalam hal kesiapan sistem pendidikan dalam mengadaptasi budaya online. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mendalami implementasi sistem pendidikan di Indonesia pada masa pandemi covid-19 serta memahami peran media digital dalam sistem pendidikan di era pandemi. Tulisan ini menggunakan pendekatan yang mengumpulkan data berbasis dokumen dan berbasis internet dan dianalisis menggunakan perspektif dan teori Hubungan Internasional. Ditemukan bahwa, Indonesia memiliki banyak tantangan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran online. Namun demikian, negara ini terus meningkatkan kualitas sistem pendidikannya. Kata Kunci: Indonesia; Pendidikan; Covid-19; Pembelajaran daring.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 152-165
Author(s):  
Dovana Hasiana ◽  
Triani Safira ◽  
Laode Muhamad Fathun
Keyword(s):  

Pandemi telah mengubah tatanan hubungan internasional. Di antara semua perubahan yang terjadi pada pandemi, perubahan lingkungan merupakan salah satu perubahan yang disoroti oleh para aktor hubungan internasional. Perubahan lingkungan di masa pandemi menjadi semakin kompleks seiring dengan bertambahnya jumlah limbah medis yang tidak diikuti dengan fasilitas yang memadai untuk mengelolanya. Tulisan ini berupaya untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kompleksnya pengelolaan limbah medis dan upaya reformasi pengelolaan limbah medis di Indonesia pada masa pandemi COVID-19. Apabila dianalisis dengan kerangka teori, penulis menemukan bahwa akar permasalahan dari pengelolaan limbah medis adalah pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan Ancillary dan Top-Down, yang terlihat dengan adanya standarisasi pengelolaan limbah medis, yang pada akhirnya membuat kebijakan lingkungan hidup menjadi lebih sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, pembenahan pengelolaan limbah medis harus dilakukan dengan pendekatan holistik, dimana isu lingkungan dipandang sebagai komponen strategis dan diperlukannya kolaborasi oleh lima pemangku kepentingan yaitu pemerintah, lembaga, akademisi, industri dan masyarakat berdasarkan kerangka Penta-Helix.  


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 192-213
Author(s):  
Asinauli Tamba

In July 2016, South Korea agreed with its military alliance, the United States to install Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) on its territory. This agreement is the embodiment of the interests of the two countries that were integrated. The United States's interests in spreading influence in the East Asian region and South Korea's interests in protecting the country from North Korea's nuclear test practices on the Korean Peninsula. But the THAAD installation was rejected by China, which considers the instrument as the trigger of tensions in the region and hampering China’s dominance. In expressing its disapproval, China imposed economic sanctions by boycott on South Korean-owned cultural industrial products, namely hallyu. In October 2017, South Korea approved China's request to change its THAAD policy through points listed in the Three NOs. The significant changes in South Korean foreign policy are questionable in this study. This study uses the theory of neorealism as a logical thinking and suggests that hallyu as the main reason for the political maneuvering chosen by South Korea as a boycott of China as the main market share of the hallyu has crippled the South Korean economy. South Korea chose a bandwagoning strategy in the midst of threats in order to be able to maintain the production and distribution of cultural products which are currently the main source of foreign exchange for the country. This research uses qualitative research methods with data collection by literature study.   Keywords: South Korea, China, United States, THAAD, Boycott, Cultural Industry, Hallyu.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 166-176
Author(s):  
Adzraa Andira

Various patterns have emerged as a result of globalization when it comes to controlling the kind of threats that a country may face, particularly non-traditional ones. One of them is terrorism, which occurences concentrated in specific places of the world, with North and Sub-Saharan Africa dominating for a variety of reasons. While there are other operational areas contested by various terrorist groups, the Sahel is one of the most well-known, with Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM) being one of the most infamous terrorist groups. Legacies of weak and corrupt governments and institutions, unenforced border security, historical disadvantages, and crippled economies may serve as catalysts for such groups' growing influence, but this paper would argue that the use of sectarianism as a tool of identity mobilization is one of the reasons for AQIM's prevalence as a terrorist group. 


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 177-191
Author(s):  
Muhammad Naufal Hanif ◽  
Ignatius Satria Wibisono ◽  
Dedi Yusuf ◽  
Muhammad Valdy Akbar Zam ◽  
Nigel Januar Hartono

Bangkitnya nasionalisme Inggirs telah dicatat dan diteliti secara baik sejak dekade 1990an, terlebih pasca-hasil Brexit, dengan catatan mengenai identitas Inggris yang mengambil bentuk ketidakamanan finansial, nostalgia atas masa lalu imperial, xenofobia, dan anti-elitisme. Pada waktu yang sama, kekerasan berbasis kebencian terhadap komunitas Muslim di berbagai kawasan Inggris juga telah diarsipkan dan dikaji dengan baik, dengan penjelasan mengenai motif pelaku mengarah pada penemuan individu-individu yang terperangkap dalam ketidakpercayaan mendalam terhadap non-Inggris dan ketakutan akan kehilangan identitasnya sebagai orang Inggris. Meskipun kedua fenomena ini memiliki fitur-fitur yang sangat mirip, jarang ditemukan penjelasan yang mengarah pada usaha untuk menghubungkan kedua fenomena kontemporer di lanskap identitas politik Inggris ini. Menggunakan contoh English Defence League yang sangat kontroversial serta pemimpinnya Tommy Robinson pada puncak aktivitas mereka di akhir dekade pertama abad ke-21, kami menemukan bahwa terdapat setidaknya korelasi kuat antara kedua fenomena dan kemungkinan nasionalisme Inggris sebagai salah satu penyebab penting yang secara langsung mengarah kepada kejadian-kejadian kejahatan berbasis kebencian untuk kaum minoritas di Inggris.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 1-20
Author(s):  
Alfin Febrian Basundoro ◽  
Lazarus Andja Karunia

COVID-19 yang melanda dunia hampir setahun terakhir mengakibatkan krisis yang masif di berbagai negara. Hingga Oktober 2020, WHO mencatat lebih dari 37 juta orang terkonfirmasi positif COVID-19 dengan lebih dari 11 juta kasus aktif.[1] Tidak hanya sektor kesehatan masyarakat, pandemi ini juga menghancurkan sektor strategis lainnya, seperti ekonomi dan sosial-politik. Negara-negara di dunia dipaksa untuk melakukan serangkaian pembentukan kebijakan yang dapat seefektif mungkin mengurangi dampak pandemi terhadap warga negaranya, sekaligus mengatasi aneka permasalahan yang mengikuti pandemi tersebut dalam aneka sektor.[2] Makalah ini berusaha menganalisis secara komparatif dua negara berkembang yang mengalami dampak pandemi COVID-19 yang cukup signifikan, yakni Pakistan dan Indonesia. Sejumlah kemiripan kedua negara, seperti masifnya jumlah penduduk, kolaborasi sipil-militer yang cukup signifikan, penerapan kunci sementara (lockdown) parsial, dan penerapan sejumlah kebijakan lain yang bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi nasional menjadi pertimbangan pemilihan topik ini. Sekuritisasi yang dilakukan oleh kedua negara sebagai upaya untuk memposisikan pandemi COVID-19 sebagai isu keamanan nontradisional yang pelik juga menjadi sorotan global terkait bagaimana negara berkembang mengatasi pandemi, dan karenanya, menarik untuk dianalisis. Copenhagen School akan menjadi konsep dasar dalam menganalisis sekuritisasi kedua negara secara komparatif, menekankan pada tahapan-tahapan sekuritisasi.[3] Nantinya, penelitian ini akan membandingkan seberapa efektif tindakan sekuritisasi yang dilakukan oleh kedua negara dalam mengimplementasikan kebijakan penanganan pandemi COVID-19. Tidak hanya itu, penelitian ini juga mencakup apa saja faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sekuritisasi kedua negara. Orientasi penelitian akan cukup banyak berkutat pada hubungan sipil-militer kedua negara dan relasinya dalam desekuritisasi, juga sedikit menyentuh isu demokratisasi penanganan COVID-19.[1] World Health Organization, “WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard,” 7 Oktober 2020, https://covid19.who.int.[2] Alex Woodward, “5.4m Americans Lost Health Insurance during Coronavirus Pandemic,” The Independent, 14 Juli 2020, diakses pada 7 Oktober 2020,https://www.independent.co.uk/news/world/americas/coronavirus-health-insurance-pandemic-families-usa-report-a9617226.html.[3] Holger Stritzel, “Securitization Theory and the Copenhagen School,” dalam Security in Translation: Securitization Theory and the Localization of Threat, ed. oleh Holger Stritzel, New Security Challenges Series (London: Palgrave Macmillan UK, 2014), 11–37, https://doi.org/10.1057/9781137307576_2.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 87-103
Author(s):  
Yasmin Nur Habibah ◽  
Januar Aditya Pratama ◽  
Mesagus Muhammad Iqbal

ABSTRAK             Dorongan global terkait LGBTQ+ masih menghadapi banyak tantangan, terutama di kawasan-kawasan timur, tak terkecuali di Asia Tenggara. Kebanyakan hukum nasional mengidentifikasi penganut LGBTQ+ sebagai gangguan kejiwaan yang pantas diberi hukuman-hukuman tertentu. Fenomena ini tentu berdampak pada bagaimana masyarakat menerima kaum ini secara sosial. Menurut penelitian yang dilakukan Pew Research Center, penerimaan publik terkait gerakan LGBTQ+ telah meningkat sejak tahun 2002, bahkan di negara-negara yang dapat disebut cukup konservatif, tak terkecuali Thailand. Budaya yang menjadi aset industri, yaitu ladyboy atau wanita-pria (waria), pun menjadi indikasi penerimaan Thailand terhadap gerakan LGBTQ+. Kini, sejak tahun 2018, industri perfilman Thailand bertemakan Boys’ Love (BL) mendapatkan banyak dukungan dari para pencinta film dan drama, khususnya di negara-negara ASEAN. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai perkembangan budaya BL di Thailand, yang kemudian berpotensi memunculkan dampak terhadap penerimaan publik negara-negara anggota ASEAN terkait isu LGBTQ+. Berdasarkan teori queer, budaya BL—yang kerap dipandang sebagai dampak globalisasi sosial-budaya—dapat menjadi kekuatan yang “memicu” fluiditas masyarakat dalam hal seksualitas, bahkan dalam lingkungan kultural Asia Tenggara yang dikenal konservatif. Kata Kunci: ASEAN; boys’ love; globalisasi; Thailand; queer ABSTRACT The global push related to LGBTQ+ still faces many challenges, especially in eastern regions, and Southeast Asia is no exception. Most national laws identify LGBTQ + people with a psychiatric disorder who deserve certain punishments. Such a phenomenon certainly has an impact on how society accepts these people socially. According to research conducted by the Pew Research Center, public acceptance of the LGBTQ+ movement has increased since 2002, even in countries that can be described as quite conservative, Thailand is no exception. The culture which becomes an industrial asset, namely ladyboys or women-men, is also an indication of Thailand's acceptance of the LGBTQ+ movement. Since 2018, the Thai film industry with the theme Boys' Love (BL) has received a lot of support from film and drama lovers, especially in ASEAN countries. In this paper, we will discuss the development of BL culture in Thailand, which then has the potential to have an impact on public acceptance of ASEAN member countries regarding LGBTQ + issues. Based on the queer theory, BL culture - which is often seen as the impact of socio-cultural globalization - can be a force that "triggers" the fluidity of society in terms of sexuality, even in a cultural environment in Southeast Asia which is known to be conservative. Keywords: ASEAN; boys’ love; globalization; Thailand; queer


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 105-120
Author(s):  
Zulaekha Amalia

Tiongkok telah menjadi tantangan bagi kemajuan Amerika Serikat. Hal demikian didukung oleh fakta yang menunjukkan ketergantungan besar Amerika Serikat terhadap negara tersebut. Melalui kekuatan Tiongkok dari segi finansial dan ekonomi, Tiongkok mampu mengunci kekuatan Amerika Serikat di sistem internasional. Kondisi ini dapat menjadi ancaman dan berbahaya apabila kekuatan tersebut dijadikan senjata dan instrumen negara. Oleh sebab itu, artikel ini akan bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pengaruh finansial dan ekonomi Tiongkok dapat menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dan dunia. Kemudian, artikel ini akan menyuguhkan interdependensi finansial yang ditinjau melalui utang besar Amerika Serikat terhadap Tiongkok dan kaitannya terhadap perdagangan Tiongkok serta analisis ancaman yang terjadi akibat kekuatan tersebut. Artikel ini menggunakan konsep Power dan Interdependence yang diuraikan oleh Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye Jr. untuk menjadi kerangka berpikir analisis. Penelitian ini bersifat kualitatif yang ditinjau melalui kajian literatur dari sumber data terkait. Asumsi dini menunjukkan bahwa Tiongkok memang memiliki pengaruh besar bagi keberlanjutan Amerika Serikat dan mau tidak mau kedua negara harus memiliki interdependensi yang kuat akibat ancaman yang dihadapi.


2021 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 59-72
Author(s):  
Muhammad Sandy Ilmi

What started as a movement to demand a distributive justice in mining revenue in Bougainville, Papua New Guinea, the conflict turned into the struggle for secession. From 1970’s the demand for secession have been rife and despite early agreement for more autonomy and more mining revenue for the autonomous region, the demand never faded. Under Francis Ona’s Bougainville Revolutionary Army, the movement take a new heights. Bougainville Revolutionary Army took coercive measure to push the government to acknowledge their demands by taking over the mine at Panguna. Papua New Guinean government response was also combative and further exacerbate the issue. Papua New Guinean Defense Force involvement adding the issue of human rights into the discourse. This paper will seek to analyze the normative question surrounding the legitimacy of the right to secession in Bougainville Island. The protracted conflict has halted any form of development in the once the most prosperous province of Papua New Guinea and should Bougainville Island become independent, several challenges will be waiting for Bougainvilleans.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document