Jurnal Sains Dirgantara
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

27
(FIVE YEARS 0)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Indonesian National Institute Of Aeronautics And Space (Lapan)

1412-808x

2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
Author(s):  
Amalia Nurlatifah

2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 73
Author(s):  
Budi Prasetyo ◽  
Nikita Pusparini

Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh fenomena Central Pacific (CP) dan Eastern Pacific (EP) El Niño. Curah hujan Sulawesi mencakup ketiga pola hujan yang ada di Indonesia yaitu Monsunal, equatorial, dan lokal. Variabilitas ketiga pola curah hujan tersebut akan memberikan respon yang berbeda terhadap pengaruh dari kedua tipe El Niño tersebut. Maka, Kajian ini akan membahas pengaruh dari kedua tipe El Niño  terhadap curah hujan Sulawesi. Penelitian ini Menggunakan data curah hujan bulanan berasal dari Climate Prediction Center (CPC) National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Suhu Permukaan Laut (SPL) bulanan dari System Ocean Data Assimilation (SODA) versi 2.2.4 dan oceanic Niño Indeks (ONI) dengan periode  Januari 1950 hingga Desember 2010 (60 tahun). Perhitungan statistik sederhana berupa perata-rataan, korelasi, dan analisa komposit digunakan dalam kajian ini. Penentuan tipe El Niño menggunakan tiga buah indeks yang berbeda. Hasilnya diperoleh bahwa Curah hujan Sulawesi berkurang saat kedua tipe El Niño. Penurunan curah hujan akibat EP El Niño berkisar antara 5 – 20 mm sedangkan akibat CP El Niño berkisar antara 2-12 mm. Wilayah Sulawesi dengan pola curah hujan monsunal merupakan wilayah yang mengalami penurunan curah hujan terbesar akibat kedua tipe El Niño tersebut, kemudian diikuti dengan pola curah hujan equatorial dan terakhir Lokal.


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 63
Author(s):  
Bono Pranoto ◽  
Dian Galuh Cendrawati ◽  
Nurry Widya Hesty ◽  
Errie Kusriadie

Penggunaan model numerik Weather Research and Forecasting (WRF) untuk memprediksi potensi energi surya dapat digunakan sebagai langkah awal pemetaan. Peta hasil prediksi WRF perlu diverifikasi guna meningkatkan kualitas data. Dalam penelitian ini, digunakan data WRF dengan rentang tahun 2001 hingga 2010. Untuk verifikasi digunakan data observasi radiasi matahari selama 12 bulan pada 2 lokasi yaitu desa Palihan (Provinsi Yogjakarta) dan desa Aikangkung (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Metoda yang digunakan adalah penurunan skala (downscaling), prediksi, verifikasi dan koreksi. Hasil verifikasi memperlihatkan lokasi 1 (desa Palihan) memiliki deviasi yang lebih besar (Mape=22.59%) dibanding pada lokasi 2 (desa Aikangkung) dengan nilai Mape=12.95%. Perbedaan nilai antara model WRF dan data observasi dimanfaatkan untuk mengkoreksi peta potensi energi surya. Hasil peta yang telah terkoreksi, memiliki nilai Mape = 0.0007% untuk desa Palihan dan 7% untuk desa Aikangkung.  


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 107
Author(s):  
Abdul Rachman ◽  
Rhorom Priyatikanto

The identification of space debris and the prediction of its orbital lifetime are two important things in the initial mitigation processes of threat from falling debris. As a part of the development of related decision support system, this study focuses on developing a basic lifetime model of artificial space object based on a well-known theory and prediction scheme in the field of satellite reentry research. Current implemented model has not accounted atmospheric oblateness or other correcting factors, but it has a reasonably good performance in predicting reentry time of several objects with various initial eccentricities. Among 30 predictions conducted to 10 objects that reentered the atmosphere from 1970 to 2012, there are 13 calculations that yield prediction time with accuracy of < 30% relative to the actual reentry time. In addition, 11 calculations yields prediction time which were more accurate compared to the outputs from SatEvo software that is currently used in the decision support system on the falling debris operated by Space Science Center LAPAN. These results were considered satisfying and can be developed further by adopting the updated atmospheric model and by calculating other relevant correcting factors.


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 85
Author(s):  
Timbul Manik

The experiment of ionospheric tomographic reconstruction using satellite beacon TEC data from two or more adjacent GRBR observation stations following equatorial latitude and longitude have been conducted on campaign-based  observation in Sumedang, Pameungpeuk and Indramayu West Java on 2016 and 2017. The reconstruction technique utilized is a simple algebraic reconstruction technique (ART). The result obtained is the ionosphere electron density distribution along the longitude of 108 degrees East over the area of West Java and Indonesia. The ionosphere electron density  parameters obtained from the IRI-2012 Model were used as the initiation to construct ionospheric tomographic reconstruction. The validation performed by correlating foF2 from the ionospheric tomographic reconstruction with foF2 obtained from ionosonde observation at Sumedang station, one of the GRBR observation sites shows that corresponded to the correlation coefficient value of 0.8665, with a bias frequency of 1.386 MHz, whereas the correlation with the maximum electron density value obtained from the IRI-2016 model gives a  correlation coefficient value of 0.8958. a bias frequency of 1.386 MHz, whereas the correlation with the maximum electron density value obtained from the IRI-2016 model gives a  correlation coefficient value of 0.8958.  


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
pp. 99
Author(s):  
Judhistira Aria Utama

Di permukaan Bulan dan planet-planet terestrial dapat dijumpai kawah-kawah hasil tumbukan benda-benda angkasa. Studi ini mencoba memperoleh relasi aproksimasi antara diameter kawah tumbukan di Bumi terhadap ukuran objek yang diperlukan untuk membentuk kawah tersebut. Studi dilakukan menggunakan simulasi numerik terhadap ribuan sampel asteroid dekat-Bumi  nyata dalam orbit yang telah dikenal dengan baik. Menggunakan asumsi bahwa jumlah kawah yang dibentuk di permukaan Bumi sama dengan banyaknya asteroid dekat-Bumi yang menumbuk dalam kurun waktu tertentu, diperoleh bahwa diperlukan asteroid dengan diameter yang lebih kecil untuk menghasilkan kawah-kawah besar yang dikenal dibandingkan prediksi yang ada sebelumnya. Pengetahuan tentang ukuran fisik asteroid penumbuk dapat digunakan dalam mengestimasi besarnya energi tumbukan yang dihasilkan, yang berhubungan pula dengan strategi metode mitigasi yang diperlukan.


2018 ◽  
Vol 15 (2) ◽  
Author(s):  
Amalia Nurlatifah

2018 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 51
Author(s):  
Fakhrizal Muttaqien ◽  
Buldan Muslim

A full halo coronal mass ejections (CMEs) are most energetic solar events that eject huge amount of mass and magnetic fields into heliosphere with 360o angular angle. The full halo CME effect on the ionosphere can be determined from the ionospheric total electron content (TEC) derived from GPS data. GPS data from BAKO station in Cibinong, satellite orbital data (brcd files) and intrumental bias data (DCB files) have been used to obtain TEC using GOPI software. Analysis of  the full halo CME data, Dst index, and TEC during October 2003 and February 2014 showed that the full halo CME could cause ionospheric disturbances called ionospheric storms. Magnitude and time delay of the ionospheric storms  depended on the full halo CME speed. For the high-speed full halo CME, the negative ionospheric storm generally occured during recovery phase of the geomagnetic storm. When the initial phase of geomagnetic disturbance with increasing Dst index more than +30 nT, the ionospheric storm occured during main phase of geomagnetic disturbance although the main phase of geomagnetic disturbance did not reach geomagnetic storm condition. ABSTRAKCoronal mass ejection  (CME) halo penuh merupakan peristiwa matahari  berenergi tinggi, yang menyemburkan massa dan medan magnet ke heliosfer dengan sudut angular sebesar 360º. Efek  CME halo penuh pada ionosfer dapat diketahui dari Total Electron Content (TEC). Data GPS BAKO di Cibinong, data orbit satelit (file brcd) dan data bias instrumental (file DCB) dapat digunakan untuk penentuan TEC menggunakan software GOPI. Analisis data CME halo penuh, indeks Dst, dan TEC selama bulan Oktober 2003 dan Februari 2014 menunjukkan bahwa CME halo penuh dapat menimbulkan gangguan ionosfer yang disebut badai ionosfer. Besar dan selang waktu badai ionosfer setelah terjadinya CME, tergantung pada kelajuan CME halo penuh. Untuk CME halo penuh berkelajuan tinggi, badai ionosfer negatif umumnya terjadi pada fase pemulihan badai geomagnet. Jika fase awal gangguan geomagnet diawali dengan peningkatan indeks Dst melebihi +30 nT, maka badai ionosfer dapat terjadi pada fase utama gangguan geomagnet walau gangguan geomagnet setelah  fase awal tidak mencapai kondisi badai geomagnet. 


2018 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 39
Author(s):  
Siska Filawati

Interplanetary space is a hazard precursor for solar eruption toward earth. The solar eruptions enhance electron flux that can lead to anomalies, shifts, and permanent damage to spacecraft, e.g. satellites. The data used in this paper are interplanetary space data represented by interplanetary magnetic field (Bz) and solar wind speed, as well as Dst and AE indexes as comparison indicating disturbance has reached Earth’s poles and equator during 2011-2012. The method used is to determine the value of maximum and minimum Bz in the year 2011-2012 which is taken five days before and after. Analysis and calculation of correlation is done to data of Bz-electron flux and solar wind velocity-electron flux. Clarification of disturbence in interplanetary space and outer electron radiation belt is using index data Dst and AE indexes are used to clarify interplanetary space and outer electron radiation belt disturbances. The aim of this study is to determine the characteristics of interplanetary space that can increase the electron flux so that the space weather early warning can be done. It was found that the period of electron flux enhancement after decrease and increase of Bz was 2 to 3 days. The electron flux would enhance when interplanetary space was in its normal condition at solar wind speed 500 km/sec and Bz is -5 nT to +5 nT. Electron flux correlation with solar wind velocity was better than with Bz. ABSTRAKKondisi ruang antarplanet merupakan prekursor bahaya erupsi matahari terhadap bumi. Erupsi matahari dapat menyebabkan peningkatan fluks elektron. Tingginya fluks elektron dapat menyebabkan anomali, pergeseran, dan kerusakan permanen pada wahana antariksa, misal satelit. Data yang digunakan pada makalah ini adalah data ruang antarplanet yang diwakili oleh kondisi medan magnet antarplanet (Bz) dan kecepatan angin matahari yang merupakan prekursor peningkatan fluks elektron serta data indeks Dst dan indeks AE sebagai pembanding bahwa gangguan telah mencapai kutub dan ekuator bumi selama rentang waktu 2011-2012. Metode yang digunakan adalah menentukan nilai Bz maksimum dan minimum dalam tahun 2011-2012 yang selanjutnya dari penanggalan data tersebut diambil data lima hari sebelum dan sesudah. Analisis dan perhitungan korelasi dilakukan terhadap data Bz-fluks elektron dan kecepatan angin matahari-fluks elektron. Klarifikasi gangguan yang terjadi di ruang antarplanet dan sabuk radiasi elektron luar menggunakan data indeks Dst dan indeks AE. Tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk mengetahui karakteristik kondisi ruang antarplanet yang dapat meningkatkan fluks elektron agar peringatan dini cuaca antariksa dapat dilakukan. Hasil yang didapatkan adalah waktu yang dibutuhkan fluks elektron setelah terjadi penurunan dan peningkatan Bz adalah 2 hingga 3 hari, fluks elektron akan meningkat saat kondisi ruang antarplanet normal yaitu pada kecepatan 500 km/detik dan Bz -5 nT hingga +5 nT, korelasi fluks elektron dengan kecepatan angin matahari lebih baik dibanding fluks elektron dengan Bz.


2018 ◽  
Vol 15 (1) ◽  
pp. 25
Author(s):  
Anwar Santoso ◽  
Mira Juangsih ◽  
Sri Ekawati ◽  
Iyus Edi Rusnadi ◽  
Anton Winarko ◽  
...  

 Knowledge about the ionospheric response to the geomagnetic storms is needed to support SWIFtS activity in Space Science Center-LAPAN. However, it is difficult to predict its behavior. As an approach, it needs a model of the ionospheric response to geomagnetic storms. In this paper, the modeling of the Indonesia ionospheric storms to the geomagnetic storm was done by modifying the global empirical models developed by Araujo-Pradere. By using ap index data, Dst index, and foF2 ionosphere from BPAA Sumedang of 2005-2015, it was obtained the Indonesia ionospheric storms model related to the geomagnetic storm. The analysis result showed that the Sumedang ionospheric storms model had a deviation or error < 40% of the data. Therefore it can be concluded that this models can be used to support the SWIFtS activity in Space Science Center-LAPAN for future space weather conditions.  AbstrakPengetahuan tentang respon ionosfer terhadap badai geomagnet sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan SWIFtS di Pusat Sains Antariksa-LAPAN. Namun, sulit diprediksi perilakunya. Sebagai pendekatan, diperlukan sebuah model respon ionosfer terhadap badai geomagnet. Dalam makalah ini, dilakukan pemodelan badai ionosfer Indonesia terkait badai geomagnet dengan memodifikasi model empiris global yang telah dikembangkan oleh Araujo-Pradere. Dengan menggunakan data indeks ap, indeks Dst dan foF2 ionosfer BPAA Sumedang tahun 2005-2015 diperoleh model badai ionosfer regional Indonesia terhadap badai geomagnet. Dari analisis disimpulkan bahwa model badai ionosfer Sumedang tersebut memiliki simpangan atau kesalahan < 40% terhadap data. Hal ini menunjukkan bahwa model badai ionosfer Sumedang tersebut dapat dipergunakan untuk mendukung kegiatan SWIFtS di Pusat Sains Antariksa-LAPAN sebagai bahan pertimbangan dalam memprediksi kondisi cuaca antariksa akan datang.   


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document