PELAKSANAAN POLLUTER PAYS PRINCIPLE PADA PERUSAHAAN PERTAMBANGAN DALAM PEMULIHAN PENCEMARAN LAUT [The Implementation of the Polluter Pays Principle for Mining Companies in Marine Pollution Recovery]
<p><em>The Panel of Judges examining case No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI issued a verdict which stated that the action of PT Cahaya Bintan Abadi (Defendant I), PT S&B Investama (Defendant II) and PT Perjuangan (Defendant III) carried out bauxite mining and construction of ports for wharves that have stockpiled at the edge of the wharf resulting sea pollution and death of fishes and marine habitats pier the place of Plaintiff’s livelihood is a tort. And stated that the construction of ports carried out by Defendant II and Defendant III did not carry out the function of environmental supervision and cause the sea pollution was an act of tort. According to civil law, in environmental dispute, plaintiff have the rights to make claims for compensation which is stated in Article 1365 Indonesia Civil Code. Polluter Pays Principle (PPP) is a principle of justice which regulates that the costs of pollution prevention and control should be borne by the polluter. The method used is qualitative research method. This study focuses on Case Number: 26/Pdt.G/2009/PN.TPI (inkracht), an environmental dispute between mining companies and fishermen in Tanjung Pinang City, where the mining companies polluted the sea, inflict a financial loss for fishermen and harmed the marine life. The result of this study shows that Case No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI has sentenced the Defendants to pay compensation to the Plaintiffs, yet it is not optimal enough in applying the Polluter Pays Principles.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Majelis Hakim pemeriksa perkara Putusan No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan PT Cahaya Bintan Abadi (Tergugat I), PT S&B Investama (Tergugat II) dan PT Perjuangan (Tergugat III) yang melakukan penambangan bauksit dan pembuatan pelabuhan untuk dermaga yang telah menimbun atau stok piil di pinggir dermaga berakibat tercemarnya air laut dan kematian ikan dan habitat laut tempat mata pencaharian Para Penggugat adalah perbuatan melawan hukum. Dan menyatakan bahwa pembangunan dermaga dan/atau pelabuhan yang dilakukan oleh Tergugat II dan Tergugat III tidak menjalankan fungsi pengawasan lingkungan sehingga tercemarnya laut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan hukum perdata, dalam sengketa lingkungan hidup, penggugat yang merasa dirugikan mempunya hak untuk menuntut ganti rugi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. <em>Polluter Pays Principle </em>(PPP) merupakan prinsip keadilan yang mengatur bahwa biaya pencegahan dan pengendalian pencemaran wajib ditanggung oleh pencemar. Metode yang digunakan adalah penelitian ini adalah yuridis normatif. Studi ini berfokus pada Putusan Nomor 26/Pdt.G/2009/PN.TPI yang telah berkekuatan hukum tetap, merupakan sengketa lingkungan hidup antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat nelayan Kota Tanjung Pinang, dimana perusahaan pertambangan telah mencemari laut dan menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat nelayan dan juga membahayakan kehidupan laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Nomor 26/Pdt.G/2009/PN.TPI telah menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat, namun belum optimal dalam menerapkan <em>Polluter Pays Principle</em>.</p>