Law Review
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

56
(FIVE YEARS 44)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Pelita Harapan

2621-1939, 1412-2561

Law Review ◽  
2021 ◽  
pp. 300
Author(s):  
Ellora Sukardi ◽  
Debora Pasaribu ◽  
Vanessa Xavieree Kaliye

<p><em>A diploma certificate is a document that has a value to a person has after he/she has completed one stage of education. A diploma certificate is useful for job applications depending on the qualifications that were acquired. However, there is a custom in society where employers withhold their workers’ diplomas for a specified period of service. Withholding diplomas sometimes gives workers disadvantages because of the lack of security guarantee and also it creates greater risk and responsibility for employers. This research is conducted with juridical-normative methods. In terms of the Dignified Justice Theory which was coined by Teguh Prasetyo, the theory focuses on the concept of humanizing humans (nge wongke wong), therefore detention of diplomas that is carried out unilaterally by the employer without any guarantee of security protection for the workers’ diploma is considered as unfair and violates the rights or harms workers. In this case, it is necessary to have detailed clauses set out in the work agreement. In addition, the employer must have a Standard Operating Procedure regarding the holding of diplomas to ensure the security as long as they are kept.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Ijazah merupakan dokumen yang bernilai bagi seseorang setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu tahapan pendidikan. Ijazah berguna untuk melamar pekerjaan sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki pemegang ijazah tersebut. Namun, terdapat sebuah kebiasaan di masyarakat dimana pemberi kerja menahan ijazah pekerjanya dalam masa kerja yang ditentukan. Penahanan ijazah terkadang merugikan pekerja dikarenakan keamanan ijazah yang kurang terjamin serta menimbulkan risiko dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemberi kerja untuk menyimpan dokumen berharga tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif. Ditinjau dari Teori Keadilan Bermartabat yang dicetuskan oleh Teguh Prasetyo, yang menitikberatkan pada konsep memanusiakan manusia (<em>nge wongke wong</em>), penahanan ijazah yang dilakukan secara sepihak oleh pemberi kerja tanpa adanya jaminan atas perlindungan keamanan bagi ijazah pekerja dinilai kurang adil dan melanggar hak atau merugikan pekerja. Dalam hal ini, perlu adanya klausul yang terperinci yang dituangkan di dalam perjanjian kerja. Selain itu, pemberi kerja harus memiliki prosedur pelaksanaan mengenai penahanan ijazah untuk menjamin keamanan ijazah pekerja selama ijazah tersebut disimpan oleh pemberi kerja.</p>


Law Review ◽  
2021 ◽  
pp. 342
Author(s):  
Carissa Christybella Wijaya ◽  
Micheline Hendrito ◽  
Monica Patricia Aripratama ◽  
Udin Silalahi

<div class="WordSection1"><p><em>KPPU (Commission for the Supervision of Business Competition) as the authority for business competition law in Indonesia still has many shortcomings. This is related to the KPPU’s failure to accommodate compensation payments to victims of business competition law violations. This can happen because Indonesia has only provided room for public enforcement to be implemented. In public enforcement, compensation payments are not paid directly to consumers who have suffered losses but instead come into the state treasury. This article discusses the compensation mechanism that should be received by victims of competition law violations through private enforcement, which is a mechanism for enforcing competition law by using the regulations of the Competition Law in civil courts to demand compensation. This research was conducted with the aim of creating a healthy business competition climate through the enforcement of private enforcement in Indonesia by implementing harmonization between public and private enforcement. In this article, the Authors used normative juridical method and refers to statutory and comparative approaches. The research method used is juridical normative with a statute approach, a case approach, and a comparative legal approach. The results and conclusions of this study are that the KPPU's failure to provide compensation for compensation to victims of business competition violations encourages the need to implement private enforcement in Indonesia which is harmonized with the previous mechanism, namely public enforcement.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sebagai lembaga otoritas dalam hukum persaingan usaha di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Salah satunya terkait dengan kegagalan KPPU dalam mengakomodir pembayaran ganti rugi kepada korban pelanggaran hukum persaingan usaha. Hal ini dapat terjadi karena selama ini Indonesia hanya memberikan ruang bagi <em>public enforcement</em> untuk diterapkan. Dalam <em>public enforcement</em>, pembayaran ganti rugi tidak dibayarkan langsung kepada konsumen yang dirugikan melainkan masuk ke dalam kas negara. Oleh sebab itu, terdapat sebuah urgensi untuk mengalihfungsikan fungsi kompensasi dari KPPU kepada pelaku usaha melalui <em>private enforcement</em>, yaitu sebuah mekanisme penegakan hukum persaingan usaha dengan menggunakan regulasi UU Persaingan Usaha di peradilan perdata untuk menuntut ganti rugi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat melalui ditegakkannya <em>private enforcement</em> di Indonesia dengan menerapkan harmonisasi antara <em>public enforcement</em> dan <em>private enforcement</em>. Metode penelitian yang digunakan, yaitu yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif hukum. Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini adalah kegagalan KPPU dalam memberikan kompensasi ganti rugi kepada korban pelanggaran persaingan usaha mendorong perlu diterapkannya <em>private enforcement</em> di Indonesia yang diharmonisasikan dengan mekanisme sebelumnya, yaitu <em>public enforcement.</em></p></div>


Law Review ◽  
2021 ◽  
pp. 323
Author(s):  
Cynthia Phillo ◽  
Hessa Arteja ◽  
M Faiz Rizqi

<p><em>Children as the forerunners of the successor to the future Indonesia nation make children individuals who become priorities in holding the right to education. The law itself has governed the rights that a child must have, including the right to get a proper education. Due to the COVID-19 Pandemic, the government finds it difficult in providing legal protection for a proper education rights of children. By using normative legal method, this paper will explain how the legal protection of children’s rights  over education during the COVID-19 Pandemic that’s happening and how the government’s role is in fulfilling childern’s rights in getitng an education.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Anak sebagai cikal bakal penerus bangsa Indonesia menjadikan anak sebagai individu yang menjadi prioritas dalam memegang hak pendidikan. Undang-undang sendiri telah mengatur tentang hak-hak yang harus diteirma oleh anak, termasuk hak dalam pendidikan. Karena Pandemi COVID-19 yang terjadi, menambah kesulitan bagi pemerintah untuk memberikan perilundungan hukum bagi hak anak atas pendidikan. Dengan menggunakan penelitian hukum normatif, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana perlindungan hukum hak anak atas pendidikan pada masa Pandemi COVID-19 yang sedang tejadi dan bagaimana peran negara dalam memenuhi hak anak dalam mendapat pendidikan.</p>


Law Review ◽  
2021 ◽  
pp. 360
Author(s):  
Priskila Pratita Penasthika

<div class="WordSection1"><p><em>This article aims to introduce The Hague Principles 2015 to the discourses of choice of law and private international law in Indonesia. Various attempts to harmonize choice of law have been undertaken since the second half of the twentieth century. Those attempts remain to continue to the twenty-first century and are marked, among others, by the issuance of The Hague Principles 2015. This harmonization instrument has been drawing attention and debates due to its nature as a non-binding instrument, and some novel provisions it introduces that have never been explicitly addressed in the previous harmonization instruments on choice of law.</em></p><p><strong><em>Bahasa Indonesia Abstrak: </em></strong>Tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan The Hague Principles 2015 dalam diskusi-diskusi mengenai pilihan hukum dan hukum perdata internasional di Indonesia. Sejak paruh kedua abad ke-20 telah dimulai berbagai usaha untuk mengharmonisasi aturan-aturan mengenai pilihan hukum dalam kontrak. Usaha ini terus berlanjut di abad ke-21 dan ditandai salah satunya dengan terbitnya The Hague Principles 2015. Instrumen harmonisasi ini mengundang banyak perhatian dan perdebatan karena sifatnya sebagai sebuah instrumen yang tidak mengikat, dan beberapa ketentuan di dalamnya yang belum pernah diatur secara tegas dalam instrumen-instrumen harmonisasi mengenai pilihan hukum sebelumnya.</p></div>


Law Review ◽  
2021 ◽  
pp. 270
Author(s):  
Lailatul Mufidah ◽  
Kukuh Tejomurti

<p><em>This article elaborates two legal issues related to how to implement the procurement of the Covid-19 vaccine during a pandemic and the legal responsibility for the implementation of vaccine procurement in the context of handling Covid-19. This article is a prescriptive normative legal research using the statutory approach and the conceptual approach. The study results show that the implementation of procurement for handling emergencies requires a unique mechanism that is carried out through simplification of administrative processes and under Regulation Related to Procurement of Goods/Services in Emergency Management. Article 27 paragraph (2) and section (3) of the Covid-19 Handling Law, which has legal impunity that does not necessarily eliminate the procurement actors' responsibility, but the procurement actors are still subject to legal accountability based on good faith parameters and implementation under regulations legislation. State finances issued in the procurement of the Covid-19 vaccine can be given a temporary conclusion that it has been implemented effectively considering the efficacy level of the Sinovac vaccine is above the minimum percentage given by WHO, namely 65.3% of the minimum amount of 50%</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Artikel ini meneliti dua permasalahan hukum terkait bagaimana penerapan pengadaan vaksin Covid-19 di masa pandemi dan pertanggungjawaban hukum atas pelaksanaan pengadaan vaksin yang dilaksanakan dalam rangka penanganan Covid-19. Artikel ini adalah termasuk penelitian hukum yang bersifat preskriptif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan pengadaan guna penanganan keadaan darurat membutuhkan suatu mekanisme khusus yang mana dilaksanakan melalui penyederhanaan proses administratif dan sesuai regulasi Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat. Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 yang memiliki impunitas hukum yang sejatinya tidak serta-merta menghilangkan tanggung jawab para pelaku pengadaan melainkan para pelaku pengadaan tetap dikenai adanya pertanggungjawaban hukum berdasarkan parameter itikad baik dan pelaksanaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keuangan negara yang dikeluarkan dalam pengadaan vaksin Covid-19 dapat diberikan kesimpulan sementara bahwa telah dilaksanakan secara efektif, mengingat tingkat efikasi vaksin Sinovac berada di atas minimal persentase yang diberikan oleh WHO, yaitu 65,3% dari jumlah minimal 50%.</p>


Law Review ◽  
2021 ◽  
pp. 391
Author(s):  
Yanti Fristikawati

<p><em>Indonesia is one of the archipelagic countries which is rich in biodiversity of flora and fauna, and has a longlist of the threatened wildlife animals such as the Bali starling in the West Bali National Park. The aim of this study is to find the regulations which are already applied to protect wildlife fauna in West Bali especially the Bali Starling bird. This study uses the normative legal research which uses secondary data such as regulations, books, journal and other sources.  For the protection of the environment, especially for wildlife animals, Indonesia has Act number 32, year 2009 on Protection and Management on the Environment, and Act number 5, year 1990 on Conservation of Living Resources and their Ecosystem. There are some obstacles to the enforcement of the law in the West Bali National Park, as there is still illegal hunting for the bird, deer and also turtles. Other efforts for the protection of wildlife fauna in West Bali are by encouraging public participation. At the moment the protection of the Bali Starling is better by the involvement of public participation. </em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayatinya baik flora maupun faunanya, dan sebagian dari satwa tersebut merupakan satwa langka yang harus dilindungi, termasuk satwa di Taman Nasional Bali Barat. Tujuan dilakukan penelitian untuk mengetahui aturan apa saja yang dapat dan sudah diterapkan untuk melindungi satwa liar khususnya Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat. Metode yang digunakan adalah yuridis normative yaitu mengkaji data sekunder berupa peraturan, buku, jurnal dan literatur lainnya yang terkait dengan perlindungan satwa liar khususnya di Taman Nasional. Saat ini untuk pengaturan perlindungan lingkungan telah ada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Penerapan aturan yang ada masih menemui kendala dalam pelaksanaannya karena masih terjadi perburuan liar dan perdagangan satwa yang dilindungi seperti  jalak Bali, rusa dan juga penyu. Upaya lain yang dilakukan selain penerapan aturan adalah dengan pendekatan persuasive, serta pendekatan budaya ke masyarakat, antara lain dengan mengajak masyarakat ikut serta dalam perlindungan satwa di Taman Nasional bali Barat. Kesimpulannya saat ini perburuan satwa liar khususnya Jalak Bali sudah berkurang, dan pendekatan melalui keterlibatan masyarakat sangat membantu.</p>


Law Review ◽  
2020 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 246
Author(s):  
Yosephus Mainake

<p><em>The Capital Market Law, which carries with it the trust institutions, contains provisions regarding collective investment contract mutual funds (RD KIK) that produce securities in the form of participation units, which are traded on the stock exchange. In RD KIK, there is a trust relationship between the unit holder of the custodian bank and the investment manager. The legal relationship in the concept of collective RD KIK is similar to what happens in trusts. In the Anglo-Saxon legal tradition, mutual funds are often referred to as unit trusts and/or investment trusts, where the sponsor acts as a settlor who hands over his assets to the trustee, the sponsor acts as the settlor in the trusts as well as the unit holder in a collective investment contract mutual fund. In connection with these problems, normative legal research is carried out using a statute approach, a conceptual approach and a comparative approach. The method used in analyzing this research is qualitative analysis. So, it can be seen that the role of the custodian bank and investment manager acts as a trustee, where the custodian bank is given the authority to carry out collective custody of the assets of the joint investment contract unit holder. The investment manager is given the power to manage or control the assets submitted by the sponsor or settlor in the concept of trusts law. Thus, it can be said that the RD KIK concept is similar to the idea of trusts because it fulfills the elements of trusts.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Undang-Undang Pasar Modal yang membawa serta pranata <em>trust</em> di dalamnya terdapat ketentuan mengenai reksa dana kontrak investasi kolektif (RD KIK) yang melahirkan efek dalam bentuk unit penyertaan, yang diperdagangkan di bursa efek. Dalam RD KIK, terdapat hubungan kepercayaan antara pemegang unit penyertaan terhadap bank kustodian dan manajer investasi. Hubungan hukum dalam konsep RD KIK kolektif ini mirip yang terjadi dalam <em>trusts</em>. Dalam tradisi hukum Anglo Saxon, reksa dana sering kali disebut dengan <em>unit trusts</em> dan atau <em>investment trust</em>, yaitu sponsor bertindak sebagai settlor yang menyerahkan harta kebendaanya kepada <em>trustee</em>, sponsor sebagai <em>settlor</em> dalam <em>trusts</em> sama halnya dengan pemegang unit penyertaan dalam reksa dana kontrak investasi kolektif. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, dengan ini dilakukan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Cara yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini yakni analisis kualitatif. Maka dapat dilihat bahwa peran bank kustodian dan manajer investasi bertindak sebagai <em>trustee</em>, di mana bank kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif terhadap harta pemegang unit kontrak investasi kolektif dan manajer investasi diberi wewenang untuk melakukan pengelolaan atau penguasaan terhadap harta yang diserahkan oleh sponsor atau settlor dalam konsep hukum <em>trusts</em>. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep RD KIK mirip dengan konsep <em>trusts</em> karena telah memenuhi unsur-unsur <em>trusts</em>.</p><p><strong>Kata Kunci: Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif, <em>Trusts</em></strong></p>


Law Review ◽  
2020 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 169
Author(s):  
Fransiska Ayulistya Susanto

<p><em>Refugee problems become global problems not only for destination country but also for the transit or non-parties country on Status of Refugees Convention 1951. The problem arises when the transit or non-parties country ignore the existence of the refugees in their territory consequently, many refugees could only depend on their protection under UNHCR help. Even if, the territorial state is not the party of 1951 convention, however, they still have responsibility under another Human Rights Convention to give protection to the refugees. Therefore, how far the refugees shall be protected under the transit territory? This article will have analyzed minimum protection under Human Rights instruments and Customary International Law that could give to the refugees. Under the International Covenant on Civil and political Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on The Rights of the Child and Customary International Law, the state territory shall give protection without any discrimination to the refugees, even if they are not the party of 1951 convention. Even though, the protection that refugees get from transit state slightly different than protection from state parties, however, they shall get to be protected.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Masalah pengungsi sudah menjadi permasalahan global yang tidak hanya berpengaruh terhadap negara tujuan saja, namun juga pada negara transit atau negara yang bukan merupakan negara anggota Konvensi Status Pengungsi 1951. Masalah timbul saat negara-negara transit atau negara non-anggota mengabaikan keberadaan pengungsi di teritori negara mereka, sehingga banyak pengungsi yang hanya menyandarkan nasibnya di tangan bantuan UNHCR. Meskipun negara teritorial bukan merupakan negara anggota Konvensi Status Pengungsi 1951, namun mereka seharusnya tetap memberikan perlindungan kepada pengungsi. Pertanyaannya, seberapa jauh negara harus memberikan perlindungan kepada pengungsi? Artikel ini akan menganalisis perlindungan minimal di bawah Hak Asasi Manusia yang harus diberikan negara non-anggota kepada pengungsi yang ada di wilayahnya. Menurut Konvenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Konvensi Perlindungan Anak dan juga hukum kebiasaan internasional, negara teritorial haruslah memberikan perlindungan tanpa diskriminasi kepada pengungsi, meskipun negara teritorial tidak menjadi para pihak dari Konvensi Status Pengungsi 1951. Meskipun perlindungan yang diberikan kepada pengungsi oleh negara transit sedikit berbeda jika dibandingkan perlindungan dari negara anggota konvensi, mereka tetap harus mendapatkan perlindungan.</p>


Law Review ◽  
2020 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 194
Author(s):  
Morita Christallago ◽  
Yossi Niken Respati ◽  
Rizky Karo-Karo

<p><em>The Panel of Judges examining case No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI issued a verdict which stated that the action of PT Cahaya Bintan Abadi (Defendant I), PT S&amp;B Investama (Defendant II) and PT Perjuangan (Defendant III) carried out bauxite mining and construction of ports for wharves that have stockpiled at the edge of the wharf resulting sea pollution and death of fishes and marine habitats pier the place of Plaintiff’s livelihood is a tort. And stated that the construction of ports carried out by Defendant II and Defendant III did not carry out the function of environmental supervision and cause the sea pollution was an act of tort. According to civil law, in environmental dispute, plaintiff have the rights to make claims for compensation which is stated in Article 1365 Indonesia Civil Code. Polluter Pays Principle (PPP) is a principle of justice which regulates that the costs of pollution prevention and control should be borne by the polluter. The method used is qualitative research method. This study focuses on Case Number: 26/Pdt.G/2009/PN.TPI (inkracht), an environmental dispute between mining companies and fishermen in Tanjung Pinang City, where the mining companies polluted the sea, inflict a financial loss for fishermen and harmed the marine life. The result of this study shows that Case No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI has sentenced the Defendants to pay compensation to the Plaintiffs, yet it is not optimal enough in applying the Polluter Pays Principles.</em></p><p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Majelis Hakim pemeriksa perkara Putusan No. 26/Pdt.G/2009/PN.TPI telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan PT Cahaya Bintan Abadi (Tergugat I), PT S&amp;B Investama (Tergugat II) dan PT Perjuangan (Tergugat III) yang melakukan penambangan bauksit dan pembuatan pelabuhan untuk dermaga yang telah menimbun atau stok piil di pinggir dermaga berakibat tercemarnya air laut dan kematian ikan dan habitat laut tempat mata pencaharian Para Penggugat adalah perbuatan melawan hukum. Dan menyatakan bahwa pembangunan dermaga dan/atau pelabuhan yang dilakukan oleh Tergugat II dan Tergugat III tidak menjalankan fungsi pengawasan lingkungan sehingga tercemarnya laut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan hukum perdata, dalam sengketa lingkungan hidup, penggugat yang merasa dirugikan mempunya hak untuk menuntut ganti rugi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. <em>Polluter Pays Principle </em>(PPP) merupakan prinsip keadilan yang mengatur bahwa biaya pencegahan dan pengendalian pencemaran wajib ditanggung oleh pencemar. Metode yang digunakan adalah penelitian ini adalah yuridis normatif. Studi ini berfokus pada Putusan Nomor 26/Pdt.G/2009/PN.TPI yang telah berkekuatan hukum tetap, merupakan sengketa lingkungan hidup antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat nelayan Kota Tanjung Pinang, dimana perusahaan pertambangan telah mencemari laut dan menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat nelayan dan juga membahayakan kehidupan laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Nomor 26/Pdt.G/2009/PN.TPI telah menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat, namun belum optimal dalam menerapkan <em>Polluter Pays Principle</em>.</p>


Law Review ◽  
2020 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 111
Author(s):  
Mieke Yustia Ayu Ratna Sari ◽  
Riza Yudha Patria

The purpose of this paper is to explore the use of IPR, especially with regard to the challenges faced in obtaining business capital. Normative legal research is used to analyze the legal issues raised in this paper. IPR, business, innovation and capital are components that work together to increase the value of a business. For business people, especially in the creative industry, IPR is an important factor in business activities. The monetization of IPR is something that must be done by business people in order to exist in any situation, because this step has an important contribution to business development. Funding guarantees and business valuations can be achieved by monetizing IPR. The implementation of IPR monetization, especially in the field of guarantee, has been supported by regulations, which are regulated in Law no. 28 of 2014 concerning Copyright and Law no. 13 of 2016 concerning Patents, but there are still challenges including technical regulations from Bank Indonesia and the absence of an appraisal institution. Both are the main keys in implementing fiduciary security using IPR objects. Therefore, strategic steps from the government are awaited by business actors, especially in the creative sector, to immediately realize appraisal institutions and prepare technical regulations related to guarantees and execution of collateral, so that the creative industry sector players can maximize their IPR assets.<p><strong>Bahasa Indonesia Abstrak: </strong>Tujuan dari penulisan ini adalah menggali pemanfaatan HKI khususnya berkenaan dengan tantangan yang dihadapi dalam rangka mendapatkan modal usaha. Penelitian hukum normatif digunakan untuk menganalisis isu hukum yang diangkat dalam penulisan ini. HKI, bisnis, inovasi dan modal merupakan komponen yang saling bersinergi untuk dapat meningkatkan <em>value</em> dari suatu usaha. Bagi pelaku bisnis, khususnya bidang industri kreatif, HKI menjadi faktor penting dalam aktivitas usaha. Monetisasi HKI menjadi suatu yang harus dilakukan oleh para pebisnis agar tetap eksis di situasi apa pun, karena langkah tersebut memiliki kontribusi penting dalam pengembangan usaha. Jaminan pendanaan dan valuasi bisnis bisa ditempuh dengan memonetisasikan HKI. Pelaksanaan monetisasi HKI khususnya di bidang penjaminan sudah didukung oleh regulasi, yakni diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, namun masih terdapat tantangan, di antaranya peraturan teknis dari Bank Indonesia dan belum adanya lembaga <em>appraisal.</em> Keduanya menjadi kunci utama dalam pelaksanaan jaminan fidusia menggunakan objek HKI. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis dari Pemerintah sangat ditunggu oleh pelaku binis, khususnya bidang kreatif, untuk segera mewujudkan lembaga <em>appraisal</em> dan menyiapkan regulasi teknis terkait penjaminan dan eksekusi benda jaminan, agar pelaku sektor industri kreatif dapat memaksimalkan aset HKI yang dimilikinya.</p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document