scholarly journals Manajemen Resiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja Asuhan Keperawatan di IGD

2019 ◽  
Author(s):  
Dewi Kurniati

Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa salah satu persyaratan Rumah Sakit adalah harus memenuhi unsur keselamatan dan kesehatan kerja. Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi di antaranya tertusuk jarum atau needle stick injury (NSI), terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, penyakit dan infeksi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan melakukan analisis risiko. membuat job hazard analisis, kemudian dilakukan analisis risiko dengan pendekatan AS/NZS 4360: 2004 dan menilai dengan tabel W.T.Fine. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor bahaya di instalasi gawat darurat terdiri dari bahaya fisik, biologi, ergonomi, perilaku, dan psikologis. Faktor bahaya fisik merupakan yang dominan yaitu jarum suntik (benda tajam) yang berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien. Nilai risiko tertinggi bahaya fisik dan biologi pada proses pekerjaan pemasangan infus pada pasien sebesar 150 (tinggi) mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Nilai risiko ini didapatkan apabila telah melakukan rekomendasi pengendalian dari peneliti.

2020 ◽  
Author(s):  
Novita Asyiah

Perawat adalah tenaga kesehatan yang paling besar jumlahnya dan paling lama kontak dengan pasien, sehingga sangat berisiko dengan pekerjaannya, namun banyak perawat tidak menyadari terhadap risiko yang mengancam dirinya, melupakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan meniadakannya bahaya di rumah sakit dapat dilakukan melalui sistem K3RS. Sistem Manajemen K3RS merupakan sesuatu yang baru dan menjadi sasaran penilaian akreditasi rumah sakit Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan salah satu isu penting di dunia kerja saat ini termasuk di lingkungan rumah sakit. Angka kecelakaan kerja di rumah sakit lebih tinggi dibandingkan tempat kerja lainnya dan sebagian besar diakibatkan oleh perilaku yang tidak aman. Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa salah satu persyaratan Rumah Sakit adalah harus memenuhi unsur keselamatan dan kesehatan kerja. Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi di antaranya tertusuk jarum atau needle stick injury (NSI), terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, penyakit dan infeksi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan melakukan analisis risiko.


2017 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Oktaviana Zahratul Putri ◽  
Tengku Mohamed Ariff Bin Raja Hussin ◽  
Heru Subaris Kasjono

Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa salah satu persyaratan Rumah Sakit adalah harus memenuhi unsur keselamatan dan kesehatan kerja. Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi di antaranya tertusuk jarum atau needle stick injury (NSI), terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, penyakit dan infeksi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan melakukan analisis risiko. Tujuan dari studi adalah untuk melakukan analisis risiko keselamatan dan kesehatan kerja petugas kesehatan dan administrasi di Rumah Sakit Akademik UGM. Metode yang digunakan yaitu observasi dan wawancara kepada petugas instalasi gawat darurat, membuat job hazard analisis, kemudian dilakukan analisis risiko dengan pendekatan AS/NZS 4360: 2004 dan menilai dengan tabel W.T.Fine. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor bahaya di instalasi gawat darurat terdiri dari bahaya fisik, biologi, ergonomi, perilaku, dan psikologis. Faktor bahaya fisik merupakan yang dominan yaitu jarum suntik (benda tajam) yang berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien. Nilai risiko tertinggi bahaya fisik dan biologi pada proses pekerjaan pemasangan infus pada pasien sebesar 150 (tinggi) mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Nilai risiko ini didapatkan apabila telah melakukan rekomendasi pengendalian dari peneliti.


2017 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
Oktaviana Zahratul Putri ◽  
Tengku Mohamed Ariff Bin Raja Hussin ◽  
Heru Subaris Kasjono

Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa salah satu persyaratan Rumah Sakit adalah harus memenuhi unsur keselamatan dan kesehatan kerja. Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi di antaranya tertusuk jarum atau needle stick injury (NSI), terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, penyakit dan infeksi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan melakukan analisis risiko. Tujuan dari studi adalah untuk melakukan analisis risiko keselamatan dan kesehatan kerja petugas kesehatan dan administrasi di Rumah Sakit Akademik UGM. Metode yang digunakan yaitu observasi dan wawancara kepada petugas instalasi gawat darurat, membuat job hazard analisis, kemudian dilakukan analisis risiko dengan pendekatan AS/NZS 4360: 2004 dan menilai dengan tabel W.T.Fine. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor bahaya di instalasi gawat darurat terdiri dari bahaya fisik, biologi, ergonomi, perilaku, dan psikologis. Faktor bahaya fisik merupakan yang dominan yaitu jarum suntik (benda tajam) yang berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien. Nilai risiko tertinggi bahaya fisik dan biologi pada proses pekerjaan pemasangan infus pada pasien sebesar 150 (tinggi) mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Nilai risiko ini didapatkan apabila telah melakukan rekomendasi pengendalian dari peneliti.


2019 ◽  
Author(s):  
Dewi Kurniati

Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat 1, bahwa salah satu persyaratan Rumah Sakit adalah harus memenuhi unsur keselamatan dan kesehatan kerja. Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi di antaranya tertusuk jarum atau needle stick injury (NSI), terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, penyakit dan infeksi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya kecelakaan kerja adalah dengan melakukan analisis risiko. membuat job hazard analisis, kemudian dilakukan analisis risiko dengan pendekatan AS/NZS 4360: 2004 dan menilai dengan tabel W.T.Fine. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor bahaya di instalasi gawat darurat terdiri dari bahaya fisik, biologi, ergonomi, perilaku, dan psikologis. Faktor bahaya fisik merupakan yang dominan yaitu jarum suntik (benda tajam) yang berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien. Nilai risiko tertinggi bahaya fisik dan biologi pada proses pekerjaan pemasangan infus pada pasien sebesar 150 (tinggi) mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Nilai risiko ini didapatkan apabila telah melakukan rekomendasi pengendalian dari peneliti.


2007 ◽  
Vol 22 (11) ◽  
pp. 1882-1885 ◽  
Author(s):  
Paul S Haber ◽  
Margaret M Young ◽  
Lloyd Dorrington ◽  
Andrew Jones ◽  
John Kaldor ◽  
...  

2018 ◽  
Vol 21 ◽  
pp. S86 ◽  
Author(s):  
L Zhang ◽  
Y Ai ◽  
J Liu ◽  
N Yue ◽  
J Xuan ◽  
...  

F1000Research ◽  
2021 ◽  
Vol 9 ◽  
pp. 1392
Author(s):  
Nicola J. Senior ◽  
Richard W. Titball

Galleria mellonella larvae are increasingly used to study the mechanisms of virulence of microbial pathogens and to assess the efficacy of antimicrobials.  The G. mellonella model can faithfully reproduce many aspects of microbial disease which are seen in mammals, and therefore allows a reduction in the use of mammals. The model is now being widely used by researchers in universities, research institutes and industry. An attraction of the model is the interaction between pathogen and host. Hemocytes are specialised phagocytic cells which resemble neutrophils in mammals and play a major role in the response of the larvae to infection. However, the detailed interactions of hemocytes with pathogens is poorly understood, and is complicated by the presence of different sub-populations of cells. We report here a method for the isolation of hemocytes from Galleria mellonella.  A needle-stick injury of larvae, before harvesting, markedly increased the recovery of hemocytes in the hemolymph. The majority of the hemocytes recovered were granulocyte-like cells. The hemocytes survived for at least 7 days in culture at either 28°C or 37°C. Pre-treatment of larvae with antibiotics did not enhance the survival of the cultured hemocytes. Our studies highlight the importance of including sham injected, rather than un-injected, controls when the G. mellonella model is used to test antimicrobial compounds. Our method will now allow investigations of the interactions of microbial pathogens with insect hemocytes enhancing the value of G. mellonella as an alternative model to replace the use of mammals, and for studies on hemocyte biology.


Author(s):  
Nasima Iqbal ◽  
Faiza Quraishi ◽  
Muhammad Aslam Bhatti ◽  
Faizah Mughal ◽  
Tayyaba Mumtaz ◽  
...  

Aim: To find out the prevalence of needle stick injury, its reporting system and the reasons behind it. Study design: Descriptive cross-sectional Place and duration of study: Study was conducted at Jinnah post-graduate medical center (JPMC) Karachi during the period of March to September 2019 Methodology: A self-designed, self-explanatory questionnaire was used, consisting of two parts, the first part was about demographic information while second part is for information related to needle stick injury like probable cause, frequency, response after injury, post-exposure prophylaxis and about reporting of the incident. Questionnaire was validated by calculating the Cronbach’s alpha which was 0.78. data was analyzed by using the Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 20. Results: Majority of the study participants were female (67.2%) and about 50% were postgraduate students. Out of total 134 doctors about 64.2% of the doctors had needle stick injury during their career. Finding out the most probable cause of needle stick injury during the survey it was found out that increased work load and prolonged working hours were the main reasons. Majority of the cases occurred in emergency department (41.9%). About 95.5% of the doctors didn’t get any post-exposure prophylaxis. Majority of the participants (96.3%) did not report to any authority because of the lack of knowledge about the reporting policy, it was noted that about 38.8% were confused either the reporting system exist or not. Most of the injuries occur during the procedure of suturing followed by recapping syringes. Conclusion: It has been concluded that majority of the doctors had faced needle stick injury during their career and a very negligible number of them got any post-exposure prophylaxis. Majority of them did not report to any authority. So there is a need of implication of safety measures and reporting policies for early detection and treatment of infections after needle stick injury.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document