Kalatanda : Jurnal Desain Grafis dan Media Kreatif
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

16
(FIVE YEARS 0)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Telkom University

2527-9076, 2527-7391

2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 125
Author(s):  
Syamsul Barry
Keyword(s):  

Era kebangkitan industri film nasional pada medio awal abad 21 membawa demam perfileman di tanah air. Teknologi terkini di bidang perfileman dengan cepat diadopsi sejalan dengan perkembangan teknologi baik teknologi kamera maupun telepon seluler dengan fasilitas dan aplikasinya. Perkembangan ini diikuti pula dengan maraknya pertumbuhan komunitas film di Indonesia, sehingga menyebabkan banyaknya produksi film. Praktek produksi pembuatan film di komunitas berbeda dengan apa yang dijalankan di lingkungan civitas akademik. Pada praktek produksi di komunitas dirasa lebih fleksibel mulai dari kegiatan perencanaan hingga proses perwujudan, dan semuanya mengikuti pada permasalahan yang akan dibuat sehingga dapat dikatakan relatif efisien. Sedangkan di lembaga pendidikan prosesnya berlangsung dengan mengikuti atau berbasis teori pengetahuan perfilman yang telah ada (baku) dan terkesan kaku. Selain memproduksi film, komunitas menyelenggarakan aktivitas berupa pemutaran, dan diskusi/workshop. Bahkan beberapa komunitas mempunyai jurnal yang di publikasikan pada situs di internet. Komunitas-komunitas ini juga membentuk semacam proyek wirausaha berupa melayani jasa pembuatan video program televisi, company profile perusahaan dan jasa dokumentasi hajatan (perkawinan, sunatan) dengan tujuan membiayai jalannya kegiatan di komunitas sekaligus kesejahteraan anggotanya. Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan survei dan wawancara tidak terstruktur pada narasumber penggiat perfileman di komunitas untuk menemukan sumber ide penciptaan mereka, hingga proses bagaimana mereka berkarya. Data yang terkumpul akan dianalisis dengan secara deskriptif dengan tujuan bisa menjelaskan fenomena ini yang berasal dari bawah.


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 141
Author(s):  
Gredi Gradana Sembada ◽  
Chandra Renaldi

The cafe business continues to experience significant developments, cafes being a favorite location to gather as part of the community's lifestyle. Currently there are more than ten thousand cafes in all corners of the country. In the 2013-2018 edition, the total revenue of the cafe sector is predicted to increase from USD 3.4 billion to USD 4.16 billion.The lifestyles of urban societies socializing in cafes are made a profit-making opportunity for business people by creating cafes with unique concepts. One of them is Het Huisje cafe. The cafe, which was established in early 2016, is located on Jl. Arif Rahman Hakim no. 9A, Pancoran Mas, Depok. the profit earned by Het Huisje cafe is static, in one month only a 10% increase in profit. Branding activities took the role of the case. The Het Huisje cafe logo that is not yet strongly illustrates the concept of its business. Visual Audit Results from pre-research Designs Audit, Het Huisje cafe logos do not meet the criteria of a good logo. The first phase of the study focused on visual audit on the logo. Methods of data collection using field observation instruments, interviews and questionnaires. Analysis using Design Audit matrix.The results of analysis in addition to being input for the design of promotional strategies are also used as input for the preparation of the design strategy process. The benefits of this research can be considered in making business decisions related to the field of design, so that the resulting design output is judged not only aesthetically, but also can be seen as a strategic step in achieving business goals


Author(s):  
Novian Denny Nugraha ◽  
Sonson Nursholih

The simbol of municipality (big city) in Indonesia is changing from time to time, as well as changing according to the social and cultural conditions of the city. If in colonial era the simbol of the city is a representation of the power of the government or rule, and then the phenomenon is now beginning to change in the current era, where the simbol of the city functioned also for the needs of tourism. In the late Dutch East Indies colonial era around 1930s, some cities were considered to be self-reliant by government and economy, so that the government at that time made a simbol for the need to run the wheels of his government. The interesting phenomenon of the simbol of the city simbolically is the existence of simbols that are displayed, both simbols affiliated to the ruler (Dutch East Indies) and also the simbol that is a typical simbol of the city's local tradition. Composition and relationship between simbols in the city simbol is interesting to be studied and analyzed. Especially at visual structure area and meaning representation. The analysis is done by qualitative research method which is descriptive interpretative with semiotics theory approach for sign analysis and using postcolonial theory for understanding the meaning of the city simbol. The results of the analysis both in the visual structure and in the meaning shows the existence of different types of simbols that appear, as well as the discovery of the difference of simbol dominance in each simbol of the city. The relation between the simbols generated from the composition of the visual structure results in a new understanding, which in the postcolonial perspective will be interpreted by a binary opposition relationship, or the dominant/hegemonic relationship between the colonial government and the colony state, between “The Other” and “The Occident”, or between colonizing and colonized countries. Furthermore, the simbolic relation on the visual structure and meaning resulted in the ideological significance of the sociocultural conditions of the community at that time.


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 183
Author(s):  
Dimas Krisna Aditya
Keyword(s):  

Cerita silat merupakan bagian dari budaya populer Indonesia sejak lama. Cerita silat merupakan salah satu warisan budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia dalam bidang sastra. Berawal dari surat kabar dan majalah, cerita silat pun berkembang pada bentuk budaya populer lainnya, yaitu komik silat. Komik silat Tionghoa sendiri tumbuh sejak tahun 1950-an. Akan tetapi di tahun 1970-an cerita silat dan komik silat pun menjamur hingga akhir 1980-an. Sayangnya visualisasi cerita silat di Indonesia tidak didukung oleh keberadaan referensi budaya karena rezim orde baru melarang segala bentuk literasi dan budaya Tionghoa. Akan tetapi, para perupa visual tetap bisa memainkan imajinasinya dengan kehadiran film-film silat Hong Kong produksi Shaw Brothers di Bioskop. Karena keterbatasan akses informasi, para perupa komik silat hanya mendapatkan referensi dari penerbit berupa poster dan iklan film dari majalah-majalah film. Dengan menggunakan analisis konten dan wawancara yang ada pada metode penelitian kualitatif, serta menggunakan pendekatan kritik seni, tulisan ini akan mengajak kita untuk melihat proses kreasi para perupa komik dan cerita silat dalam berkarya dan menelaah sejauh mana visualisasi poster-poster film Shaw Brothers menjadi referensi dan inspirasi mereka dalam berkarya.


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 177
Author(s):  
Patra Aditia ◽  
Amaliatun Saleha ◽  
Elly Setiawan Sutawikara

Sudah umum diketahui orang bahwa Kota Bandung adalah surga bagi pecinta kuliner. Meski demikian, dalam keragaman tersebut, sulit jika mengatakan bahwa kuliner-kuliner tersebut murni berasal dari Bandung, termasuk ramen. Di Bandung, restoran ramen semakin banyak. Diantaranya yang terkenal adalah Jigoku Ramen, Mie Reman, Ramen House, Nobu Ramen, Udin Ramen, Shifu Ramen, Ramen Cemen, Kuma Ramen, hingga yang dijual di restoran Jepang umum seperti Gokkana Tepan, Suki Soba Restaurant dan Marugame Udon. Berdasarkan observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur terhadap sejumlah restoran ramen di Bandung, maka dapat diperoleh simpulan bahwa “Ramen Bandung” mempunyai pertimbangannya sendiri dalam hal citarasa, terkait dengan selera masyarakat di Kota Bandung pada umumnya yang tidak mengonsumsi daging babi dan tidak terlalu bisa menyesuaikan diri dengan rasa makanan Jepang yang asli. Sehingga dibuat berbagai variasi yang menjauhi rasa “ramen Jepang” yang asli. Selain itu, “Ramen Bandung” mempertahankan hibriditas dalam persoalan estetika restoran dan nama-nama pada menu, dengan cara mempertahankan aspek ke-Jepang-an. Hal tersebut menunjukkan bahwa hal-hal terkait Jepang, di mata masyarakat Kota Bandung, masih merupakan hal yang tinggi, menarik, sekaligus juga berkarakter. Secara estetika, masyarakat tidak perlu bersusah payah untuk mengenali sebuah unsur kebudayaan yang berasal dari Jepang


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 147
Author(s):  
Egi Anwari ◽  
Florencika Mayumi Tawaang
Keyword(s):  

Fungsi kemasan bukan hanya untuk mewadahi produk, namun fungsinya telah bertambah, dan saat ini banyak dimanfaatkan oleh produsen untuk menarik perhatian konsumen. Kemasan makanan dari berbagai brand dipajang di rak-rak pasar swalayan dan saling bersaing untuk merebut perhatian konsumen. Salah satu yang menarik perhatian adalah kemasan keripik kentang Lay's yang terlihat berbeda dan kontras dengan para pesaingnya. Tampilan rupa (visualisasi) kemasan keripik kentang Lay's berubah dari biasanya. Gambar kentang dan tampilan logo yang dominan, diganti dengan foto setengah wajah yang sedang tersenyum. Tampilan foto yang mencolok pada kemasan Lay's ternyata menarik perhatian konsumen untuk melakukan aksi swafoto. Tampak bahwa pihak produsen menangkap perilaku masyarakat yang sedang menyukai swafoto, untuk mengikuti program promosi penjualan (sales promotion) produk keripik kentang Lay's. Daya tarik visual foto wajah pada kemasan Lay's menjadi fokus dalam penelitian ini dan dikaitkan dengan tindakan konsumen untuk melakukan aksi swafoto. Metode analisis visual dikaitkan dengan metode AISAS (Attention, Interest, Search, Action, Share) menjadi acuan dalam penelitian ini, untuk mengetahui bagaimana daya tarik foto mempengaruhi perilaku konsumen untuk melakukan swafoto. Hasil penelitian ini memperlihatkan hubungan antara unsur rupa pada kemasan dan ketertarikan konsumen untuk melakukan aksi. Tampilan foto setengah wajah tersenyum pada kemasan Lay's mampu mengajak konsumen untuk melakukan swafoto dan mengunggahnya ke akun facebook resmi Lay's atau media sosial lainnya.


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 163
Author(s):  
Siti Desintha ◽  
Syarip Hidayat ◽  
Ira Wirasari
Keyword(s):  

Foto jurnalistik menekankan fakta dimana kekuatan berupa ide, gagasan dan naluri kecepatan fotografer dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat. Oscar Matuloh mendokumentasikan jejak gempa tsunami Aceh yang terangkum dalam buku fotografi Soulscape Road. Karya fotografi beliau memberikan gambaran betapa dahsyatnya bencana tsunami yang kemudian menjadi foto essai. Keilmuan fotografi erat kaitannya dengan nilai makna pesan yang terkandung didalamnya. Pada penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti struktur visual dalam fotografi dan mitos karya Oscar Matuloh. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memecahkan masalah perancangan terutama pada desain komunikasi visual mengenai struktur fotografi sebagai media penyampaian pesan yang efektif bagi khalayak sasarannya. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan fotografi sebagai media penyampaian pesan dan pendidikan. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Pemilihan semiotika dikarenakan karya fotografi sejatinya memiliki tanda dan petanda pada setiap visualnya. Adapun tanda dalam fotografi karya Oscar Matuloh merupakan sekuensi kehancuran dan kematian. Karya beliau merupakan sebuah proses perenungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Hal tersebut menjadi mitos bagi manusianya itu sendiri dimana mereka menjadi rapuh, tidak ada tempat aman dan nyaman untuk ditempati.


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 197
Author(s):  
Winona Octora ◽  
Syahril Iskandar

Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap makna dibalik visual iklan televisi Kartu As versi Gulai Otak yang mempromosikan salah satu programnya yaitu Paket Kenyang Internetan Mingguan. Menemukan hubungan antara masakan khas Padang dengan paket data internetan. Pada penelitian ini akan digunakan metode penelitian kualitatif dan analisis deskriptif, dengan pembedahan tanda-tanda yang terdapat pada iklan televisi Kartu As versi Gulai Otak dilakukan dengan menggunakan teori semiotika yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah ditemukan adanya upaya pengalihan tanda dari paket internetan melalui jenis dan istilah pada makanan. Seperti paket internet yang memiliki banyak fasilitas dihubungkan dengan banyak jenis makanan khas Padang yang dikenal secara umum dan terjangkau.


2018 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 113
Author(s):  
Agus Budi Setyawan

Dolalak di Kabupaten Purworejo sebagai salah satu wujud dari seni tradisi kerakyatan, kehadirannya merupakan kelangsungan kehidupan kultural yang sudah berakar secara turun-temurun yang menjadi salah satu perwujudan budaya. Seiring perkembangannya, Dolalak dijadikan sebagai ikon kesenian untuk mendukung aktivitas branding pariwisata yang dilakukan oleh kabupaten Purworejo. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab mengapa kabupaten Purworejo memilih Dolalak sebagai ikon keseniannya; upaya apa saja yang sudah dilakukan oleh kabupaten Purworejo dalam membangun brand Dolalak; serta bagaimana strategi pencitraan yang sudah dilakukan yang meliputi strategi visual dan strategi media. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan etnografi, data penelitian didapatkan melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian mengungkap bahwa Dolalak dipilih sebagai ikon kesenian karena asli dari Purworejo, memiliki keunikan, eksis sampai saat ini, populer dan keberadaannya diterima oleh masyarakat Purworejo. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun brand Dolalak, diantaranya dengan mementaskan Dolalak secara rutin dan mengirim Dolalak untuk mengikuti berbagai festival seni budaya di kabupaten/kota lain serta mengalihwahanakan Dolalak ke dalam berbagai media komunikasi visual. Melalui aktivitas branding yang dilakukan, Dolalak semakin dikenal oleh masyarakat, menguatkan positioning Kabupaten Purworejo, serta turut berperan dalam peningkatan kunjungan wisata di Purworejo.


2018 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 31
Author(s):  
Zaini Ramdhan ◽  
Arif Budiman

Karya trailer animasi pada suatu ketika yang menggambarkan fenomena transformer pada saat itu dan gambaran situasi sosial politik lingkungan masyarakat urban (sub culture) di kota metropolitan karya dari komunitas Lakon Animasi dengan durasi 4 menit. Gambaran representasi yang dikontruksi berdasarkan dari realitas situasi sosial politik pada saat itu menjadi fenomena dan eksistensi jati diri dari pembuatnya (creator). "Pada Suatu Ketika" merupakan salah satu animasi buatan anak negeri yang mampu memadukan dari hasil adaptasi film Transformer dengan unsur kebudayaan lokal di dalam naratif visualnya. Metode yang digunakan yaitu dengan menganalisis data kemudian mendeskripsikannya dengan pendekatan semiotik tentang Television Culture, The Codes of Television, dari Jhon Fiske. Fenomena transformer, mitos UFO dan keadaan sosial masyarakat (sub culture) pinggiran kota metropolitan dikontruksi dari unsur identitas masing-masing pelaku dalam hal ini yang menjadi satu kesatuan dalam penggambaran realitas dari peristiwa yang tersajikan dimana gambaran situasi ditahun 2011 tersebut setidaknya tergambarkan dari imajinasi hasil karya animasi 3D yang menjadi patokan teknologi saat ini. Eksistensi yang direpresentasikan dengan penggambaran naratif situasi sosial politik tahun 2011. Munculnya komunitas-komunitas animasi yang ingin menampilkan eksistensi keberadaanya pada dunia yang memang menjadi syarat penting diera teknologi digital atau bahkan dalam tataran media digital kreatif.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document