Waste Discharge into the Marine Environment. Principles and Guidelines for the Mediterranean Action Plan. Prepared in collaboration with the Institute of Sanitary Engineering, Polytechnic of Milan, Italy. Published under the joint sponsorship of the World Health Organisation and the United Nations Environment Programme.—With 106 figs., 47 tab., 422 pp. Oxford — New York: Pergamon Press 1982. ISBN 0-08-026194-9. £ 40.00, US$ 80.00

1983 ◽  
Vol 68 (6) ◽  
pp. 896-896
Author(s):  
H. Caspers
2013 ◽  
Vol 12 (1) ◽  
pp. 139-143
Author(s):  
Al. Andang L. Binawan

Kehancuran lingkungan ekologis yang makin dirasakan dan disadari banyak pihak akhir-akhir ini telah menimbulkan gelombang perbincangan yang makin memanas, seiring dengan makin panasnya suhu bumi ini. Perbincangan tidak hanya ada pada masyarakat yang langsung terkena dampak kehancuran itu. Sekarang perbincangan itu hampir ada di semua lini sosial, mulai dari hiruk-pikuknya sidang-sidang Perserikatan Bangsa- bangsa sampai ke warung kopi.   Topik yang sering dibicarakan pada umumnya adalah upaya untuk mengurangi dampak kehancuran itu. Di antara topik-topik itu, yang paling panas diperbincangkan, didiskusikan dan diperdebatkan adalah bagaimana sistem ekonomi berperan besar dalam kehancuran ekologis tadi. Prinsip profit-motif dalam dunia ekonomi dipandang mewadahi keserakahan manusia, apalagi kalau sistem hukum yang dibangunnya lebih mengarah ke sistem kapitalisme dan neoliberalisme. Dengan kata lain, diskusi ini menyasar pada perbaikan sistem ekonomi beserta perangkat hukumnya.   Dalam konteks diskusi mencari jalan keluar agar ekonomi bisa (kembali) menjadi ekologis, muncul wacana tentang pembangunan yang berkelanjutan, dan kemudian tentang ekonomi hijau. Diskusi panjang di dunia akademis itu lalu “dilembagakan” oleh UNEP (United Nations Environment Programme) dalam “Green Economy Initiative” pada 2008. Program ini bertujuan untuk mencari dan menerapkan suatu sistem ekonomi yang lebih menjamin kebaikan hidup manusia dan kebaikan kehidupan sosial. Pun, akhir-akhir ini mulai ada perbincangan tentang blue economy yang pendekatannya tampak lebih menyeluruh.   ...........   Dalam upaya merumuskan langkah yang baru dengan pendekatan dan pengandaian baru ini, Schor berusaha lebih konkret dengan memasuk- kan elemen waktu dalam perilaku ekonomis. Hal ini dapat dikatakan baru karena biasanya luput dari perhatian dan analisis. Pentingnya pengelolaan elemen waktu itu antara lain tampak dalam usulannya tentang pentingnya waktu luang bagi diri sendiri maupun keluarga. Inilah unsur penting dari kebaruan gagasan Schor, dan sekaligus membuat gagasannya terasa lebih radikal.   Selain itu, gagasan Schor di atas memang tidak langsung mengritik konsep ekonomi hijau, tetapi cukup jelas bahwa lebih radikal. Selain alasan di atas, dari kacamata ekologis, kepedulian dan prinsip-prinsip yang diusulkan memang tampak lebih ekosentris. Dengan kegiatan ekonomis yang dilakukan secara baru itu manusia diajak menjadi dirinya dalam relasinya dengan yang lain secara lebih utuh. Dengan kata lain, cakrawala ekologis ini menjadi paradigma bertindak, bukan hanya disesuaikan dengan tetap mendapatkan keuntungan ekonomis.   Di samping itu, yang perlu ditambahkan, meski ada dalam buku, penulis, tentu bersama tim-nya, mempublikasikan gagasannya ini secara visual dengan ringkas dan menarik, lalu diunggah di dunia maya, baik sebagai penyebaran gagasan maupun promosi. Klip singkat itu dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=HR-YrD_KB0M, atau dapat dicari di Youtube dengan entry “plenitude” dan “schor.” Sampai tulisan ini dibuat, linkitu sudah dikunjungi 125.324 kali! (Al.AndangL. Binawan, Program Studi Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).


2002 ◽  
Vol 29 (4) ◽  
pp. 411-413 ◽  
Author(s):  
Stefan Gössling

A number of recent publications have pointed out the accelerating speed at which ecosystems and biodiversity are being lost (United Nations Development Programme/United Nations Environment Programme/The World Bank/The World Resources Institute 2000). The general view is that conservation can only be achieved in a global network of protected areas (see Pimm et al. 2001). To safeguard the most important ecosystems, Myers et al. (2000) have suggested that we primarily conserve 25 biodiversity hotspots, in particular forests, comprising 1.4% of the land surface of the Earth. The costs for the conservation of these hotspots have been estimated at US$ 500 million per year (Myers et al. 2000), while the costs of a global network of protected areas may even reach US$ 27.5 billion per year (James et al. 1999). Even though these costs may seem minor compared to, for example, the costs of global armament, governments in developing countries and environmental organizations are clearly not in the position to finance conservation. It is thus urgent to raise additional funds to safeguard biodiversity. In the following, I suggest a twofold strategy, based on tourism.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document