Pekerjaan rumah merupakan seperangkat tugas akademik yang harus dikerjakan saat di rumah agar siswa lebih memahami materi pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya di sekolah (Mujiono, 2021). Pekerjaan rumah penting diberikan agar ilmu yang didapat peserta didik bisa ditindaklanjuti dan dievaluasi oleh pengajar. Jika banyak dari peserta didik mendapatkan nilai yang tidak sesuai target dari pengajar, berarti beberapa peserta didik belum memahami dengan baik materi atau tugas yang diberikan sehingga perlu bimbingan lebih lanjut lewat pengayaan. Implementasi dari pekerjaan rumah yang diterapkan guru kadang terkesan memaksa dan nilai yang didapat akan berpengaruh kepada penilaian akhir siswa. Tidak heran, jika pekerjaan rumah dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi sebagian besar siswa. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh KPAI, didapatkan hasil sebanyak 73,2% peserta didik menganggap tugas yang diberikan adalah beban. Tugas yang paling tidak disukai adalah membuat video (55,5%), menjawab soal banyak mencapai 50 soal (44,5%), merangkum materi (39,4%), dan menyalin soal sebelum menjawab (25,6%) (KPAI, 2020).Limit pekerjaan rumah yang diberikan biasanya juga cukup panjang, sampai pertemuan berikutnya. Walaupun peserta didik saat pemberian pekerjaan rumah senang mendapatkan limit yang panjang, nyatanya hal tersebut mendorong peserta didik untuk menunda mengerjakannya dan memutuskan untuk mengerjakannya di ujung waktu (Saputra, et al., 2020). Hal tersebut mendorong tingkat stress siswa, terutama tugas yang diberikan banyak dan harus diselesaikan dalam waktu singkat. Hadirnya pandemi Covid-19 meluluhlantakkan berbagai bidang, termasuk pendidikan. Hadirnya virus tersebut mengubah proses belajar mengajar dari sebelumnya tradisional menjadi pembelajaran modern secara cepat (Zulhafizh & Permatasari, 2020). Pembelajaran yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka di kelas kini hanya dipertemukan oleh media teknologi. Seiring berjalannya vaksinasi, tren peningkatan kasus positif Covid-19 semakin menurun sehingga sistem pembelajaran diubah bertahap, menjadi sistem blended learning (pembelajaran 2campuran). Penerapan teknologi digital sudah semestinya tetap dipertahankan mengingat tuntan zaman yang semakin berkembang.Sementara itu, bentuk digitalisasi penerapan teknologi paling banyak diterapkan di kalangan pelajar, terutama tingkat menengah, adalah gawai atau smartphone (Aulia & Gartanti, 2021). Lewat smartphone, mereka bisa mengakses berbagai media yang menciptakan korelasi, interaksi, transfer ilmu, ataupun hiburan. Hal tersebut berpotensi bisa dikembangkan dalam dunia pendidikan agar terjadi digitalisasi pendidikan nasional. Digitalisasi pendidikan lewat smartphonebagi pelajar tentu harus dibuat secara efektif dan dikemas secara menarik agar tidak membuat peserta didik justru lebih tertarik menghabiskan waktu saat menggunakan gawai ke hal lain selain pendidikan. Jika hal ini bisa diimplementasikan, akan berpotensi menggantikan upaya digitalisasi pendidikan kepada peserta didik dengan pemberian tugas yang kurang efektif, seperti meminta peserta didik meresume bahan ajar ke bentuk ketikan atau meminta peserta didik membuat makalah sebagai tugas akhir. Gagasan inovatif amat diperlukan dalam digitalisasi pendidikan, khususnya pada pekerjaan rumah peserta didik dengan memanfaatkan QR Code. QR Code saat ini banyak diterapkan dan diterakan di benda konkret untuk didapat informasi tambahan yang bisa diakses dari QR Code tersebut secara digital. Penggunaan QR Code cukup efektif karena mampu memberikan data secara cepat, dan bisa diakses dengan menggunakan smartphone (Leidiyana & Yusuf, 2021). Upaya digitalisasi pendidikan ini diharapkan bisa efektif untuk diterapkan bagi peserta didik di Indonesia.