Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

31
(FIVE YEARS 17)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia

2581-2092, 2581-0952

Author(s):  
Emy Handayani ◽  
Rosnidar Sembiring ◽  
Sryani Br Ginting ◽  
HM Fahmi Al Amruzi ◽  
Sri Warjiyati ◽  
...  

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Prosiding Webinar Asosiasi Pengajar Hukum Adat dengan Tema "Hukum Waris Menurut Adat di Indonesia" yang diselenggarakan Lembaga Studi Hukum Indonesia bekerjasama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan APHA Indonesia dapat kami selesaikan. Webinar Nasional ini dibagi menjadi empat seri dalam 4 minggu, yaitu: Webinar seri 1 pada Minggu ke 1 Bulan Februari 2021 Webinar seri 2 pada Minggu ke 2 Bulan Februari 2021 Webinar seri 3 pada Minggu ke 3 Bulan Februari 2021 Webinar seri 4 pada Minggu ke 4 Bulan Februari 2021 Penyusunan prosiding ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat mengetahui dan memahami berbagai informasi terkait dengan penyelenggaraan seminar nasional tersebut. Informasi yang disajikan dalam prosiding ini meliputi berbagai perkembangan pelaksanaan hukum waris di beberapa daerah di Indonesia.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 1-15
Author(s):  
Ni Nyoman Sukerti ◽  
I G. A. A. Ari Krisnawati ◽  
Journal Manager APHA

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hukum adat waris Bali terkait kedudukan perempuan pasca diadakannya Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali tahun 2010. Permasalahannya adalah (1) Apakah makna dari putusan MUDP tahun 2010?; (2) Bagaimana sikap masyarakat hukum adat Bali terkait putusan MUDP tersebut?. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah sociolegal-reseach, yang diawali dengan penelitian normatif, kemudian penelitian lapangan dengan metode wawancara. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna putusan Pesamuhan Agung III MUDP tahun 2010 mencerminkan makna kesetaraan gender dalam bidang hukum waris. Sikap masyarakat menunjukan ada yang tidak setuju dan setuju terhadap putusan MUDP. Yang tidak setuju memberikan alasan bahw putusan MUDP tidak adil memposisikan anak perempuan sebagai ahli waris, hukum adat mengatur ahli waris adalah keturunan laki-laki dan sentana rajeg, putusan MUDP tidak mencerminkan asas kesebandingan. Yang setuju memberi alasan bahwa putusan MUDP menempatkan anak perempuan dalam mewaris sudah tepat dan adil, berani mengikis hukum adat yang lama mengikat, merupakan terobosan yang luar biasa dan mencerminkan pengakuan hak anak perempuan dalam mewaris.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 83-112
Author(s):  
Dewa Gede Sudika Mangku ◽  
Journal Manager APHA
Keyword(s):  

Indonesia memiliki perbatasan darat dan laut dengan sepuluh negara tetangga. Dasar hukum perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste ialah Convention for the Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor 1904 (Traktat 1904) dan Permanent Court of Arbitration (PCA) 1914. Hal ini merupakan warisan masa Pemerintahan Belanda dan Portugis, di mana pada saat itu Belanda dan Portugis telah membagi Pulau Timor menjadi dua, yaitu Timor Barat yang berpusat di Kupang dan Timor Timur yang berpusat di Dili, termasuk wilayah enclave Oecussi yang berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana peran tokoh adat dalam membantu penyelesaian sengketa perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste di wilayah enclave Oecussi. Setelah dilakukan kajian-kajian yang mendalam diperoleh temuan bahwa dalam Traktat 1904 dan PCA 1914 dinyatakan Belanda menguasai daerah Maucator dan Portugis menguasai wilayah enclave Oecussi, maka dari itu secara otomatis peninggalan pada masa kolonial melekat pada Timor Leste termasuk wilayah enclave Oecussi. Indonesia dan Timor Leste masih menyisakan permasalahan perbatasan di daerah Noel Besi, Bidjael Sunan, serta Subina. Kedua negara terus melakukan upaya negosiasi dan perundingan untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut dengan membentuk Joint Border Committee (JBC) dengan tujuan untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa batas yang dihadapi. Berdasarkan Provisional Agreement tahun 2005 Pasal 6 point (b) yang mengisyaratkan bahwa masyarakat lokal dalam hal ini masyarakat adat/tokoh adat diperbatasan diberikan ruang untuk terlibat dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi di perbatasan kedua negara dengan mengedepankan cara-cara damai dan tanpa kekerasan sesuai dengan Pasal 8 Provisional Agreement tahun 2005, bahwa masyarakat yang mendiami Timor Bagian Barat (Indonesia) dengan masyarakat yang mendiami Timor Bagian Timur (Timor Leste) memiliki latar sosio-kultural yang sama, maka dapat dipastikan bahwa tatanan hukum adat yang berlaku di kedua kelompok masyarakat ini pun sama. Tatanan substansi hukum adat tersebut dapat mengatur tentang masalah pertanahan, serta batas wilayah adat, potensi para Tokoh Adat sebenarnya dapat berperan bernegosiasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 136-162
Author(s):  
Dimas Dwi Arso ◽  
Journal Manager APHA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Dalam penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisa mengenai sistem perkawinan dan pewarisan mengenai masyarakat hukum Adat Rejang di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, yang dilakukan dengan cara mengadakan penelusuran studi bahan pustaka baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier guna memperoleh jawaban mengenai perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang. Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analisis, dalam penelitian ini analisis kualitatif dilakukan dengan metode berpikir deduktif induktif dan sebaliknya untuk mendeskripsikan mengenai sistem perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang di Provinsi Bengkulu. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bagi suku bangsa rejang, upacara perkawinan merupakan tempat untuk menunjukkan kekuatan (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan tanda kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan oleh orang tua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai upacara “melepaskan hutang” kewajiban orang tua terhadap anak. Dalam sistem perkawinan Adat Rejang, suku Rejang menganut sistem perkawinan eleutherogami. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya keharusan atau larangan seperti sistem perkawinan endogami dan sistem perkawinan eksogami. Masyarakat Adat Rejang memiliki sistem kewarisan mayorat dimana penguasaan tunggal atas harta peninggalan ditangan anak tertua laki-laki. Bila anak tersebut menjual atau menggadaikan harta warisan yang belum dibagi, bukan arena suatu kewenangan yang sah, maka tindakan tersebut bisa dituntut oleh saudara-saudaranya yang lain karena pada prinsipnya setiap indvidu memiliki hak mewaris dari harta orang tuanya. Namun dalam perubahannya saat ini, ada pula dalam pembagian warisan pada masyarakat Adat Rejang dilaksanakan dengan sistem pembagian secara individual, yaitu harta warisan dibagi-bagi pada masing-masing individu sebagai ahli waris dan untuk kemudian hari akan berada pada penguasaan dan pengelolaan masing-masing individu ahli waris.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 16-40
Author(s):  
Caritas Woro Murdiati Runggandini ◽  
Journal Manager APHA

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif dilaksanakan dengan mempelajari peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Penelitian empiris difokuskan pada model pemberdayaan masyarakat adat sekitar hutan, dilaksanakan di Propinsi Bali, khususnya pemberdayaan masyarakat oleh Balai Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Data sekunder dan data primer (temuan penelitian empiris) kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat adat sebagai masyarakat desa hutan sekitar TNBB telah memiliki kearifan lokal dalam berinteraksi dengan sumber daya hutan di sekitar mereka, yaitu dalam bentuk awig-awig (peraturan desa adat), juga didukung oleh kelembagaan adat yang masih kuat. Masyarakat tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengharmoniskan antara upaya untuk melindungi sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi, antara lain melalui penamgkaran jalak Bali. Balai TNBB juga telah membantu mensejahterakan masyarakat desa hutan sekitar TNBB dengan memberi ijin masyarakat memenuhi kebutuhan hidup dengan mengambil pakan ternak, tanaman obat, madu lebah. Pengelolaan TNBB dapat berjalan dengan efektif, karena berbasis pada kearifan lokal, serta didukung oleh kelembagaan lokal (desa pekraman/desa adat). Model pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada kearifan lokal, serta didukung oleh kelembagaan lokal dapat membangun hubungan harmonis antara pengelola Taman Nasional dengan masyarakat desa hutan, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan melestarikan hutan.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 61-82
Author(s):  
IGA Gangga Santi Dewi ◽  
Journal Manager APHA

Pemaknaan atas tanah eks kerajaan yang berbeda antara pemerintah dengan pihak kerajaan menjadi salah satu pemicu konflik di Indonesia. Konflik horizontal melibatkan masyarakat, kerajaan dan pemerintah daerah. Begitu pula saat ini banyak terjadi konflik terkait tanah eks Kerajaan yang akhirnya berakhir sengketa di Pengadilan Kota Surakarta yaitu tanah domein Keraton Surakarta dan tanah domein Mangkunegaran. Penelitian dilakukan dengan metode Socio Legal secara kualitatif, diharapkan dapat ditemukan makna-makna yang tersembunyi di balik obyek maupun subyek yang diteliti. Pendekatan ini dilakukan untuk memahami hukum dalam konteks masyarakatnya. Pada penelitian ini melihat fakta realitas berlakunya tanah eks Kerajaan di Surakarta. Realitas belum adanya Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan dalam Diktum IV huruf B UUPA mengakibatkan konflik yang berkepanjangan antara pihak Pemerintah Daerah dan pihak ahli waris kerajaan juga masyarakat yang mempunyai kepentingan atas tanah eks kerajaan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, Kerajaan Surakarta yaitu Keraton beserta Mangkunegaran merupakan masyarakat adat, karena Raja sebagai Ketua adat masih mempunyai daerah teritorial dan keturunan yang sama serta mempunyai kewenangan di dalam dan keluar daerah adatnya, sehingga tanah eks kerajaan berlaku sebagai tanah adat bagi Kerajaan Surakarta.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 113-137
Author(s):  
Andika Prawira Buana ◽  
Journal Manager APHA

Peradilan adat merupakan sebuah lembaga yang memiliki fungsi untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara demi terwujudnya rasa keadilan dalam masyarakat. Peradilan adat sejatinya memiliki tujuan utama untuk mengembalikan keseimbangan sosial dalam masyarakat agar tidak terjadi dendam akibat sengketa. Tujuan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hakikat dan eksistensi peradilan adat di Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peradilan adat sejak dahulu telah ada di Sulawesi Selatan yang tertuang dalam konsep pangngaderreng dengan istilah bicara dan menjadi satu-satunya lembaga dalam menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat. Pasca kemerdekaan peradilan ini tidak lagi diakui dengan alasan demi terwujudnya kesatuan kekuasaan yang mana lembaga peradilan tunduk dalam otoritas hukum negara.


2020 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 41-60
Author(s):  
Yulia Mirwati ◽  
Yontri Faisal ◽  
Zahara Zahara ◽  
Journal Manager APHA

Pasal 3 UUPA mengakui adanya tanah komunal (hak ulayat). Pengakuan hak ulayat ini sudah direncanakan sejak awal penyusunan RUU Agraria nasional, karena itu konsep hukum refomasi agraria ditetapkan dengan hukum adat. Di Sumatera Barat esistensi hak ulayat sampai saat ini masih kuat. Pengalihan hak ulayat tidak bisa secara permanen, hanya bersifat sementara, seperti gadai yang sekarang disebut dengan istilah “Salang Pinjam”, itupun dengan persyaratan yang sangat ketat, karena prinsipnya tanah ulayat itu “jua indak dimakan bali gadai indak dimakan sendo” (tidak bisa diperjual belikan dan gadaipun dengan syarat yang ketat). Pemanfaatan tanah ulayat bagi pihak luar bersifat sementara, dibatasi dengan waktu tidak akan menghilangkan hak ulayat tersebut. Hal ini dalam hukum adatnya disebut “Kabau Pai Kubangan Tingga”, dan ini dilakukan dengan persetujuan masyarakat hukum adat melalui pimpinan adat. Di samping itu di Minangkabau adat istiadat menyatu dengan konsep hukum Islam, hal ini dikukuhkan dalam fatwa: “adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah”. Bersamaan dengan itu maka Lembaga Wakaf juga berkembang baik di Minangkabau. Objek wakafnya salah satunya adalah tanah ulayat, dan peruntukannya terutama untuk tempat ibadah, pendidikan, kesehatan dan lainnya semua masih belum berorientasi kepada pengembangan ekonomi produktif. Dalam pengaturan wakaf di Indonesia tidak terlihat tanah ulayat sebagai objeknya, namun sudah dari dahulunya masyarakat hukum adat Minangkabau melaksanakan wakaf tanah ulayat, meskipun tanpa dilakukan pendaftarannya. Ditelusuri lebih jauh ternyata wakaf tanah ulayat merupakan solusi untuk mengalihkan tanah ulayat secara permanen kepada umat dengan pengelolaan nadzir, karena wakaf tanah ulayat berlaku selamanya.


2020 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 34-62
Author(s):  
Sulastriyono Sulastriyono ◽  
Journal Manager APHA

This article aims to analyze recognition and respect towards adat law community and adat law in Indonesia legal pluralism context; the strength and weakness of adat law as conflict resolution mechanism; model on state recognition and respect towards adat law community and its adat law in order to reduce the weakness of adat law as a tool to resolve conflict. This is a legal normative article which written based on secondary data, such as books, articles, news, research report, and laws. Collected secondary data are selected based on the issues and analyzed qualitatively. Analysis results on descriptive report which explains the issues comprehensively. This article found that (1) In Indonesia legal pluralism context, the state has not recognized and respect adat law community and its adat law wholeheartedly. It is proven by cumulative limitations which hard to be fulfilled by the adat law community in order to be recognized and respected by the state; (2) The strength of non-litigation conflict resolution based of adat law principles is not about win or lose solution, but about win-win solution. Win-win solution has purpose to achieve justice which acceptable to all parties. Win-win solution is obtained based on consensus from conflicting parties until justice is achieved. The weakness of adat law in Indonesia Law context is the fact that Indonesia adopts European Continental system of law, therefore adat law is not the state law. Adat law is understood by understanding the life of the community where adat law is applied. Adat law is implemented voluntarily, without any force from the state. The weakness of adat law as tool of conflict resolution is the dependency towards good faith between parties. The decision cannot be implemented, unless there is good faith from the conflicting parties; (3) model of adat law community and its adat law recognition and respect is synergic combination model between self declaratory by the adat law community and decisive state recognition with strict limitation which hard to be implemented by the adat law community.


2020 ◽  
Vol 1 (1) ◽  
pp. 146-173
Author(s):  
Jeane Neltje Saly ◽  
Journal Manager APHA

There are two aims of this paper: first to analyze the responsibility of the government in the commitment to protect the rights of indigenous and tribal peoples in natural resource management activities; secondly, to analyze the implementation of government responsibilities in mining management in relation to the rights of indigenous and tribal peoples in enjoying their rights in the ecosystem, such as the environment. The method used in the research is empirical normative method, namely research that emphasizes the secondary data that is by studying and reviewing the principles of law and positive law principles derived from the existing literature materials in legislation and the provisions especially in relation to the exclusion of indigenous people's rights in the obligation of the state to create a healthy environment for the management of natural resources as a manifestation of human rights protection, and supplemented by empirical data in the form of interviews with related parties in Balaesang Tanjung Donggala District. The results show that natural resource management activities, linked to indigenous and tribal peoples' rights in environmental protection are regulated in various laws, both nationally and internationally. Implementation of government responsibility in mining management is related to the right of customary law community in enjoying the environment has not been optimally done. From the case of Balaesang Tanjung Donggala, it is envisaged that local governments ignore the rights of indigenous and tribal peoples in enjoying a healthy environment.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document