Res Judicata
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

23
(FIVE YEARS 13)

H-INDEX

1
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Muhammadiyah Pontianak

2621-1602, 2622-1888

Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 288
Author(s):  
Iskandar Laka

The definition of property in marriage according to Law Number 1 of 1974 concerning marriage is abbreviated (Law No. 1 Year 1974) in Article 35 states that the property obtained in marriage becomes a joint asset, while the subordinate assets of each husband or wife and property acquired by each husband or wife as a gift or inheritance under their respective supervision insofar as the parties do not determine otherwise. According to Article 37 of Law Number 1 Year 1974 concerning abbreviated marriage (Law No. 1 Year 1974), it is explained that: "If marriage breaks out due to divorce, joint assets are regulated according to their respective laws, while for legal matters this marriage property often gets less attention in a marriage. The law of marital property has only recently received attention after a dispute between husband and wife who have broken up in marriage, so that in order to solve the problem of the marriage property an institution which is in it is needed to solve the problem, namely the Religious Court.


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 259
Author(s):  
Rifqi Ridlo Phahlevy ◽  
Maghfiroh .

Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 311
Author(s):  
Rangga Dwi Prasetya ◽  
Hatta Isnaini Wahyu Utomo

Management Rights Title is the right to control over the land from the state authority delegated to the holder partial implementation. Land with Management Rights Title may be granted to another party one through Building Rights Title. The whole provisions governing Building Rights Title generally applies to Building Rights Title on the land Management Right Title. No Regulation Legislation that specifically regulates the building standing on the Management Rights raises the issue of how if Building Rights Title will serve as collateral and then how protection for creditors at the time of going to execute if the party becomes the debtor defaults.


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 325
Author(s):  
Denie Amiruddin ◽  
Nina Niken Lestari
Keyword(s):  

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, telah memberikah hak otonomi kepada Pemerintahan Desa berdasarkan hak asal usul sesuai dengan adat istiadat dan tradisi desa yang bersangkutan. Sebagai pemerintah desa, salah satu wewenang kepala desa adalah menetapkan Peraturan Desa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berhak mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa (Pasal 26 ayat (3) huruf b UU Desa). Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.Bersandar dari apa yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang: Bagaimana peraturan desa itu dibentuk, apakah sudah memenuhi asas formal dan asas material hukum? Seberapa banyak peraturan desa itu dibentuk dalam satu tahun? Dan peraturan dalam bidang-bidang apa saja yang diatur? Dan bagaimana proses pembentukan peraturan desa yang telah dilakukan?Penelitian hukum ini menggunakan penelitian hukum empiris (sosiologis), hal ini disebabkan karena objek penelitian ini merupakan kajian hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual behavior) sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat. Sedangkan data yang digunakan adalah data primer, data yang diperoleh langsung dari aparat perangkat pemerintahan desa dengan cara wawancara (deep interview), observasi, kuesioner, dan lain-lain. Tujuan kajian hukum empiris ini nanti adalah deskriptif, ekplanatif (memahami), prediktif, dengan bentuk analisis kuantitatif (kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka).Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, telah memberikah hak otonomi kepada Pemerintahan Desa berdasarkan hak asal usul sesuai dengan adat istiadat dan tradisi desa yang bersangkutan. Sebagai pemerintah desa, salah satu wewenang kepala desa adalah menetapkan Peraturan Desa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berhak mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa (Pasal 26 ayat (3) huruf b UU Desa). Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.Bersandar dari apa yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang: Bagaimana peraturan desa itu dibentuk, apakah sudah memenuhi asas formal dan asas material hukum? Seberapa banyak peraturan desa itu dibentuk dalam satu tahun? Dan peraturan dalam bidang-bidang apa saja yang diatur? Dan bagaimana proses pembentukan peraturan desa yang telah dilakukan?Penelitian hukum ini menggunakan penelitian hukum empiris (sosiologis), hal ini disebabkan karena objek penelitian ini merupakan kajian hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual behavior) sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat. Sedangkan data yang digunakan adalah data primer, data yang diperoleh langsung dari aparat perangkat pemerintahan desa dengan cara wawancara (deep interview), observasi, kuesioner, dan lain-lain. Tujuan kajian hukum empiris ini nanti adalah deskriptif, ekplanatif (memahami), prediktif, dengan bentuk analisis kuantitatif (kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka).


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 299
Author(s):  
Mita Dwijayanti

Customary disputes are part of customary conflicts, whether the subjects are individuals or groups of people as a community, known as indigenous peoples in the form of traditional banjars. Based on article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD NRI 1945) that the Indonesian nation is a rule of law, the consequence of a rule of law in Indonesia is that everything must be regulated in law. The enactment of written law in Indonesia causes the recognition of the rights of indigenous peoples in Indonesia to be recognized in writing in the Constitution, namely Article 18 B of the 1945 Constitution. If referring to article 18B paragraph (2) which formulates "the State recognizes and respects traditional law units along with their traditional rights as long as they are still alive and in accordance with the development of society and the principles of the unitary state of the Republic of Indonesia, which are regulated by Law then basically customary law community unit is a legal subject that can carry out legal actions. The ability to carry out legal actions by indigenous peoples has an impact on the legal consequences.


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 276
Author(s):  
Ihwanul Muttaqin

Government control against corruption eradication in Indonesia is a form of overall supervision by the government of corruptors who want to undermine the country's finances, and can be as an effort to eradicate corruption in Indonesia to its roots. This study analyzes government control in the fight against corruption. This research is a normative legal research using a statutory approach and conceptual approach. The results showed that corruption should be classified as a crime whose eradication must be carried out extraordinarily. The function of government control in eradicating corruption is very much expected in the eradication of corruption in Indonesia, which is already rampant, namely the formation of the Corruption Eradication Commission (KPK).


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 1 (2) ◽  
pp. 140
Author(s):  
Anshari Anshari ◽  
M. Fajrin

Di tengah lajunya jaringan komunikasi di dunia, segala macam bentuk informasi demikian cepat, mudah, atau gambang didapatkan. Kurangnya filter terhadap informasi yang berkembang mengakibatkan kecemasan masal akan dampak dari benturan-benturan kepentingan (conflict of interest) pada masyarakat dunia (international community). Dampak konkrit dari benturan tersebut adalah stabilitas keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat di suatu Negara, yang mana salah satu penyebabnya adalah Ujaran Kebencian (Hate Speech). Hal ini patut menjadi perhatian serius oleh Pemerintah (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) sebagai penjaga pilar demokrasi dalam kehidupan berbangsa. Diskursus soal ujaran kebencian yang menjadi perhatian di Indonesia beberapa tahun belakangan ini semakin krusial, seiring berjalannya penegakan hukum dan perlindungan atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan komitmen bersama rakyat Indonesia kepada dunia. Semua pihak sepakat bahwa ujaran kebencian memiliki dampak terhadap harkat dan martabat manusia serta dalam aspek kemanusiaan. Ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, penghasutan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan adalah pemusnahan atau pembantaian terhadap suatu kelompok baik itu dalam aspek budaya, etnis, ras, dan agama yang menjadi sasaran ujaran kebencian. Dalam beberapa tahun terakhir (2015-2017) telah terjadi banyak pelaporan terhadap kasus ujaran kebencian, baik di Indonesia secara umum, maupun di Kalimantan Barat. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu institusi penegak hukum di Indonesia yang berkomitmen untuk mencegah dan menegakkan hukum terhadap aspek ujaran kebencian ini. Komitmen tersebut diejawantahkan melalui Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Namun, dalam penegakan hukum seringkali ditemukan ketidakseimbangan dalam penanganan sebuah perkara oleh Penyidik/Penyelidik di Institusi Kepolisian. Beberapa kasus yang menjadi konsumsi publik, seringkali ditemukan berhenti di tengah jalan terhadap kasus-kasus tersebut. Tidak lagi terdengar tindak lanjut sampai dengan tahap ajudikasi. Maka dari itu penting untuk dilakukan penelitian terhadap bagaimana proses penetapan tindak pidana ujaran kebencian di Indonesia, khususnya d Kalimantan Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur penetapan adanya tindak pidana ujaran kebencian di Polda Kalimantan Barat, dengan terpublikasinya beberapa kasus pelaporan terhadap dugaan tindak pidana tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat socio-legal research, dengan menggunakan dan mengkaji norma hukum yang berlaku dihubungkan dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian.


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 243
Author(s):  
Tri Atika Febriany ◽  
Heru Yudi Kurniawan

Hukum Acara merupakan salah satu mata kuliah yang mendukung kemahiran calon sarjana hukum dalam tata cara beracara. Sebagai mata kuliah pembuka yang kemudian akan dilanjutkan dengan Praktek Latihan Kemahiran Hukum atau PLKH mahasiswa dapat memahami bagaimana teori serta praktik beracara. Timbul suatu persoalan yang mana dalam suatu teori beracara yang panjang tetapi tidak dapat memiliki suatu visualisasi yang baik. Untuk itu dirasa perlu memberikan gambaran bagaimana jalannya persidangan, dengan pemberian media berlajar dalam bentuk Video. Melakukan perekaman pada jalannya persidangan diperbolehkan sebagaimana pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan. Sesungguhnya memperoleh Video Persidangan tidaklah sukar di zaman sekarang, kemudahan akses internet dan media sosial “youtube” telah memberikan akses secara gratis, akan tetapi hal ini tidak akan menambah khazanah keotentikan hak cipta, serta tidak dapat memberikan kesempatan calon sarjana hukum UM Pontianak menambah dan mengasah kemampuan kemahiran dibidang beracara dimuka pengadilan.


Res Judicata ◽  
2019 ◽  
Vol 2 (1) ◽  
pp. 200
Author(s):  
Rezky Muharjo ◽  
Habib Adjie

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document