Assessment of Agricultural Innovation Transfer System in The Decentralization Era

2016 ◽  
Vol 20 (2) ◽  
pp. 31
Author(s):  
Fawzia Sulaiman

<p><strong>English<br /></strong>The slow process of technology transfer, which is suitable to the bio-physic and social economic of its intended users, has been realized as a serious impediment in the acceleration of agricultural development. In this decentralization era, the agricultural innovation transfer system becomes more complex that needs an adjustment to the changing strategic environment, which is specific to each respective regional area. The initiation of the Agency for Agricultural Research and Development in the establishment of the Assessment Institute for Agricultural Technology (AIAT) at the provincial level in 1994 intended to decentralize agricultural research and development. However after seven years of the AIAT establishment, the availability of specific agro-ecosystem technologies at the field level is still limited. The centralistic approach in the implementation of agricultural development in the last three decades and the weak linkage among institutions dealing with agricultural innovation transfer are considered to be the main impediments for an effective agricultural innovation transfer system. The implementation of decentralization policy in early 2001 has resulted in several fundamental changes in the organizational structure and management of government institutions dealing with agricultural innovation transfer. These changes have increased the ineffectiveness of extension organization and personnel. For this reason, deliberate efforts to strengthen the linkage among institutions that have extension function and the revitalization of extension organization and personnel, are badly needed, especially at the district level. The implementation of decentralization in agricultural development, including in agricultural innovation transfer, needs appropriate preparation and deliberate efforts from regional (provincial and district) administrators and central bureaucracies, whereas mutual support and reinforcement toward each other are the prerequisite to decentralization success. The purpose of this study was to identify the performance of agricultural innovation transfer system in the early implementation stage of the decentralization policy.</p><p> </p><p><strong>Indonesian<br /></strong>Proses alih inovasi pertanian yang sesuai dengan kondisi bio-fisik, sosial ekonomi petani dan budaya setempat yang masih berjalan lambat telah lama di sadari sebagai hambatan dalam upaya akselerasi pembangunan pertanian. Pada era desentralisasi, sistem alih inovasi pertanian menjadi lebih komplek dan perlu pendekatan yang disesuaikan dengan lingkungan strategis yang ada dan sangat bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di tingkat regional/ provinsi pada tahun 1994 merupakan realisasi kebijaksanaan desentralisasi/regionalisasi dan penelitian pengembangan pertanian yang diinisiasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Walaupun demikian, setelah lebih dari tujuh tahun didirikannya BPTP, ternyata ketersediaan teknologi tepat guna spesifik agroekosistem yang sesuai dengan kebutuhan petani masih terbatas. Lemahnya keterkaitan antarv berbagai lembaga yang mengemban fungsi alih inovasi pertanian, termasuk kelembagaan tani, serta pendekatan sentralistik di dalam pembangunan pertanian selama lebih dari tiga dekade dianggap sebagai faktor penghambat utama dari efektifitas sistem alih inovasi pertanian. Implementasi kebijaksanaan desentralisasi pada awal tahun 2001 telah mengakibatkan perubahan mendasar dari struktur organisasi dan manajemen institusi pemerintah yang mengemban fungsi penyuluhan pertanian. Perubahan dasar ini telah ,mengakibatkan kinerja dari sebagian besar organisasi dan personal penyuluh pertanian di tingkat provinsi dan kabupaten sangat menurun. Koordinasi yang efektif antar institusi yang mengemban fungsi penyuluhan, dan revitalisasi organisasi dan personal penyuluhan perlu memperoleh perhatian yang serius, terutama dari para penentu kebijaksanaan Pemerintah Daerah Tingkat II. Pada penerapan kebijaksanaan otonomi daera(OTDA) di dalam pembangunan pertanian, termasuk di dalam penyelenggaraan alih inovasi pertanian, diperlukan persiapan yang matang dan komitmen dari para penentu kebijaksanaan serta administrator di tingkat Daerah maupun Pusat. Penerapan kebijaksanaan desentralisasi, termasuk di dalam alih inovasi dan teknologi pertanian, akan berhasil bila ada upaya khusus untuk saling mendukung antar institusi terkait. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengidentifikasi kinerja dari sistem alih iovasi pertanian pada awal penerapan kebijaksanaan desentralisasi.</p>

2016 ◽  
Vol 17 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Tri Pranadji ◽  
Pantjar Simatupang

<p><strong>English<br /></strong>As a respons to meet globalization challenges in the 21st century, agricultural modernization is considered as agribusiness adjustment process to the latest development of science and technology. In other words, agricultural modernization can be seen as ''cathing-up" process of less developed agriculture toward converging stage of agricultural development between countries or between regions within a country. Without being realized, "modernization" and "development" are often treated as too different concepts. Agricultural modernization is not always in-line with even sometimes inhibits agricultural development. Accordingly, agricultural modernization must be planned, managed, and controlled to make it in harmony with and hence condusive for agricultural development. This implies that agricultural modernization must be treated as an instrument of agricultural development. The agency for agricultural research and development (AARD) plays strategic roles for that purpose. Accordingly, the AARD should change its research strategy from "supply side approach" to "client oriented approach". The AARD programs should include three main activities: research intelligence, link and match, and intitutional coordination.</p><p> </p><p><strong>Indonesian</strong><br />Dipandang dari konsepsi untuk menghadapi tantangan globalisasi abad 21, modernisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi (pembaharuan) sektor agribisnis sehingga sesuai dengan tahapan perkembangan masa kini (up to date) temu dan teknologi serta lingkungan strategis. Dengan perkataan lain, modernisasi pertanian dapat dipandang sebagai proses untuk mensejajarkan tahapan pembangunan pertanian kita dengan pembangunan pertanian di negara-negara maju, yang sekaligus juga pemacuan dan pensejajaran pembungan antar wilayah provinsi, Walaupun kurang disadari secara kritis, modernisasi dan pembangunan hingga kini masih merupakan dua konsep yang berbeda. Modernisasi pertanian yang berjalan hingga dewasa ini tidak selalu seiring dengan pembangunan, dan (dalam beberapa hal) malah dapat berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian. Oleh karena itu modernisasi pertanian tersebut haruslah direncanakan, dikelola dan dikendalikan sehingga seiring dan kondusif dengan pembangunan pertanian. Dengan perkataan lain, modernisasi pertanian harus dijadikan sebagai instrumen pembangunan pertanian. Badan Litbang Pertanian memegang peranan strategis dalam upaya menjadikan modernisasi pertanian sebagai instrumen pembangunan pertanian. Untuk mengisi peran strategis yang diembannya dalam pembangunan pertanian maka Badan Litbang Pertanian disarankan merubah strateginya dari pendekatan produksi Iptek (supply side approach) menjadi pendekatan klien (client oriented approach). Sehubungan dengan itu Badan Litbang Pertanian perlu melakukan tiga kegiatan pokok yaitu: intelegen penelitian (research intelegent), keterkaitan dan keterpaduan (link and match) dengan masyarakat agribisnis, dan forum koordinasi dengan instansi pemerintah terkait.</p>


Author(s):  
Charles B. Moss ◽  
Andrew Schmitz

Abstract The question of how to allocate scarce agricultural research and development dollars is significant for developing countries. Historically, benefit/cost analysis has been the standard for comparing the relative benefits of alternative investments. We examine the potential of shifting the implicit equal weights approach to benefit/cost analysis, as well as how a systematic variation in welfare weights may affect different groups important to policy makers. For example, in the case of Rwandan coffee, a shift in the welfare weights that would favor small coffee producers in Rwanda over foreign consumers of Rwandan coffee would increase the support for investments in small producer coffee projects. Generally, changes in welfare weights alter the ordering for selecting investments across alternative projects.


2010 ◽  
pp. 47-64
Author(s):  
Song Yiching ◽  
Zhang Shihuang ◽  
Huang Kaijian ◽  
Qin Lanqiun ◽  
Li Jingsong ◽  
...  

Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document