scholarly journals Aspek Hukum Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri dalam Negeri Pasca Kesepakatan Perdagangan Regional Afta-China

2019 ◽  
Vol 19 (2) ◽  
pp. 137
Author(s):  
Halimatul Maryani ◽  
Adawiyah Nasution

Pada prinsipnya konsep dasar perdagangan bebas merupakan penghilangan hambatan-hambatan dalam  proses perdagangan internasional, namun yang menjadi isu hukum dalam kajian ini adalah bahwa suatu perdagangan bebas dalam skala sistem multilateral World Trade Organization  disingkat dengan WTO sedikit terkendala dan tidak berjalan dengan baik sesuai dengan harapan, sehingga mulailah suatu negara itu membentuk blok perdagangan secara regional misalnya ASEAN, AFTA, termasuk  ACFTA yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara langsung dan meningkatkan kemajuan pertumbuhan ekonomi dalam skala regional dengan lebih berkembang serta meningkatkan kemajuan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini berawal  dari hasil penelitian adalah menggunakan metode penelitian yuridis normative dan kajian yang dianalisis ini berawal sejak 1 Januari 2010, negara  China dipastikan telah bergabung dalam kesepakatan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian Nation and The People’s Republic of China  (Asean-China) dan telah  ditandatangani Presiden Republik Indonesia waktu itu Megawati di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Novenber 2002, serta telah diratifikasi  melalui Keputusan Presiden No.48 Tahun 2004, dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karena itu, dasar hukum berlakunya kesepakatan perdagangan regional dalam ketentuan World Trade Organization  atau WTO diperbolehkan dalam pasal 24 GATT, dengan beberapa kebijakan yang dilakukan  pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri terhadap  dampak negatif dari pelaksanaan perdagangan bebas regional, sesuai dengan prinsip transparansi, kejujuran dan harus ditetapkan dalam satu kaidah

2015 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 91
Author(s):  
Floribeth Mora ◽  
Ana Abdelnour ◽  
Franklin Herrera ◽  
Joaquín Salazar

The admission of Costa Rica into the World Trade Organization, and the subscription of the Bilateral Free Trade Agreement with Mexico and the agreements with other Central American countries brought about important changes in bean commercialization in Costa Rica. This partly resulted in the creation of CCCRL as an alternative for bean commercialization. Operation and viability of this Consortium are analyzed under the new conditions for the commercialization of agricultural and arming products, both at a national and international level. Agroecological crop conditions are also examined, as well as the socio-economic and cultural characteristics of the population involved in bean production, and their possible influence on CCCRL viability.


2018 ◽  
Author(s):  
Muhammad Rivandi

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatunegara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yangdimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individudengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negaralain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untukmeningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun ,dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abadbelakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuantransportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Salah satu PerdaganganInternasional yaitu perdagangan Indonesia dengan Asean-China Free Trade Agreement(ACFTA).Dalam membentuk ACFTA, para Kepala Negara Anggota ASEAN dan China telahmenandatangani ASEAN-China Comprehensive Economic Coorperation pada tanggal 6November 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal prosespembentukan ACFTA para Kepala Negara kedua pihak menandatangani FrameworkAgreement on Comprehensive Economic Coorperation Between the ASEAN and People’sRepublic of China di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002. Protokolperubahan Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali,Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTAmelalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.Kebijakan-kebijakan terus dibuat oleh pemerintah dan bekerjasamaga denganACFTA mereka membuat kebijakan penghapusan bea masuk atau tarif menjadi 0% sehinggakedua belah pihak dalam mengekspor produk mereka ke dalam negeri suatu negara dapatbebas tarif masuk, sehingga kedua belah pihak dapat memberikan harga murah kepadakonsumen. Pelaksanaan penghapusan tarif dibagi dalam 3 tahapan yaitu Early HarvestProgramme (EHP), Normal Track dan Sensitif Track.Pelaksanaan tarif 0% membuat pemerintah merencanakan strategi dalammengimbangi produk dalam negri Indonesia dapat bersaing dengan produk China, sehinggapara para Indusri dan UKM dapat berkreasi dan memberikan kualitas terbaik terhadap produkmereka dengan harga yang terjangkau dengan pendapatan masyarakatKebijakan-kebijakan yang dibuat pasti mengundang pro dan kontra terhadapkebijakan pelaksanaan tarif 0%, kebijakan tersebut juga mempunyai dampak positif dannegatif terhadap pelaksanaan tarif 0% terhadap perekonomian Indonesia,dampak daripelaksanaan kebijakan tersebut dirasakan oleh Para Industri dan UKM dalam negri kalahbersaing dengan produk China, mereka menjual dengan harga murah dan harga produk dalamnegri lumayan mahal.Pelaksanaan tarif 0% dari kebijakan ACFTA memberikan dampak terhadapperkonomian Indonesia, oleh karena itu, penulis ingin mengetahui bagaimana Strategi dandampak pelaksanaan Tarif 0% ACFTA terhadap perekonomian Indonesia.


Con-texto ◽  
2015 ◽  
pp. 77
Author(s):  
Kevin J. Fandl

<p>This article brings to the attention of those public servants involved in the design and negotiation of free trade agreements between the United States and developing countries, such as Colombia, the potential benefits and drawbacks of negotiating in a bilateral forum. Rather than critiquing the free trade agreement for its particular provisions, this article examines the U.S. policy of negotiating bilaterally with developing countries as opposed to multilaterally in the world trade system and what effects such an approach might have on the economic development of the latter. Using an incremental policy analysis, the article critiques the bilateral approach in terms of economic development and fair trade negotiations using the recent Colombia-U.S. trade agreement as a case study. The article concludes that a bilateral approach that is disconnected from a broader multilateral context may be detrimental to developing countries and recommends increased oversight of such agreements by the World Trade Organization to ensure a higher degree of fairness.</p>


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document