TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

29
(FIVE YEARS 16)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

2775-5339, 2620-4185

2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Nuraini Nuraini ◽  
Husniyani Husniyani

Masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa fitnah merupakan perkataan bohong atau tuduhan tanpa dasar kebenaran. Perkataan atau tuduhan tersebut disebarkan dengan maksud untuk menjelekkan orang lain, seperti merusak nama baik sehingga merugikan kehormatan orang lain. Namun, dalam bahasa Arab makna fitnah berbeda dengan yang difahami oleh masyarakat pada umumnya, dalam bahasa Arab makna fitnah berarti ujian dan cobaan demikian juga makna fitnah dalam al-Qur`an. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana ayat-ayat al-Qur`an menjelaskan tentang fitnah. Dalam al-Qur`an, fitnah disebutkan sebanyak 52 kali dalam 30 surah dengan beragam makna sesuai dengan konteks ayat. Dari penelurusaran terhadap ayat-ayat fitnah secara garis besarnya didapati ada 15 makna kata fitnah dalam al-Qur`an. Makna-makna yang dimaksud adalah syirik, penyesatan, pembunuhan, menghalangi dari jalan Allah, kesesatan, alasan, keputusan, dosa, sakit, sasaran, balasan, ujian, azab, bakar, dan gila. Dari 15 makna kata fitnah dalam al-Qur`an ini, tidak ditemukan makna fitnah sama persis dengan apa yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang bermakna menyebar berita bohong untuk menjelekan nama seseorang.


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 47
Author(s):  
Muhammad Zaini ◽  
Nurlaila Nurlaila ◽  
Nurshadiqah Fiqria

Setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dalam pembahasan ini, pemimpin yang dimaksudkan adalah seseorang yang diunggulkan dan dipilih oleh masyarakat untuk memangku tongkat kekuasaan atau kepemimpinan di dalam wilayah tertentu. Dalam hal ini, al-Qur`an sudah memaparkan beberapa kriteria dalam memilih pemimpin. Akan tetapi, masyarakat tidak terlalu memerhatikan kriteria tersebut ketika memilih pemimpin. Pembahasan ini akan berfokus pada sejauhmana pemahaman masyarakat Kemukiman Lamgarot mengenai kriteria pemimpin serta aplikasinya dalam memilih dan menentukan pemimpin. Penulis menemukan kriteria pemimpin yang disebutkan dalam al-Qur`an adalah Islam (QS. al-Ma`idah (5): 51, adil dan amanah (QS. al-Nisa` (4): 58, dan kuat (QS. al-Qashash (28): 26. Secara garis besar, masyarakat Kemukiman Lamgarot sudah memahami kriteria pemimpin seperti yang dijelaskan di dalam al-Qur`an. Hanya saja, dari segi aplikasinya, baru sebagian masyarakat yang menerapkan pemahaman mereka


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 137
Author(s):  
Husna Amin ◽  
Saiful Akmal

This study tries to explain the verses of the Qur'an which are often used as triggers for the emergence of radical actions. Most of the verses are verses of jihad and qital. The verses in text meaning symbolize something hard, because the meaning of jihad  is serious while qital means killing. However, if a deeper study is carried out, will be found that the meaning of the verse cannot be seen only textually but also must look at environmental factors when the verse was revealed and the politics at that time. Then the Arabic word has a meaning that varies according to the context of the discussion. Then the word qital does mean to kill, but the verses that contain the word can not only be seen from the outward meaning but also reviewing the historical and sociological because al-Qur'an came down gradually according to circumstances and needs of people.Studi ini mencoba untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang sering digunakan sebagai pemantik terhadap munculnya tindakan radikal. Sebagian besar ayat-ayat itu ialah ayat yang di dalamnya terdapat  kata jihad dan qital. Ayat ayat tersebut secara makna zahirnya memang melambangkan sesuatu yang bersifat keras, karena makna jihad adalah bersungguh-sungguh sedangkan qital bermakna membunuh.  Namun, jika dilakukan penelitian lebih dalam maka akan didapati bahwa makna ayat tersebut tidak bisa dilihat secara tekstual saja tapi juga harus melihat faktor lingkungan ketika ayat tersebut diturunkan, perpolitikan pada masa itu dan kaidah-kaidah ulumul qur’an sebagai acuan dalam penafsiran. Dalam bahasa Arab  ada kata yang mempunyai makna yang beragam sesuai dengan konteks pembahasan. Kata qital memang berarti membunuh, namun ayat-ayat yang mengandung kata tersebut tidak bisa hanya dilihat dari makna lahiriah saja tetapi juga meninjau jejak histrori dan sosiologi waktu itu karena al-Qur’an itu turun secara berangsur-angsur sesuai dengan keadaan dan keperluan umat. 


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 21
Author(s):  
Fahrudin Fahrudin
Keyword(s):  

This article aims to conduct further study of the narrative of human creation, in this case it is about the land which is the basis of human creation. The Qur'an uses four words that indicate the meaning  of  'land' in verses that speak of human creation, namely ardh, turab, shalshal and thin. But the main focus of this article is to see the meaning behind the word thin in the Qur'an using the Roland Barthes semiology approach. With Barthes's semiology we can find the first level meaning of the word thin and the meaning of the second level (myth/connotation). At the first level of meaning it is found that signifier I: thin, signified I: land mixed with water, and sign I: thin as material for human creation. Whereas the second level of meaning is found that signifier I: thin as material for human creation (sign I), signified II: thin makes humans and Satan physically and existence distinct. Also Satan feels more noble than humans so that thin is the reason why Satan does not want to prostrate to humans, and sign II: the perfection of God's power is able to create humans from material, according to Satan is inferior even dirty, but actually better than material creation of the devil.  Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk melakukan kajian lebih jauh tentang narasi penciptaan manusia, dalam hal ini adalah tentang tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan manusia. Al-Qur’an menggunakan empat kata yang menunjukkan makna ‘tanah’ dalam ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan manusia, yaitu ardh, turab, shalshal dan thin. Namun, fokus utama artikel ini adalah melihat makna di balik kata thin dalam al-Qur’an menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Dengan semiologi Barthes ini dapat ditemukan makna tingkat pertama kata thin dan makna tingkat keduanya (mitos/konotasi). Pada makna tingkat pertama ditemukan bahwa Penanda I: thin, Petanda I: tanah yang bercampur dengan air, dan Tanda I: thin sebagai bahan penciptaan manusia. Sedangkan makna tingkat kedua ditemukan bahwa Penanda I: thin sebagai bahan penciptaan manusia (tanda I), Petanda II: thin menjadikan manusia dan Iblis berbeda fisik dan eksistensi. Juga Iblis merasa lebih mulia dari manusia sehingga thin menjadi alasan mengapa Iblis tidak mau bersujud kepada manusia, dan Tanda II: kesempurnaan kekuasaan Allah yang mampu menciptakan manusia dari bahan yang menurut Iblis sifatnya rendah bahkan kotor, namun justru lebih baik dari bahan penciptaan Iblis.


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 60
Author(s):  
Samsul Bahri ◽  
Isra Wahyuni

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dengan berinteraksi dan bermasyarakat. Dalam al-Qur`an, Allah Swt memerintahkan manusia untuk berkomunikasi menggunakan perkataan yang baik dan mulia. Pada kenyataannya, sering terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan retaknya sebuah hubungan yang disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif. Oleh sebab itu, perlu adanya metode dalam proses komunikasi yang bertujuan agar terjalin komunikasi yang baik. Perintah untuk berkata dengan efektif terdapat dalam al-Qur`an dan hadis yang harus diaplikasikan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Metode tersebut dikenal dengan istilah qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, dan qaulan ma’rūfan. Apabila komunikasi terjalin dengan baik antara komunikator dengan komunikan, maka akan melahirkan hubungan yang harmonis, keduanya akan saling memahami, menghargai, dan menghormati sehingga menumbuhkan rasa senang antara keduanya.


2021 ◽  
Vol 6 (1) ◽  
pp. 37
Author(s):  
Zainuddin Zainuddin ◽  
Zyaul Haqqi

Dayah Ummul Ayman merupakan salah satu dayah terbesar di Aceh. Pembelajaran tafsir pada dayah ini dilakukan melalui kurikulum dayah yang disesuaikan dengan kemampuan santri. Standarisasi pengajaran didasari pada rancangan mata pelajaran tafsir yang diajarkan menurut tingkat kemampuan belajar santri. Atas dasar fenomena tersebut, ada tiga persoalan yang dibahas dalam kajian ini; pertama, bagaimana pola pembelajaran tafsir yang digunakan pada Dayah Ummul Ayman; kedua, bagaimana pemahaman santri Dayah Ummul Ayman dalam memahami tafsir; ketiga, bagaimana peluang dan tantangan kemampuan santri dalam menerapkan pembelajaran tafsir pada Dayah Ummul Ayman. Tulisan ini menunjukkan bahwa pembelajaran tafsir di Dayah Ummul Ayman dilaksanakan dengan belajar secara terpadu dan terpisah, dengan metode belajar seperti tanya jawab, pengulangan dan demontrasi. Pemahaman santri dalam menguasai materi tafsir terbatas pada satu kitab tafsir saja yaitu tafsir al-Jalalain. Santri dan guru (teungku) tidak memiliki kesulitan dalam proses pembelajaran, namun terkadang ada pembahasan yang panjang di luar topik. Tantangan lainnya adalah santri kurang menguasai qawai’d tafsir karena pembelajaran hanya terfokus pada teks kitab tafsir al-Jalalain, terjemahan dan pemahaman yang dijelaskan guru.


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 22
Author(s):  
Salman Abdul Muthalib ◽  
Mushlihul Umam

The application of Islamic Sharia in Aceh should give birth to a tolerant diversity of life, because the qanun covers these procedures, but Aceh is considered to be intolerant of a number of groups, especially institutions that carry out research in the field of diversity, in this article the author wants to examine further the matter of stipulation. Aceh Province seems intolerant, the author examines this case through a document review then the author observes based on the reality that occurs. The result is that the authors assess that there are Non-Muslim people who igNore qanun regulations in the element of building houses of worship that are carried out without obtaining permission and have Not met the terms and conditions stipulated in the Islamic Sharia qanun, apart from these problems, the Acehnese people in general can accept the differences well. social. Therefore, the attitude of caring for unity in carrying out each other's beliefs and obeying and obeying the law of the qanun must be a shared commitment. Reflecting on and practicing the verses of tolerance will foster mutual respect and tolerance among human beings. Abstrak: Penerapan Syariat Islam di Aceh seharusnya melahirkan kehidupan keberagaman yang toleran, karena qanun telah mengcover tata cara tersebut. Tetapi, Aceh dinilai intoleran oleh sejumlah kalangan, terutama lembaga-lembaga yang melakukan riset di bidang keberagaman. Dalam artikel ini, penulis ingin mengkaji lebih lanjut perihal penetapan Provinsi Aceh sebagai daerah yang terkesan intoleran. Penulis mengkaji kasus ini melalui review dokumen dan mengamati realita yang terjadi. Hasilnya, penulis menilai adanya oknum Non-muslim yang mengabaikan peraturan qanun pada pembangunan rumah ibadah yang dilakukan tanpa izin dan belum memenuhi syarat serta ketentuan yang telah diatur dalam qanun Syariat Islam. Terlepas dari permasalahan tersebut, masyarakat Aceh pada umumnya dapat menerima dengan baik perbedaan-perbedaan sosial. Oleh karenanya, sikap merawat persatuan dalam menjalankan keyakinan masing-masing serta patuh dan taat pada hukum qanun haruslah menjadi komitmen bersama. Merenungi serta mengamalkan ayat-ayat toleransi akan menumbuhkan sikap saling menghormati dan tenggang rasa antar umat manusia.


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 126
Author(s):  
Samsul Bahri ◽  
Musdawati Musdawati ◽  
Raudhatul Jinan

is an agrarian country, but in reality food security is apparently still very fragile. The evidence is evident from the large number of people's food imported from abroad. There is still a lot of wrong food management which causes Indonesia to not have food sovereignty. This article discusses food security in the Koran by analyzing Qs. Joseph verses 47-49. This study is qualitative, literature and will conduct a search of Qs. Joseph 47-49. This article found that, first, Qs. Yusuf explained the meaning contained in the interpretation of dreams of the fertile period and famine explained what people must do to maintain food security. Second, the contextualization of Indonesia's food defense includes: Increasing the quality and quantity of agricultural products, environmentally friendly agriculture, proportional consumption, moderation, and knowledge of weather and disasters. Abstrak: Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Indonesia merupakan negara yang agraris, namun ketahanan pangan ternyata masih sangat rapuh. Bukti itu terlihat dari masih banyaknya bahan pangan rakyat yang diimpor dari luar negeri. Masih banyak pengelolaan pangan yang salah sehingga menyebabkan Indonesia tidak mempunyai kedaulatan pangan. Artikel ini membahas tentang ketahanan pangan dalam al-Quran dengan menganalisis QS. Yusuf (12): 47-49. Kajian ini bersifat kualitatif, kepustakaan dan akan melakukan penelusuran ragam penafsiran terhadap QS. Yusuf(12): 47-49. Artikel ini menemukan bahwa, pertama, ayat tersebut menjelaskan makna yang terkandung dalam tafsiran mimpi, terkait masa subur dan paceklik dan menjelaskan apa yang harus dilakukan masyarakat demi menjaga ketahanan pangan. Kedua, kontekstualisasi pertahanan pangan Indonesia meliputi: Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, pertanian ramah lingkungan, konsumsi yang proporsional dan tidak berlebihan, serta pengetahuan tentang cuaca dan bencana. 


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 1
Author(s):  
Syukran Abu Bakar ◽  
Syarifah Maysarah

This article is a research about the word of layta in the Qur’an. Generally, the using of the word of layta in the Qur'an referred to unbelievers when expressing their remorse in the afterlife. However, there are Qur'an verses that use the word of layta referred to the believers and in the context of the world. Due to the variations of this designation, the author feels the need for more in-depth research related to the using of the word of layta in the Qur'an. This research is library research, using content analysis techniques in processing data. The data sources that the authors refer to are Balâghah books such as al-Balâghat al-Wâdhihah, and the book of interpretation. The results of this study can be concluded that the word of layta is mentioned fourteen times in the Qur'an, with three speakers: believers, unbelievers and hypocrites. The meanings that indicated by this word are regret, delusion and good wishes. Then, these meanings are connected with psychology. And the result is that if the pronunciation of this word relies on the believer, it shows a positive meaning, such as a sense of empathy. Conversely, if it relies on other than believers, it has a negative meaning.Abstrak: Tulisan ini merupakan penelitian terhadap lafal layta yang terdapat dalam al-Qur’an. Umumnya, penggunaan lafal layta dalam al-Qur’an disandarkan kepada orang-orang kafir ketika mereka mengungkapkan penyesalannya di akhirat. Namun, ada ayat al-Qur’an yang menggunakan lafal layta dengan disandarkan kepada orang mukmin dan dalam konteks dunia. Berangkat dari adanya variasi penyandaran lafal tersebut, penulis merasa perlu meneliti lebih dalam terkait penggunaan lafal layta di dalam al-Qur’an. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dengan menggunakan teknik analisa isi (content analysis) dalam mengolah data. Sumber data yang penulis rujuk adalah kitab-kitab Balâghah seperti  al-Balâghat al-Wâdhihah dan kitab-kitab tafsir. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lafal layta disebut sebanyak empat belas kali dalam al-Qur’an, yang disandarkan kepada tiga subjek, yaitu mukmin, kafir dan munafik. Makna yang ditunjukkan lafal layta adalah penyesalan, angan-angan dan harapan yang baik. Selanjutnya, makna-makna tersebut dihubungkan dengan ilmu psikologi. Maka, hasil yang didapatkan adalah jika pengucapan lafal ini disandarkan kepada orang mukmin, ia menunjukkan makna positif, seperti rasa empati. Sebaliknya, jika disandarkan kepada selain mukmin, maka ia bermakna negatif.


2020 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 37
Author(s):  
Happy Saputra ◽  
Zaipuri Zaipuri

After Fath of Mecca, polytheists are forbidden to perform hajj and umrah. More precisely this prohibition took effect in the year 10 H. This prohibition began with the granting of unclean status for the polytheists. This article will conduct a study of the uncleanness of the polytheists who are conceptualized in the QS. al-Taubah (9): 28. This study was conducted with the assumption that al-Qur'an is present in the locality of the Arabian peninsula. The formulation of the problem of this study is how the context of the decline in QS. al-Taubah (9): 28 and how the commentators interpret the verse. The results of this study indicate that the QS. al-Taubah descended on Mecca in 9 H. At that time Mecca was already controlled by Muslims and began to be sterilized from the polytheists. So that the polytheists were forbidden to perform Hajj and Umrah or forbidden to enter the city of Mecca at all. Then, the majority of commentators interpret that the uncleanness of the polytheists is due to the shirk that is in him. In addition, the ban also resulted in the population of Mecca being worried about the impact on trade. However, Allah gave sufficiency to the population of Mecca with rain falling, residents in areas around Mecca who converted to Islam. Abstrak: Pasca fath al-Makkah, orang-orang musyrik dilarang untuk melaksanakan haji dan umrah, lebih tepatnya berlaku pada tahun 10 H. Pelarangan ini bermula dari pemberian status najis bagi orang-orang musyrik. Artikel ini akan melakukan kajian tentang kenajisan orang musyrik yang terkonsep dalam QS. al-Taubah (9): 28. Kajian ini dilakukan dengan asumsi bahwa al-Qur’an hadir dalam lokalitas jazirah Arab. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana konteks turunnya QS. al-Taubah (9): 28 dan bagaimana penafsiran atas ayat tersebut. Adapun hasil kajian ini menunjukkan bahwa QS. al-Taubah turun di Mekah tahun 9 H. Ketika itu, Mekah sudah dikuasai oleh umat Islam dan mulai dilakukan sterilisasi dari orang-orang musyrik. Sehingga orang-orang musyrik dilarang untuk melakukan haji dan umrah atau dilarang memasuki kota Mekah sama sekali. Mayoritas mufasir menafsirkan bahwa kenajisan orang-orang musyrik adalah karena kesyirikan yang ada di dalam dirinya. Selain itu, pelarangan tersebut juga berakibat pada penduduk Mekah khawatir atas imbasnya pada perdagangan. Akan tetapi, Allah memberi kecukupan pada penduduk Mekah dengan hujan yang turun, sehingga penduduk di daerah-daerah sekitar Mekah masuk Islam


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document