LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

104
(FIVE YEARS 56)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

2579-5104, 2088-8813

2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 171
Author(s):  
Rusjdi Ali Muhammad

One characteristic of Islamic law is not explicitly distinguished between the domain of public law with private law. Sanctions for deliberate murder is Qisas for example, where the victim's heirs have more permanent role to choose the death penalty imposed (Qisas) or give forgive me by asking Diyat (compensation). Amount number of Diyat is also can be negotiated through a kind of mediation method called Shulh (peace). So here the element of private law is more dominant. Even Diyat can be released at all heirs of the victim initiatives. In this last case the State may punish the offender with ta'zir, so here its public law elements recur. This idea is not unknown in Indonesian positive law provisions. The victim had usually been involved as a witness in his father murder case or rape case against her. In customary law in Aceh there are several institutions in efforts to realize peace for criminal cases, namely in the form of adat meulangga, dhiet, sayam or takanai (South Aceh). Principles of peace settlement of disputes may also be considered not only for civil cases but also in criminal cases. Thus the doctrine that says the criminal nature of a case will not remove although there is peace agreement, would need to be revisited. However it is important also to restrict that not every criminal case could be solved by peace agreement. Criminal cases like premeditated murder and rape should be excluded from the possibility of peace agreement. 


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 256
Author(s):  
Muhammad Yusuf
Keyword(s):  

Pembentukan sebuah aturan hukum dalam kajian ini adalah qanun tentunya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada yaitu tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dan teori-teori pembentukan hukum. Pembentukan qanun di Aceh dapat berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun serta teori-teori pembentukan hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum. Qanun Hukum Jinayat yang disusun di Aceh tidak langsung mengikuti kitab fiqh tetapi telah dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat agar qanun ini dapat dilaksanakan tanpa adanya perbedan pendapat karena berbeda mazhab dan untuk menghindari terjadinya multi tafsir. Proses pembuatan Qanun Hukum Jinayat sudah dilakukan namun bagaimana proses pembuatan qanun agar qanun tersebut berlaku efektif dalam masyarakat.  Penelitian ini ingin melihat Qanun Hukum Jinayah  dari tata cara penyusunan peraturan,  teori-teori pembentukan hukum dan kaitannya dengan efektivitas hukum, terutama tentang asas-asas qanun, bahasa hukum yang digunakan, dan jenis-jenis kejahatan yang diatur di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat asas-asas qanun hukum jinayah, kejelasan bahasa yang digunakan dan dan jenis-jenis kejahatan apa saja yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayah. Penelitian ini bersifat kualitatif dan tergolong kedalam jenis penelitian pustaka (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi bahasa yang digunakan sudah memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dijelaskan dalam teori pembentukan hukum dan sudah menenuhi syarat-syarat pembentukan hukum seperti yang diamanahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Namun kejahatan yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayah 80% kejahatan ekspresif dan 20% kejahatan instrumental yang berakibat pada sukarnya dilakukan pencegahan terhadap kejahatan yang bersifat ekspresif tersebut. 


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 295
Author(s):  
Muhammad Sholihin

This paper is intended to identify the law of buying and selling gold legally. Credit and understand the illat stated to the law. The approach used in this study is more of a normative and legal juridical approach, where the study of secondary sources in the form of books, open books, and articles is carried out to obtain answers to the formulation of the problem. In general, this study has identified that gold transactions on credit among Mashab scholars are haram-mutlaq, with the illat that gold is a Ribawi commodity and is mutlaq tsammaniyah. In contrast to Ibn Taimiyah and Ibn Qayyim and the DSN-MUI fatwa, which allows it as long as gold is not used as a price or money.


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 317
Author(s):  
Miratul Ula ◽  
Muslem Abdullah
Keyword(s):  

Panglima laot merupakan sebuah lembaga adat yang mempunyai kewenangan menyelesaikan kasus tindak pidana ringan menurut Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Ada tiga jenis perkara yang dapat diselesaikan oleh panglima laot yaitu: perkara perselisihan, perkara adat laot dan perkara pelanggaran. Sehingga ada tiga rumusan masalah dalam penelitian ini, pertama: apa saja jenis-jenis tindak pidana ringan yang terjadi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh besar, kedua: bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan oleh panglima laot di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar, dan ketiga: bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap penyelesaian tindak pidana ringan oleh Panglima Laot. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggunakan metode deskriptif analisis dengan pedekatan kualitatif, yaitu dengan cara melihat peran Pangima Laot dalam menyelesaikan bentuk perselisihan yang terjadi di laut, yang kemudian dijelaskan secara sistematis mengenai data-data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan tinjauan dari rumusan masalah. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ada tiga jenis tindak pidana ringan yang terjadi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten aceh Besar yaitu: kasus pemukulan, kasus peupok jaloe dan kasus kapal semen padang menabrak perahu nelayan. Selanjutnya peran yang dilakukan oleh panglima laot dalam menyelesaikan perselisihan di laot dengan cara damai dan musyawarah, dan apabila ada pihak yang tidak setuju  di selesaikan secara adat laot, maka akan dilimpahkan kepada kepolisian. Dalam hukum Islam hukuman yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana ringan pemukulan adalah qishash diyat. Qishash sebagai hukuman pokok dan diyat sebagai hukuman pengganti yaitu seratus ekor unta dan hukuman nya sudah di tentukan oleh syara’. 


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 217
Author(s):  
Satiya Citra Dewi ◽  
Hasanuddin Yusuf Adan

Tujuan dari penelitian ini, pertama, untuk mengetahui apakah bentuk sanksi adat yang dijatuhkan bagi pelaku khalwat di Kecamatan ketol kabupaten Aceh Tengah. Kedua, tingkat efektifitas sanksi adat di Kecamatan Ketol terhadap pemberantasan tindak pidana khalwat. Ketiga, tinjauan hukum Islam terhadap sanksi adat di Kecamatan Ketol bagi pelaku tindak pidana khalwat. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif Kualitatif dengan menggunakan data lapangan (field research) dan data pustaka (Library research).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Islam mengatur tentang penyelesaian khalwat dan sistem putusan Peradilan Adat di Aceh Tengah. Hasil penelitian dalam skripsi ini adalah penyelesaian sengketa khalwat di Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah, dalam penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan secara adat dengan proses musyawarah. Kemudian masing-masing pelaku dibebankan untuk membayar satu atau lebih dari satu ekor lembu sesuai dengan kesepakatan musyawarah antara para pihak. Adapun sanksi yang berlaku tersebut sangat tidak efektif di kalangan masyarakat yang tingkat perekonomiannya menengah keatas, bagi mereka yang menengah ke atas tidak merasakan efek dari sanksi yang dijatuhkan, karena sangat mudah bagi mereka untuk membayar sanksi tersebut. Tinjauan hukum Islam sanksi adat tidak bertentangan dengan hukum Islam karena dalam hukum Islam sanksi bagi khalwat ialah ta’zir yaitu hukuman yang ditentukan oleh penguasa atau hakim, yang dimana dalam hukum adat di Aceh Tengah yang berperan sebagai hakim adalah Reje Kampung.


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 279
Author(s):  
Faisal Yahya ◽  
Maisarah Maisarah
Keyword(s):  

Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya kasus pencurian internet Wi-Fi yang penulis temukan terutama dikalangan mahasiswa yang sebagian besarnya berdomisili di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Faktor utama terjadinya percurian tersebut disebabkan kebutuhan interner yang tinggi dikalangan mahasiswa karena seluruh proses perkuliahan dilakukan secara online. Penelitian ini untuk menemukan bagaimana modus pencurian internet Wi-Fi di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan bagaimanakan perspektif hadis Ahkam tentang fenomena tersebut. Penggunakan metode deskriptif analisis dan dipandukan dengan penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, sehingga dapat memaparkan dan menggambarkan hasil penelitian secara objektif terhadap keadaan yang ditemui di lapangan. Modus operandi pencurian internet Wi-Fi di Kecamata Syiah Kuala Kota Banda Aceh adalah dengan cara, pelaku menggunakan laptop atau handphone dan men-donwload beberapa software atau aplikasi tertentu yang mereka perlukan untuk menerobos sistem keamanan dan memperoleh username dan password untuk digunakan pada Wi-Fi yang ingin didapatkan akses internetnya. Perspektif hukum islam adalah jelas tidak boleh (haram) karena Wi-Fi tersebut telah diberikan keamanan khusus. Maka diharapkan kepada pelaku pencurian internet Wi-Fi untuk tidak melakukan hal yang demikian lagi dan diharapkan kepada pemilik Wi-Fi untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.  


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 238
Author(s):  
Saiful Aris Munandar ◽  
Arifin Abdullah ◽  
Rispalman Rispalman
Keyword(s):  

Perkembangan teknologi dewasa ini semakin canggih dan maju sehingga menyebabkan dampak positif maupun negatif dalam penggunaan teknologi di lingkungan masyarakat saat ini, salah satu contohnya adalah penggunaan perangkat lunak (software) komputer. Undang-Undang No.28 Tahun 2014 mengatur tentang hak cipta untuk melindungi pencipta perangkat lunak dari pengambilan maupun penggunaan ciptaannya secara tidak sah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini meliputi bagaimana ketentuan penggunaan software komputer bajakan dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana perspektif hukum pidana Islam terhadap penggunaan software komputer bajakan dalam Undang- Undang tersebut. Untuk menjawab hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder belaka. Sumber data penelitian ini adalah dari penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian yang di dapatkan menunjukkan bahwa software komputer adalah salah satu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014. Penggunaan software komputer bajakan dapat digunakan untuk kepentingan pribadi yang digunakan untuk penelitian dan pengembangan program komputer sehingga tidak melanggar hukum. Kecuali, penggunaannya yang ditujukan untuk kepentingan komersial merupakan suatu pelanggaran hak cipta yang dapat di pidanakan apabila ada pihak yang merasa dirugikan (delik aduan). Berdasarkan pasal 113 ayat (4) ketentuan pidananya yaitu, penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) bagi pelaku pembajakan. Pembajakan hak cipta yang merugikan pencipta terhadap ciptaannya yaitu software komputer, merupakan suatu perbuatan yang dilarang dalam Islam karena hal tersebut disamakan dengan mengambil harta atau hak milik orang lain yang hukumannya berupa hukuman ta’zir yang berasal dari penguasa yang belum diatur di dalam nash atau hukum syara’.


2021 ◽  
Vol 10 (2) ◽  
pp. 189
Author(s):  
Syuhada Syuhada ◽  
Zulkiram Zulkiram

Scholars differ on whether the repentance of an adulterer can abrogate the punishment of the limit ?. Some scholars state that there is no fall at all, while others state that the punishment is limited to fall. In this regard, Ibn Taymiyyah's opinion is the same as the last opinion that the repentance of an adulterer can remove the demand of the limit as long as it has not been submitted to the ruler, but if it has been submitted to the ruler then the limit does not fall so it remains punished and his repentance is accepted by Allah SWT. As for the research method is qualitative, the type of literature research, research data from library materials in the form of books of jurisprudence, law, and other relevant literature then the data that has been collected, both from primary, secondary, and tertiary data, then analyzed by descriptive-analysis. The results of the study showed that according to Ibn Taymiyyah, the perpetrator of adultery who repented before being complained to the government, fell ḥadd adultery. The perpetrator does not have to admit his actions because the attitude is seen as better. As for the adulterer who repents after being complained to the government, then it does not fall ḥadd adultery. The perpetrator must still be punished, his repentance is accepted by Allah SWT., While the punishment of ḥadd as a consummation of his repentance. The argument used by Ibn Taymiyyah about the fall of ḥadd zina due to repentance refers to the provisions of the QS. al-Nisā 'verse 16, QS. al-Māidah verses 33-34, QS. Ṭāhā verses 121-122, and the hadith narrated by Abū Dawud about the punishment of Maiz. The method of istinbāṭ that he uses tends to use heroic reasoning, that is, looking at the sides and rules of language, general and special relations, cause and effect, and understanding the words of the Qur'an.


2021 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 109
Author(s):  
Rispalman Rispalman ◽  
Syahrizal Abbas ◽  
Desi Ariani
Keyword(s):  

AbstrakTerdapat dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh. Prakteknya dualisme kewenangan terjadi dalam penyelesaian perkara tinda pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dimana pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna diselesaikan di Pengadilan Negeri Banda Aceh dan perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs di selesaikan di Mahkamah Syar’iyah Langsa. Rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah mengapa terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dan apa dasar yuridis Pengadilan negeri Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Langsa dalam mengadili perkara pencabulan terhadap anak. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Dualisme terjadi dikarenakan Qanun Jinayat dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) mengatur pencabulan terhadap anak. Adapun landasan yuridis Pengadilan Negeri dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dan landasan yuridis Mahkamah Syar’iyah dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs menggunakan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Proses peradilan terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dilaksanakan di Mahkamah Syar’iyah. Secara norma yang berwenang mengadili ialah Mahkamah Syar’iyah dengan menerapkan Qanun Jinayat.  Kata Kunci: Dualisme Kewenangan, Penyelesaian, dan Pencabulan Anak.


2021 ◽  
Vol 10 (1) ◽  
pp. 41
Author(s):  
Muhammad Yusuf
Keyword(s):  

AbstrakPergulatan tentang  supremasi  hukum Islam dalam masyarakat nusantara dimulai pada masa penjajahan Belanda, ketika Belanda mulai mengusik hukum masyarakat demi memperkuat cengkeramannya untuk menguasai bumi nusantara ini. Awalnya ilmuan hukum Belanda masih jernih dalam melihat kebenaran bahwa hukum Islam dalam masyarakat muslim nusantara lebih tinggi kedudukannya dari pada hukum adat sehingga lahir teori receptie in complexu, namun hal ini tidak berlaku lama karena ilmuan hukum Belanda lainnya merubah teori ini dengan teori receptie yang menempatkan hukum Islam lebih rendah dari hukum adat. Hal ini dilakukan untuk kepentingan politik kekuasaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, ilmuan hukum Indonesia mulai meluruskan kembali kedudukan hukum Islam dan menempatkannya pada kedudukan yang sebenarnya, sehingga  muncul  teori receptie exit yang dipelopori oleh Hazairin, teori receptio a contrario oleh Sayuti Thalib dan teori eksistensi oleh ichtijanto. Ketiga teori ini mempunyai tujuan yang sama yaitu berusaha menempatkan kedudukan hukum Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia. Namun tidak sepenuhnya teori-teori tersebut berlaku di Indonesia karena hukum jinayat (pidana Islam) tidak pernah mendapat pengakuan sebagai hukum yang dapat dilaksanakan di Indonesia, melainkan tetap masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda. Sehingga dalam penelitian ini ingin melihat sejauh mana eksistensi hukum Islam di Indonesia dan mengapa hukum jinayat sukar sekali dilaksanakan di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi hukum Islam di Indonesia hanya dalam bidang perdata, sementara dalam bidang pidana masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda, kemudian kendala pelaksanaan hukum jinayat lebih kepada budaya masyarakat yang belum sepenuhnya sesuai dengan Islam dan kendala politik. Kata Kunci: Eksistensi, Hukum Jinayat dan masyarakat


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document